iklan

Pandangan Islam Wacana Kerja

Setiap insan memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya melalui bekerja insan akan berusaha memperoleh harta kekayaan. Karena tanpa berusaha insan tidak akan mendapatkan apa-apa.
Apakah fatwa Islam menganjurkan dan memberi motivasi untuk bekerja yang jadinya yakni pertumbuhan ekonomi? Pertanyaan ini timbul alasannya terdapat ayat yang seakan-akan mencegah orang untuk menjadi kaya (Al-Humazah atau Al-Takatsur). Perbedaan dalam rezeki ada keterangannya dalam surat An-Nahl: 71 yang menyampaikan bahwa Allah melebihkan sebagian kau terhadap sebagian yang lain ihwal rezeki. Ini bahwasanya merupakan konsekuensi belaka dari kebebasan bekerja atau keterbukaan kesempatan atau terusan terhadap rezeki Allah, tergantung dari beberapa faktor antara lain perjuangan setiap orang itu sendiri.[1]
Sebenarnya kekayaan dengan segala bentuknya, baik material maupun spiritual merupakan keutamaan dan mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan kemiskinan meskipun demikian, kekayaan bukanlah segala-galanya bukan tujuan final dari kehidupan muslim. Kekayaan hanyalah alat untuk memakmurkan bumi. Oleh alasannya itu, al-Qur’an mencela orang-orang yang hanya menumpuk harta kekayaan tetapi tidak peduli dengan nasib orang lain (Al-Qur’an 104 : 1-9).
Dalam syari’at Islam, kekayaan Islam dipandang amat penting untuk sanggup menjalankan ketentuan-ketentuannya, dan paling tidak ada dua rukun Islam yang mensyaratkan kemampuan ekonomi yang cukup, yaitu untuk melaksanakan kewajiban zakat dan haji.[2]

A.    Pengertian Kerja

Bekerja bagi seorang muslim yakni suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai serpihan dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain sanggup juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja insan itu memanusiakan dirinya.
Kerja yakni suatu cara untuk memenuhi kebutuhan insan baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan insan akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang mencakup pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego. Selain itu kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga diperoleh melalui aneka macam bentuk kepuasan yang sanggup dinikmati diluar kerja, contohnya kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan, dan yang lebih fundamental lagi sanggup menghidupi diri dan keluarga.
Selain itu, kerja yakni acara yang menerima kontribusi sosial dan individu itu sendiri. Dukungan sosial itu sanggup berupa penghargaan masyarakat terhadap acara kerja yang ditekuni. Sedangkan kontribusi individu sanggup berupa kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi acara kerja. Seperti kebutuhan untuk aktif, untuk berproduksi, berkreasi, untuk memperoleh ratifikasi dari orang lain, memperoleh prestise serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bekerja merupakan kegiatan pokok dari suatu acara kemanusiaan yang sanggup dibagi menjadi sejumlah dimensi, yaitu dimensi Fisiologis. Dimensi psikologis, dimensi ikatan sosial dan ikatan kelompok, dimensi ekonomi, dimensi kekuasaan, serta dimensi kekuasaan ekonomi.
1.      Dimensi Fisiologis
Dimensi Fisiologi yakni dimensi yang memandang bahwa insan bukanlah mesin. Manusia dalam bekerja tidak sanggup disamakan dengan mesin.
2.      Dimensi Psikologis,
Dimensi Psikologis merupakan suatu dimensi dimana kerja disamping merupakan beban, juga merupakan suatu kebutuhan. Dengan demikian bekerja juga merupakan upaya pengembangan kepribadian.
3.      Dimensi Ikatan Sosial dan Kelompok,
Pekerjaan sanggup menjadi pengikat sosial dan kelompok alasannya pekerjaan akan sanggup menjadi cara seseorang untuk memasuki suatu ikatan kelompok tertentu. Dengan pekerjaannya seseorang sanggup menyatakan ihwal bagaimana status yang dimilikinya.
4.      Dimensi Ekonomi,
Dimensi ekonomi mengandung pengertian bahwa pekerjaan merupakan sumber mata pencaharian bagi seseorang. Pekerjaan sanggup menjadi sumber kegiatan ekonomi untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Dengan adanya sumber penghasilan inilah seseorang sanggup hidup secara berdikari dan menghidupi keluarganya.
5.      Dimensi Kekuasaan,
Dimensi kekuasaan dalam bekerja selalu ada, terutama jikalau seseorang bekerja dalam suatu organisasi kerja. Bagaimanapun setiap pekerjaan dalam ruang lingkup suatu organisasi kerja selalu ada wewenang pribadi. Dalam organisasi kerja, pekerjaan harus di susun sedemikian rupa, sehingga ada jadwal, terperinci pendelegasian wewenangnya. Semua ini menyangkut duduk kasus kekuasaan.
6.      Dimensi Kekuasaan Ekonomi
Dimensi kekuasaan ekonomi menerapkan bahwa setiap orang dalam pekerjaan akan memperlihatkan sumbangan berdasarkan pada apa yang sudah mereka lakukan.
Secara hakiki bekerja seorang muslim merupakan ibadah bukti dedikasi dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi biar bisa menjadi yang terbaik alasannya mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang mempunyai etos yang terbaik. “Sesungguhnya Kami telah membuat apa-apa yang ada di bumi sebagai aksesori baginya, supaya Kami menguji mereka siapakah yang terbaik amalnya”. (Al-Kahfi : 7)
Karena kebudayaan kerja Islami bertumpu pada akhlaqul karimah umat Islam akan menjadikan tabiat sebagai energi batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus. Semangat dirinya yakni minallah, fisabilillah, Illah (dari Allah, dijalan Allah, dan untuk Allah).[3]

B.     Falsafah Kerja

Rezeki yakni urusan Allah, insan hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan jangan hingga kita merasa arogan setelah mendapatkan rezeki yang banyak, alasannya meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan Allah mustahil rezeki itu akan menghampiri kita.
Orang yang melaksanakan kerja apa saja, lazimnya cenderung melihat pada imbalan kerja (upah) yang mereka terima, tanpa memikirkan apakah imbalan itu baik dan halal. Pada umumnya orang hanya berorientasi pada sabda Rasulullah Saw: “Berikanlah upah kepada pekerja”, tetapi melupakan kelanjutan yang berbunyi “Sebelum kering keringatnya”, ini berarti bahwa yang dimaksud pekerjaan yang mendapatkan upah itu ialah pekerjaan yang memeras otak atau tenaga. Sedangkan pekerjaan dalam bentuk apapun yang tidak menjadikan suatu tanggung jawab atau tidak mencucurkan keringat, atau tidak perlu harus berusaha payah, maka tidak halal anda mendapatkan upah dan imbalan.[4]
Θ   Kewajiban mencari rizki yang halal:
طَلَبُ اْلحَلاَ لِ فَرِيْضَةً بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ
“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sehabis kewajiban beribadah”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Θ  Ancaman terhadap orang yang tidak mau bekerja mencari yang halal
أَشَدُّ االنَّاسِ حَسْرَةٍ يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ رَجُلُ كَسَبَ مَالاً مِنْ غَيْرُ حِلَّةٍ فَذَ خَلَ بِهِ النَّارَ
“Orang yang paling rugi di hari final zaman kelak yakni orang yang mencari harta secara tidak halal, sehingga menimbulkan ia masuk neraka”.[5] (HR. Bukhari)

C.    Ciri Etos Kerja Muslim

Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam perilaku dan tingkah-lakunya yang dilandasi pada keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise, dan tampil sebagai serpihan dari umat yang terbaik (Khairu ummah)
Ciri etos kerja muslim:
1.      Mereka kecanduan waktu
2.      Mereka mempunyai moralitas yang higienis (ikhlas)
3.      Mereka kecanduan kejujuran
4.      Mereka mempunyai komitmen (Aqidah, Akad, I’tikad)
5.      Istiqamah, berpengaruh pendirian
6.      Mereka kecanduan pendirian
7.      Konsekuen dan berani menghadapi tantangan (challenge)
8.      Memiliki perilaku percaya diri
9.      Kreatif
10.  Bertanggung jawab
11.  Bahagia alasannya melayani
12.  Memiliki harga diri
13.  Memiliki jiwa kepemimpinan (leadership)
14.  Berorientasi ke masa depan
15.  Hidup berhemat dan efisien
16.  Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship)
17.  Memiliki insting bertanding (fastabiqul khairat)
18.  Mereka kecanduan bekerja dan harus mencari ilmu
19.  Memiliki semangat perantauan
20.  Memperhatikan kesehatan dan gizi
21.  Tangguh dan pantang menyerah
22.  Memperkaya jaringan silaturahmi
23.  Memiliki semangat perubahan (spirit of change).[6]
Kerja keras bukan hanya dilakukan pada ketika memulai saja, tetapi juga terus dilakukan walaupun kita sudah berhasil. Lakukan perbaikan terus menerus, terhadap pekerjaan yang telah lalu, jangan terlena alasannya keberhasilan.[7]

D.    Tujuan Bekerja Menurut Islam

Bekerja bagi umat Islam tentu tidak hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan yang bersifat duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja yakni untuk beribadah. Bekerja akan memperlihatkan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan kita sanggup makan, berpakaian, tinggal di sebuah rumah, memberi nafkah keluarga, dan menjalankan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara baik.
“Bahwa Allah sangat menyayangi orang-orang mukmin yang suka bekerja keras dalam perjuangan mencari mata pencaharian”. (HR. Tabrani dan Bukhari)
“Dari ‘Aisyah (istri Rasulullah), Rasulullah Saw bersabda : “Seseorang bekerja keras ia akan diampuni Allah”. (HR. Tabrani dan Bukhari)
1.      Memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga
Bekerja berdasarkan Islam yakni memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga termasuk istri, belum dewasa dan orang tua. Islam menghargai semua itu sebagai sedekah, ibadah, dan amal saleh.
2.      Memenuhi ibadah dan kepentingan sosial
Bila bekerja dianggap sebagai ibadah yang suci, maka demikian pula harta benda yang dihasilkannya. Alat-alat pemuas kebutuhan dan sumber daya manusia, melalui proses kerja yakni hak orang-orang yang memperolehnya dengan kerja tersebut, dan harta benda itu dianggap sebagai sesuatu yang suci. Jaminan atas hak milik perorangan, dengan fungsi sosial, melalui institusi zakat, shadaqah, dan infaq, merupakan dorongan yang berpengaruh untuk bekerja. Dasarnya yakni penghargaan Islam terhadap upaya manusia.[8]

E.     Pekerjaan yang Diperbolehkan Islam

Pada dasarnya Islam menjunjung tinggi nilai kerja biar insan sanggup hidup sejahtera. Namun kesejahteraan mustahil tercapai tanpa adanya keadilan dan kebebasan individu itu dibatasi oleh kebebasan individu yang lainnya. Setiap perbuatan yang mengganggu kebebasan orang lain sama halnya berbuat ketidakadilan. Islam menghendaki kebebasan yang serasi yang bisa memacu kesejahteraan bersama. Maka disitulah perlunya aturan yang terperinci dan tegas, termasuk dalam bekerja.
Banyak sekali lapangan pekerjaan yang tersedia untuk manusia. Semakin maju peradaban insan semakin bertambahlah jenis profesi atau pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang diperbolehkan Islam antara lain:
1.      Menjadi buruh, karyawan, pegawai   
2.      Pertanian, peternakan, dan perikanan  
3.      Perdagangan                                       
4.      Pendidikan dan keguruan                   
5.      Industri dan pakaian jadi 
6.      Pertambangan darat dan laut 
7.      Jasa transportasi 
8.      Pengobatan 
9.      Konstruksi dan pertukangan
Masih banyak jenis pekerjaan atau profesi lain yang diperbolehkan Islam. Jenis profesi gres akan terus bertambah sesuai perkembangan peradaban insan yang tiada hentinya. Namun sebagai dasar pemikiran, semua profesi yang halal yakni yang tidak dihentikan Islam. Esensi larangan yakni alasannya pekerjaan itu sanggup merugikan orang lain, mengandung ketidakadilan, kezaliman atau dengan sengaja membantu orang melaksanakan perbuatan yang haram.

F.     Pekerjaan yang Dilarang Islam

Setiap perjuangan harus dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku biar tidak ada individu-individu atau kelompok-kelompok yang dirugikan. Dalam perjuangan tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam suatu negara. Setiap perjuangan yang merugikan seseorang atau orang banyak atau melanggar Undang-Undang umum yang berlaku di dalam suatu negara, dihentikan oleh Islam dan hukumnya haram. Demikian pada usaha-usaha maksiat atau yang membatu terjadinya maksiat, penipuan, dan pemaksaan. Beberapa jenis pekerjaan yang dihentikan Islam antara lain:
1.      Meminta-minta                   
2.      Perjodian                            
3.      Pelacuran                            
4.      Mencuri dan merampok     
5.      Mencari pekerjaan dengan suap             
6.      Bekerja pada perusahaan terlarang
7.      Riba
8.      Mengurangi timbangan dengan curang
9.      Produksi dan jual beli barang haram
10.  Memonopoli dan penimbunan[9]

KESIMPULAN
Kerja yakni suatu cara untuk memenuhi kebutuhan insan baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Selain itu, kerja yakni acara yang menerima kontribusi sosial dan individu itu sendiri. Manusia diwajibkan untuk berusaha, bukan menunggu alasannya Allah tidak menurunkan harta benda, iptek dan kekuasaan dari langit melainkan insan harus mengusahakannya sendiri. Manusia harus menyadari betapa pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap muslim. Kemandirian atau ketidak ketergantungan kepada belas kasihan orang lain ini mengandung resiko, bahwa umat Islam wajib bekerja keras. Dan syarat itu yakni memahami konsep dasar bahwa bekerja merupakan ibadah. Dengan pemahaman ini, maka akan terbangun etos kerja yang tinggi.
Tujuan bekerja berdasarkan Islam ada dua, yaitu memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga, dan memenuhi ibadah dan kepentingan sosial. Islam menjunjung tinggi nilai kerja, tetapi Islam juga memberi akhir dalam menentukan jenis pekerjaan yang halal dan haram.

[1] M. Dawan Raharjo, Etika Ekonomi dan Manajemen, PT. Nara Wacana, Yogyakarta, 1990, hlm. 50
[2] Ali-Sumanto Alkindi, Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat, CV.  Aneka, Solo, 1997
[3] KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, hlm. 2-26
[4] Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hlm. 36-38
[5] Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan administrasi Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992, hlm. 18-20
[6] KH. Toto Tasmara, Ibid, hlm. 73-139
[7] Dr. H. Buchari Aima, Ajaran Islam Dalam Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung, 1994, hlm. 12
[8] Al-Sumanto Alkindhi, Ibid, hlm. 43-47
[9] Ibid, hlm. 80-110

Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pandangan Islam Wacana Kerja"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel