Protective Enviroment For Children : Membuat Dunia (Keluarga)Yang Layak Bagi Anak
Perlindungan terhadap hak anak merupakan hak asasi manusia.Dalam hal ini anak perlu menerima kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 wacana Perlindungan Anak yang dimaksud dengan proteksi anak yaitu segala acara untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya semoga sanggup hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta menerima proteksi dari
kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut berarti bahwa pada prinsipnya proteksi anak yaitu bagaimana membuat lingkungan kondusif dan layak bagi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara partisipatif dan non diskriminasi demi kepentingan terbaik anak.
kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut berarti bahwa pada prinsipnya proteksi anak yaitu bagaimana membuat lingkungan kondusif dan layak bagi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara partisipatif dan non diskriminasi demi kepentingan terbaik anak.
Darurat Kejahatan Seksual Terhadap Anak
Maraknya masalah kekerasan terhadap anak dan perdagangan anak (child trafficking) yang menyita perhatian masyarakat akhir-akhir ini memperlihatkan belum optimalnya upaya proteksi anak dilakukan.Profil Anak Indonesia 2012 yang diterbitkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memotret keadaan anak Indonesia berumur 0-17 tahun pada tahun 2011 yang berjumlah sepertiga (33,9 persen) dari penduduk Indonesia atau sekitar 82,6 juta. Apabila dilihat dari sudut pandang ketergantungan maka sepertiga dari penduduk Indonesia masih membutuhkan proteksi baik dari keluarga, masyarakat, maupun Negara. Terpenuhinya kebutuhan yang menjadi hak dasar bagi anak ibarat kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya akan membentuk anak tumbuh menjadi insan yang berkualitas. Generasi anak yang berkualitaslah yang akan menjadi penentu masa depan generasi berkualitas berikutnya. Namun yang ketika ini terjadi yaitu masih terabaikannya pemenuhan kebutuhan atau hak dasar anak dan meningkatnya pelanggaran hak anak di Indonesia. Menurut Database Pelanggaran Hak Anak di Indonesia oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), pada tahun 2010 total anak yang menjadi korban pelanggaran hak anak sebanyak 2.534.774. Pelanggaran hak anak tersebut antara lain terkait problem hak sipil dan kemerdekaan (akte kelahiran, bunuh diri anak, tawuran anak, dan partisipasi anak), problem lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative (penelantaran dan anak korban perceraian), problem kesehatan dan kesejahteraan dasar (demam berdarah, campak, diare, mal nutirsi, flu burung, polio, dll), problem pendidikan (angka putus sekolah SD, SMP, dan SMU/SMK), problem anak yang membutuhkan proteksi khusus(kekerasan dan ekspolitasi anak). Dari beberapa problem tersebut, kekerasan dan eksplopitasi anak yaitu yang paling lebih banyak didominasi terjadi dengan korban sebanyak 1.242.848 anak.
“Darurat Kejahatan Seksual Terhadap Anak” sebagaimana diungkapkan oleh Arist Merdeka Sirait (Ketua Komnas PA) yaitu pernyataan yang tak bisa kita anggap angin lalu. Komnas PA (Kompas, 8 Februari 2013) mencatat 48 persen atau 1.075 masalah dari terdapat 2.637 masalah kekerasan pada tahun 2012, yaitu kekerasan seksual, sodomi, perkosaan, pencabulan dan inses. Apabila dibandingkan dengan database Komnas PA pada tahun 2010 memperlihatkan adanya peningkatan jumlah masalah kekerasan seksual terhadap anak dari 926 masalah menjadi 2.637 masalah atau naik sekitar 2,85 %. Disamping itu, eksploitasi anak di Indonesia juga kian marak baik ekploitasi secara ekonomi maupun seksual ibarat anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual dan pornografi anak.Data profil anak Indonesia (KPPA, 2012) menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 30 persen dari pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 yaitu anak-anak. Kasus perdagangan anak juga cenderung mengalami peningkatan pada kurun waktu tiga tahun terakhir dari 410 masalah pada tahun 2010 meningkat menjadi 480 masalah di tahun 2011 dan menjadi 673 masalah pada tahun 2012 (Kompas, 9 Februari 2012). Motif ekonomi selalu menjadi alasan berpengaruh peningkatan masalah kekerasan dan eksploitasi terhadap anak dilakukan.Kekerasan dan eksploitasi anak bisa terjadi kapan saja dan dimana saja.Di lingkungan sekolah, akomodasi pelayanan umum, bahkan di lingkungan keluarga sekalipun.Pelakunya tidak hanya orang yang tidak mereka kenal tetapi tidak jarang dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka tersebut tetangga, sobat sekolah, guru, saudara bahkan orang renta sekalipun. Sungguh sangat disayangkan kalau hal tersebut dilakukan oleh keluarga atau orang renta yang seharusnya menjalankan kiprah dan fungsi proteksi kepada anak-anaknya malah menjadi orang yang merusak dan membunuh masa depan anak-anaknya. Pertanyaan yang kemudian muncul yaitu dimanakan kawasan kondusif dan layak bagi anak??Bagaimanakah seharusnya orang renta menawarkan proteksi kepada anaknya??
(Dunia) Keluarga yang Layak Anak
UU No. 23 tahun 2002 wacana Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Negara, pemerintah, keluarga dan orang renta berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan proteksi anak. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab dalam menyediakan pertolongan sarana dan prasarana dan pengawasan proteksi anak.Masyarakat berkewajiban dan bertanggung jawab untuk ikut berperan dalam penyelenggaraan proteksi anak. Sementara itu, orang renta berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, talenta dan minatnya serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Diantara ketiga forum tersebut, keluarga dan orang tualah yang tentunya paling berperan dalam membuat lingkungan yang layak dan kondusif bagi tumbuh kembang anak.Lianny Sholihin (2004) menyebutkan bahwa keluarga merupakan forum pertama dalam kehidupan anak, kawasan ia berguru dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial. Segala sesuatu yang dibentuk anak akan menghipnotis keluarganya, begitupun sebaliknya. Keluarga menawarkan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan memilih pula contoh tingkah laris anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa keluarga dalam hal ini orang renta harus bisa membuat lingkungan yang kondusif bagi anak.Dengan kata lain, anak membutuhkan kiprah orangtua untuk sanggup berada dalam dunianya itu secara kondusif dan nyaman.Hubungan yang berkualitas antara orang renta dan anak sangat penting bagi tumbuh kembang anak.
Lingkungan yang layak dan kondusif bagi anak yaitu lingkungan yang bisa mendukung tumbuh kembang anak secara optimal baik secara fisik, mental maupun sosial.Peran orang renta baik ayah maupun ibu menjadi sangat penting dalam membimbing dan mendampingi anak menjalankan kiprah perkembangan anak.Robert J. Havighurst (1961) mengartikan kiprah – kiprah perkembangan itu merupakan suatu hal yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu yang apabila berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan ke kiprah perkembangan selanjutnya tapi kalau gagal akan mengakibatkan ketidakbahagiaan pada individu yang bersangkutan dan kesulitan–kesulitan dalam merampungkan kiprah berikutnya. Tugas perkembangan anak ini dibagi menjadi tiga masa yaitu masa bayi dan bawah umur (0-6 tahun), masa sekolah anak (6-12 tahun), dan masa remaja (12-17 tahun). Ayah Edy (2009) menyebutkan bahwaseorang jago pendidik menyampaikan bahwa orang renta berperan 70% dalam proses membentuk contoh sikap anak, akan tetapi apabila orang renta tidak melaksanakan peranannya dengan baik, maka lingkunganlah yang mengampil kiprah 70% tadi. Dalam hal ini, orang renta harus bisa memastikan telah menjalankan kiprah dan tanggung jawab masing-masing baik sebagai ayah maupun sebagai ibu.
Tanggung jawab kebersamaan ayah dan ibu dalam menjalankan kiprah pengasuhan anak cukup tinggi. Hasil penelitian Farida Hidayati, dkk (2011) menyebutkan bahwa 86% responden menyatakan pengasuhan anak yaitu kiprah bersama. Pengasuhan anak (parenting) tersebut mempunyai tiga tujuan utama yang terpenting yaitu kesehatan dan keamanan anak, menyiapkan anak untuk hidup produktif ketika cukup umur kelak, dan bisa mentransmisikan nilai-nilai budaya.Hal tersebut berarti bahwa pengasuhan anak (parenting) tidak hanya menjadi kiprah seorang ibu yang notabene melahirkan anaknya, tetapi juga membutuhkan keterlibatan ayah didalamnya.Apalagi ketika ini jumlah ibu yang juga bekerja di sektor publik semakin tinggi sehingga waktu kebersamaan anak dengan kedua orang tuanya semakin terbatas.Farida Hidayati,dkk (2011) menyatakan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan membawa manfaat besar bagi perkembangan anak, hanya apabila keterlibatan tersebut cocok, hangat, bersifat positif, membangun dan memfasilitasi anak untuk berkembang. Semakin tinggi kesadaran untuk membuatkan tanggung jawab pengasuhan anak akan menimbulkan proses pendidikan lebih optimal.
Berdasarkan hal tersebut maka lingkungan keluarga yang layak dan kondusif bagi anak yaitu lingkungan keluarga dimana kekerabatan yang positif antara orang renta (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya tercipta secara apik.Membingkai lingkungan keluarga dengan nilai-nilai agama dan sosial semenjak dini -tidak hanya ketika sudah mempunyai anak tetapi ketika keluarga itu dibangun dalam bingkai pernikahan- tentu saja menjadi entry point yang sangat penting sehingga masing-masing anggota keluarga menyadari mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang boleh dan mana yang dihentikan dilihat dari sisi agama.Hubungan interaksi dan komunikasi efektif dua arah antara orang renta dan anak harus selalu diciptakan.Saling mendengar, saling bercerita, saling menasehati, saling berdiskusi bersama dalam merampungkan permasalahan tentu hal yang lebih diutamakan daripada melalui kekerasan fisik.Membangun kebiasan-kebiasan bersikap dan berperilaku sopan santun setiap hari harus selalu dilakukan.Sebagai orang tua, janganlah kita terlalu lembek ataupun terlalu keras kepada anak. Orang renta harus menyadari dan memahami bahwa setiap anak (laki-laki maupun perempuan) mempunyai karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda baik secara fisik maupun psikis seiring dengan usia perkembangan mereka, sehingga memaksakan impian kita kepada anak tentu tidak serta merta sanggup dibenarkan.Disini, orang renta harus bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.Orang renta yaitu cerminan anak-anaknya. Apa yang dilakukan oleh orang tuanya cenderung akan ditiru oleh anak-anaknya. Seperti kata Kak Seto bahwa bawah umur yaitu mutiara yang harus kita lindungi, maka jadilah orang renta yang bisa melindungi anak-anaknya.Let’s create a protective environment for our children fromHome!
Oleh:
Rosita Novi Andari, S.Sos[1] [1]Penulis yaitu pemerhati anak dan bekerja sebagai staff peneliti Bidang Kajian di Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara, Jl. Kiara Payung km 4,7, Sumedang, Telp. 085640980771, Fax. (022) 779005, Email: rositanovi@gmail.com.
0 Response to "Protective Enviroment For Children : Membuat Dunia (Keluarga)Yang Layak Bagi Anak"
Posting Komentar