iklan

Pendidikan Akhlak

Dalam pengertian pendidikan etika ini dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak.
Secara etimologi, pengertian pendidikan yang diberikan oleh ahli. John Dewey, ibarat yang dikutip oleh M. Arifin menyatakan bahwa pendidikan yakni sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah watak insan dan insan biasa.[1] 
Pendidikan intinya yakni usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, biar sehabis tercapai kematangan itu, ia mampun memerankan diri sesuai dengan amarah yang disandangnya, serta bisa mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai citra dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia.[2] 
Dalam Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan meliputi seluruh unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari peredarannya, sehingga para jago didik Islam bertemu dengan istilah at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah. Sebenarnya kata ini asal katanya yakni dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan berkembang.[3] 
Walaupun dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara terperinci perihal definisi pendidikan, namun dari beberapa ayat sanggup ditemukan indikasi ke arah pendidian, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 17/Al-Isra : 24 :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَياَّنِيْ صَغِيْرًا.  
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka mendidik saya waktu kecil”. (Q.S. al-Isra : 24)[4] 
Berdasarkan ayat tersebut sanggup diambil pengertian bahwa al-Tarbiyah yakni proses pengasuhan pada fese permulaan pertumbuhan manusia, sebab anak semenjak dilahirkan di dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali Allah SWT berupa potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Maka pendidikan anak sangat penting mengingat untuk kelangsungan perkembangannya menuju ke tahap selanjutnya.
Menurut Frederic J. Mc. Donald, dalam bukunya Educational Psychology, mengungkapkan bahwa education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producting desirable changes in the behaviour of human beings. Pendidikan dalam pengertian yang digunakan di sini yakni sebuah proses atau kegiatan yang memperlihatkan pada proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laris manusia.[5] 
Menurut Nelson B. Henry, education is the process by which those powers (abilities, capacities) of the man that are susceptible to habituation are perfected by good habits.[6] Artinya, pendidikan yakni merupakan suatu proses di mana kemampuan seseorang sanggup terpengaruh oleh kebiasaan yang berupa kebiasaan yang baik. 
Dengan demikian sanggup dipahami bahwa pendidikan yakni suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memperlihatkan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya sanggup diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya insan yang berakhlak mulia.

Pengertian Akhlak 

Pengertian etika secara etimologi sanggup diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat.[7] Kata etika berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خلق) yang berdasarkan lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laris atau tabiat. 
Menurut Rahmat Djatnika, bahwa pengertian etika sanggup dibedakan menjadi dua macam, di antaranya berdasarkan etimologi kata etika berasal dari bahasa Arab (ا خلا ق) bentuk jamak dari mufrodnya khuluq (خلق), yang berarti budi pekerti. Sinonimnya yakni etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa Latin juga, mores yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan berdasarkan terminolog, kata budi pekerti terdiri dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi yakni yang ada pada manusia, yang bekerjasama dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti yakni apa yang terlihat pada manusia, sebab didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour. Jadi, budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laris manusia.[8] 
Menurut Abuddin Nata, etika yakni perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan menempel dalam jiwa, sehingga ketika melaksanakan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.[9] 
Menurut Elizabeth B. Hurlock, behaviour which may be called “true morality” not only conforms to social standarts but also is carried out voluntarily, it comes with the transition from external to internal authority and consist of conduct regulated from within.[10] Artinya, bahwa tingkah laris boleh dikatakan sebagai moralitas yang tolong-menolong itu bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilaksanakan dengan suka rela, tingkah laris it terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melaksanakan (bertindak) yang diatur dalam diri. 
Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi etika sebagai berikut :
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس را سخة عنها تصدر الافعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورويّة عقلا وسرعا. [11] 
Bahwa etika yakni suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan gampang dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu).
Dari definisi tersebut sanggup diketahui bahwa hakikat etika berdasarkan al-Ghazali meliputi dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga sanggup menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan gampang tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan sebab adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya. 
Menurutnya juga, bahwa etika bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat, maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’arasikha fi-n-nafs).[12] 
Akhlak yakni suatu istilah yang sering digunakan oleh Al-Ghazali. Jadi, kerap kali kita temukan pernyataan, ibarat ‘akhlak kedermawanan” dan “akhlak-akhlak tercela”. Dapat dipahami bahwa dalam etika Al-Ghazali, suatu amal lahiriyah tak sanggup secara tegas disebut baik dan buruk. Maka ketulusan seseorang mungkin dipandang sebagai suatu kebaikan, tetapi jual belinya yang jujur atau tidak. Namun, suatu amal sanggup dikatakan suatu amal shaleh atau amal jahat. 
Dengan demikian sanggup dipahami bahwa etika yakni suatu perilaku atau kehendak insan disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara gampang tanpa memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu menjadikan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan etika yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, bila menjadikan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan etika yang tercela. 

Pengertian Pendidikan Akhlak

Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka sanggup disimpulkan bahwa pendidikan etika yakni pendidikan mengenai dasar-dasar etika dan keutamaan perangai, watak yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak semenjak masa analisa hingga ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan mempunyai potensi dan respon yang instingtif di dalam mendapatkan setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping terbiasa melaksanakan etika mulia.[13] 
Atau suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memperlihatkan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya sanggup diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya insan yang berakhlak mulia, di mana sanggup menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan gampang tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan sebab adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang indah dan perbuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sering sehingga sanggup menjadi kebiasaan. 

DASAR-DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAK

a. Dasar-Dasar Pendidikan Akhlak 

Dasar pendidikan etika yakni al-Qur’an dan al-Hadits, sebab etika merupakan sistem moral yang bertitik pada aliran Islam. Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai dasar etika menjelaskan perihal kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari tamat zaman dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21)[14] 
Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali etika yang mulia dan luhur. Selanjutnya juga dalam Q.S. 68/Al-Qalam: 4
وَاِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ. (القلم : 4) 
Dan sesungguhnya kau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S. al-Qalam : 4)[15] 
Bahwasannya Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut dinilai sebagai seseorang yang berakhlak agung (mulia).
Di dalam hadits juga disebutkan perihal betapa pentingnya etika di dalam kehidupan manusia. Bahkan diutusnya rasul yakni dalam rangka menyempurnakan etika yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa :
عن عبد الله حد ثي أبى سعيدبن منصور قال : حدثنا عيد العزيز ين محمد عن محمد بن عجلا عن القعقاع بن حكم عن أبي صالح عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صا.م : انما بعثت لأ تمم صالح الاخلاق.(رواه احمد) [16] 
Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata : menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ijlan dari Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk menyempurnakan etika yang mulia. (H.R.Ahmad) 
Berdasarkan hadits tersebut di atas memperlihatkan pengertian perihal pentingnya pendidikan etika dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan etika yang diberikan dan disampaikan kepada insan tentunya akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, pria maupun perempuan, mempunyai jiwa yang bersih, kemauan yang keras, impian yang benar dan etika yang tinggi, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik, menentukan satu fadhilah sebab cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan. 

b. Tujuan Pendidikan Akhlak 

Tujuan pokok dari pendidikan Islam yakni mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan etika dan memikirkan etika keagamaan sebelum yang lain-lainnya sebab etika keagamaan yakni etika yang tertinggi, sedangkan etika yang mulia itu yakni tiang dari pendidikan Islam. 
Dalam tujuan pendidikan etika sanggup dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. Tujuan Umum 

Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan etika secara umum meliputi : 
  1. Supaya sanggup terbiasa melaksanakan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela. 
  2. Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.[17] 
Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok etika yakni biar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laris (tabiat) berperangai atau beradat istiadat yang baik atau yang sesuai dengan aliran Islam.[18] 

2) Tujuan Khusus 

Adapun secara spesifik pendidikan etika bertujuan:
  1. Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang baik 
  2. Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada etika mulia dan membenci etika yang rendah. 
  3. Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan menderita dan sabar. 
  4. Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan sanggup membantu mereka berinteraksi sosial yang baik, mengasihi kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain. 
  5. Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah. 
  6. Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan bermuamalah yang baik.[19] 
Adapun berdasarkan Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan dari pendidikan moral dan etika dalam Islam yakni membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laris dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam yakni pendidikan moral dan akhlak.[20] 
Dijelaskan juga berdasarkan Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan etika (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu yakni menghipnotis dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. maka etika itu yakni mendorong kehendak biar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.[21] 

RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AKHLAK

Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa dalam garis besarnya etika terbagi dalam dua bagian, pertama yakni etika terhadap Allah/Khaliq (pencipta) dan kedua yakni etika terhadap makhluknya (semua ciptaan Allah).[22] Dan ruang lingkup pendidikan akhlak, di antaranya yakni :

a. Akhlak Terhadap Allah SWT 

Akhlak kepada Allah SWT sanggup diartikan sebagai sikap/perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh insan sebagai makhluk kepada Tuhan yang Khaliq. 
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa insan perlu berakhlak kepada Allah : 
  1. Karena Allah yang telah membuat insan dan membuat insan di air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk. (Q.S. al-Thariq : 5-7). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa insan diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam kawasan yang kokoh (rahim) sehabis ia menjadi segumpal darah, daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya diberikan ruh. (Q.S. Al-Mu’minun : 12-13) 
  2. Karena Allah lah yang telah memperlihatkan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal, pikiran dan hati sanubari. Di samping anggota tubuh yang kokoh dan tepat pada manusia. 
  3. Karena Allah lah yang telah menyediakan banyak sekali materi dan sarana yang diharapkan bagi kelangsungan hidup manusia, ibarat materi masakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, hewan dan ternak dan lain sebagainya. (Q.S.al Jatsiah : 12-13) 
  4. Allah lah yang telah memuliakan insan dengan diberikannya kemampuan untuk menguasai daratan dan lautan. (Q.S. al-Isra’ : 70)[23] 
Dalam berakhlak kepada Allah SWT., insan mempunyai banyak cara, di antaranya dengan taat dan tawadduk kepada Allah, sebab Allah SWT membuat insan untuk berakhlak kepada-Nya dengan cara menyembah kepada-Nya, sebagaimana fiman Allah SWT dalam Q.S. 51/Adz-Dzariyat : 56 :
Dan Aku (Allah) tidak membuat jin dan manusia,melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. (Q.S. adz-Dzariyat : 56)[24]
 
Ada dua dimensi dalam berakhlak kepada Allah SWT :
  • Akhlak kepada Allah sebab bentuk ketaatan (kewajiban kepada Allah) 

Perintah untuk taat kepada Allah ditegaskan dalam firman-Nya yaitu dalam Q.S. 4/An-Nisaa : 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian bila kau berlainan pendapat perihal sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), bila kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.(Q.S. An-Nisaa : 59)[25] 
Akhlak kepada Allah yakni taat dan cinta kepada-Nya, mentaati Allah berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,di antaranya melaksanakan shalat wajib lima waktu. 
  • Akhlak kepada Allah sebab bentuk tawadduk kepada Allah (keikhlasan dalam melaksanakan perintah-Nya). Tawadduk yakni perilaku merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 23/Al-Mukminun : 1-7 :

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. al-Mukminun : 1-7)[26] 
Untuk menumbuhkan perilaku tawadduk, insan harus menyadari asal kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami aliran Islam, menghindari perilaku sombong, menjadi orang yang pemaaf, ikhlas, bersyukur, sabar dan sebagainya.

b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia 

Akhlak terhadap sesama manusia,antara lain meliputi etika terhadap Rasul, orang bau tanah (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat.
  • Akhlak terhadap Rasulullah  

Akhlak karimah kepada Rasulullah yakni taat dan cinta kepadanya, mentaati Rasulullah berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) dia yang berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 4/An-Nisaa : 80 :
Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S.an-Nisaa : 80)[27] 
  • Akhlak terhadap orang bau tanah (ayah dan ibu)

Wajib bagi umat Islam untuk menghormati kedua orang tuanya, yaitu dengan berbakti, mentaati perintahnya dan berbuat baik kepada keluarganya, di antaranya : 
a. Berbicara dengan perkataan yang baik. Firman Allah SWT dalam Q.S. 17/Al-Isra : 23 :
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kau jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kau berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah kau menyampaikan kepada kaduanya perkataan “ah” dan janganlah kau membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataanm yang mulia. (Q.S. al-Isra’ : 23)[28] 
b. Membantu orang bau tanah (ayah dan ibu) 
  • Akhlak terhadap guru 

Akhlakul karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di belakangnya, sebab guru yakni spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan etika dan membenarkannya.
Penyair Syauki telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan kata-katanya sebagai berikut :
قُمْ لِلْمُعَلِّمِ وَفِّهِ التَّبْجِيْلاَ # كَادَالْمُعَلِّمُ اَنْ يَكُوْنَ رَسُوْلاً. [29] 
Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul. 
  • Akhlak terhadap tetangga dan masyarakat 

Pentingnya etika tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di antaranya etika terhadap tetangga dan masyarakat yakni saling tolong menolong, saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun, menepati janji, berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam al-Qur’an Q.S. 5/Al-Maaidah: 2 :
وَتَعَاوَنُوْاعَلَىالْبِرِّ وَالتَّقْوَىصوَلاَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلاِثْمِ وَالْعُدْوانِص وَاتَّقُوا اللهَ ط اِنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ.  
Dan tolonglah menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kau kepada Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksanya. (Q.S. Al-Maaidah : 2)[30] 

c. Akhlak Terhadap Lingkungan 

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini yakni segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, etika yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi insan sebagai khalifah.
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya diciptakan oleh SWT., dan menjadi milik-Nya, serta semua mempunyai ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semuanya yakni “umat” Tuhan yang seharusnya diperlakukan secara masuk akal dan baik, ibarat firman Allah SWT dalam Q.S. 6/Al-An’aam : 38 :
وَمَامِنْ دَآ بَّةٍ فىِ اْلاَرْضِ ولاَ طَئِرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَا حَيْهِ اِلاَّ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ط مَافَرَطْنَا فىِ الْكِتبِ مِن شَيْئٍ ثُمَّ اِلى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ.  
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) ibarat kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(Q.S. Al-An’aam : 38)[31] 

METODE PENDIDIKAN AKHLAK

Dalam buku Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, karangan Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membagi metode pendidikan moral/akhlak ke dalam 5 bagian, di antaranya yakni :[32] 
  1. Keteladanan: Metode ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak. Keteladanan selalu menuntut perilaku yang konsisten serta kontinyu, baik dalam perbuatan maupun budi pekerti yang luhur. 
  2. Dengan memperlihatkan tuntunan: Yang dimaksud di sini yakni dengan memperlihatkan eksekusi atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang berlangsung di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji berdasarkan pandangan al-Qur’an dan Sunnah. 
  3. Dengan kisah-kisah sejarah: Islam memperhatikan kecenderungan alami insan untuk mendengarkan kisah-kisah sejarah. Di antaranya yakni kisah-kisah para Nabi, kisah orang yang durhaka terhadap risalah kenabian serta jawaban yang ditimpakan kepada mereka. al-Qur’an telah memakai kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak. 
  4. Memberikan dorongan dan menanamkan rasa takut (pada Allah): Tuntunan yang disertai motivasi dan menakut-nakuti yang disandarkan pada keteladanan yang baik mendorong anak untuk menyerap perbuatan-perbuatan terpuji, bahkan akan menjadi perwatakannya. 
  5. Memupuk hati nurani: Pendidikan etika tidak sanggup mencapai sasarannya tanpa disertai pemupukan hati nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang sanggup menilai baik buruk suatu perbuatan. Bila hati nurani mencicipi bahagia terhadap perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani mencicipi sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan merespon dengan buruk.
Menurut Ahmad D. Marimba, ada 3 metode dalam pendidikan akhlak, yaitu :[33] 
  1. Dengan pembiasaan; Tujuannya yakni biar cara-cara yang dilakukan dengan tepat, terutama membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu. 
  2. Dengan pembentukan pengertian, minat dan sikap; Dengan diberikan pengetahuan dan pengertian 
  3. Pembentukan kerohanian yang luhur 

MATERI PENDIDIKAN AKHLAK

Mengenai materi etika sanggup dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu :

a. Akhlak Mahmudah 

Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia dan terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya.[34] Akhlak yang terpuji dibagi menjadi dua bagian, yaitu :[35] 

1) Taat Lahir  

Taat lahir berarti melaksanakan seluruh amal ibadah yang diwajibkan Tuhan, termasuk berbuat baik kepada sesama insan dan lingkungan dan dikerjakan oleh anggota lahir. Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat lahir yakni : 
  1. Tobat: Menurut para sufi yakni fase awal perjalanan menuju Allah (taqarrub ila Allah). Tobat dikategorikan taat lahir dilihat dari perilaku dan tingkah laris seseorang. Namun, sifat penyesalannya merupakan taat batin. 
  2. Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar: Yaitu perbuatan yang dilakukan kepda insan untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. 
  3. Syukur: Yaitu berterima kasih pada nikmat yang dianugerahkan Allah kepada insan dan seluruh makhluk-Nya.

2) Taat Batin

Taat batin yakni segala sifat yangbaik, yang terpuji yang dilakukan oleh anggota batin (hati). Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat batin yakni : 
  1. Tawakal : Yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi, menanti atau menunggu hasil pekerjaan. 
  2. Sabar: Dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu sabar dalam beribadah, sabar ketika dilanda malapetaka, sabar terhadap kehidupan dunia, sabar terhadap maksiat, sabar dalam perjuangan. 
  3. Qanaah: Yaitu merasa cukup dan rela dengan pemberian yang dianugerahkan oleh Allah. 

b. Akhlak madzmumah 

Menurut Imam Al-Ghazali, etika madzmumah atau etika tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laris insan yang sanggup membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan. 
Pada dasarnya, sifat dan perbiatan yang tercela dibagi menjadi dua bagian, yaitu :[36] 

1) Maksiat Lahir: 

Yaitu pelanggaran oleh orang yang berakal baligh (mukallaf), sebab melaksanakan perbuatan yang tidak boleh dan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syariat Islam. Maksiat lahir dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu : 
  1. Maksiat mata: Seperti melihat aurat perempuan yang bukan muhrimnya, melihat aurat pria yang muhrimnya, melihat orang lain dengan gaya menghina dan melihat kemungkaran tanpa beramar ma’ruf nahi mungkar. 
  2. Maksiat telinga: Seperti mendengarkan pembicaraan orang lain, mendengarkan orang yang sedang mengumpat, mendengarkan orang yang sedang namimah, mendengarkan nyanyian-nyanyian atau bunyi-bunyian yang sanggup melalaikan ibadah kepada Allah SWT, mendengarkan umpatan, caci maki, perkataan kotor dan ucapan-ucapan yang jahat. 
  3. Maksiat lisan: Seperti berkata-kata yang tidak bermanfaat, berlebih-lebihan dalam percakapan, berbicara hal yang batil, berkata kotor, mencaci maki atau mengucapkan kata laknat, baik kepada manusia, binatang, maupun kepada benda-benda lainnya, menghina, menertawakan, atau merendahkan orang lain, berkata dusta, dan lain sebagainya. 
  4. Maksiat perut: Seperti memasukkan masakan yang haram dan syubhat, kekenyangan, makan dari harta milik orang lain yang belum terperinci (yang diambil dari harta wakaf tanpa ada ketentuan untuk itu dari orang yang memperlihatkan wakaf) 
  5. Maksiat farji (kemaluan): Seperti tidak menjaga auratnya (kehormatan) dengan melaksanakan perbuatan yang haram, dan tidak menjaga kemaluannya. 
  6. Maksiat tangan: Seperti memakai tangan untuk mencuri, merampok, mencopet, merampas, mengurangi timbangan, memukul sesama kaum muslim dan menulis sesuatu yang diharamkan membacanya. 
  7. Maksiat kaki: Seperti jugalah kaki jangan hingga ke tempat-tempat yang haraf. Hendaklah dijaga dan dipelihara dari segala macam langkah yang salah dan janganlah digunakan untuk berjalan menuju ke kawasan raja yang dzalim itu tanpa alasan yang sah akan mendorong terjadinya kemaksiatan yang besar.[37] 

2) Maksiat batin 

Beberapa teladan penyakit batin (akhlak tercela) yakni :[38] 
  1. Marah (ghadab): Dapat dikatakan ibarat nyala api yang terpendam di dalam hati, sebagai salah satu hasil godaan setan pada manusia.
  2. Dongkol (hiqd): Perasaan jengkel yang ada di dalam hati, atau buah dari kemasahan yang tidak tersalurkan. 
  3. Dengki (hasad): Penyakit hati yang ditimbulkan kebencian, iri, dan ambisi. 
  4. Sombong (takabur): Perasaan yang terdapat di dalam hati seseorang, bahwa dirinya hebat dan mempunyai kelebihan.



[1] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm. 1.
[2] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 51.
[3] Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Bandung : Ramadhani, 1993), hlm. 9.
[4] Departemen Agama Republiik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 428.
[5] Frederic J. Mc. Donald, Educational Psychology, (San Francisco, Wadsworth Publishing Company Inc., 1959), hlm. 4.
[6] Nelson B. Henry, Philosophies of Education, (The United States of America : The University, 1962), hlm. 205.
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 15.
[8] Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 26.
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 5.
[10] Elizabeth B. Hurlock, Child Development,Edisi IV, (Kugllehisa, Mc. Grow Hill, 1978), hlm. 386.
[11] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III, (Beirut : Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), hlm. 58.
[12] Muhammad Abul Quasem, Kamil, , Etika Al-Ghazali, “Etika Majemuk Di Dalam Islam, terj. J. Muhyidin, (Bandung : Pustaka, 1975), hlm. 81-82.
[13] Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63.
[14] Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., hlm. 670.
[15] Ibid., hlm. 960.
[16] Al Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Juz II, (Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah, t.th.), hlm. 504.
[17] Barnawy Umari, Materi Akhlak, (Sala : Ramadhani, 1984), hlm. 2.
[18] M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), hlm. 11.
[19] Chabib Thoha, Saifudin Zuhri, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas Tarbiyah,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 136.
[20] Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hlm. 114.
[21] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma’ruf, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 6-7.
[22] M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 352.
[23] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 148.
[24] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 862.
[25] Ibid.,hlm. 128.
[26] Ibid., hlm. 526.
[27] Ibid., hlm. 132.
[28] Ibid., hlm. 427.
[29] M.Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit., hlm. 136.
[30] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 157.
[31] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 192.
[32] Khatib Ahmad Santhut, Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, terj. Ibnu Burdah, “Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1998), hlm. 85-95.
[33] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), hlm. 76-81.
[34] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 158.
[35] Ibid.,hlm. 159-160.
[36] Ibid., hlm. 155.
[37] Imam Al-Ghazali, Pedoman Amaliah Ibadat,(Semarang : CV.Wicaksana, 1989), hlm.113-117.
[38] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit., hlm. 156-157.

Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pendidikan Akhlak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel