Kedudukan As-Sunnah Dan Dalalahnya
Sunnah sebagaimana dimaklumi, merupakan sumber aturan Islam kedua di bawah al-Qur’an, kitab Allah SWT itu sendiri secara faktual sering mempersandingkan Nabi Muhammad saw dengan Rabb-Nya bila berbicara perihal otoritas termaktub di dalam sejumlah besar ayat-ayat al-Qur’an. Kaum beriman diperintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasulnya. Sebagai salah satu contohnya yakni firman Allah azza wa jalla dalam surat an-Nisa ayat 59. Pada umumnya para sobat menyerupai Ibnu Katsir,[1] Ali al-Syabuny,[2] Abdul Wahab Khalaf,[3] dan lain-lain menafsirkan perintah taat kepada Allah dalam ayat tersebut dengan merujuk pada al-Qur’an, sedangkan acuan taat kepada Rasul yakni sunnah.
Kaum muslimin, paling tidak sejak peralihan masa ke I H / 7 M serta sebagian besar kaum orientalis menganggap hal ini sebagai, bahwa otoritas Muhammad ini merasuk pada sikap herbal dan preformatif Nabi saw di luar al-Qur’an. Dalam kenyataannya, bagi kaum muslimin, otoritas al-Qur’an yakni lebih tinggi daripada otoritas Nabi sendiri, lantaran sebagai insan yang tunduk di bawah perintah-perintah dan hukum-hukum al-Qur’an. Nabi tak lebih hanyalah sebagai penyampai al-Qur’an kepada manusia. Dalam hal ini, setiap perkataan Nabi saw untuk membedakan antara premis-premis wahyu Allah dengan ucapan-ucapan serta tindak tanduk dia setiap hari, juga tidak bisa kita nafikan kebenarannya, walaupun bahwasanya al-Qur’an itu sendiri muncul dalam konteks sejarah dan sebagian besar dari padanya berorientasi dekat dengan fenomena-fenomena khusus.
Dalam perkembangan historis Islam, kemudian muncul komunikasi muslim yang menolak adanya sunnah berdasarkan beberapa alasan diantaranya:
- al-Qur’an yakni kitab suci yang berbahasa Arab yang sudah tentu memakai uslub-uslub bahasa (language styles) yang biasa dipakai oleh bangsa Arab. Sehingga kalau seseorang telah mengenal language styles tersebut ia akan bisa memahami al-Qur’an dengan sendirinya, tanpa memerlukan penjelas akan sunnah dan klarifikasi lainnya.
- al-Qur’an sendiri telah menyampaikan bahwa ia telah meliputi segala hal yang diharapkan insan mengenai segala aspek kehidupannya. Tidak ada sesuatupun yang tidak diliput al-Qur’an atau dilalaikan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nahl ayat 89 dan al-An’am ayat 38.[4]
Sikap skeptis atau tepatnya bernada mempertanyakan eksistensi hadits dan atau sunnah Rasul saw menyerupai ini juga dimiliki oleh beberapa orientalis Barat yang getol mempelajari (baca: menggugat) eksistensi Islam itu sendiri, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ignaz Goldziher dalam Muhammadanische Studiennya.[5] Bahwa proses penyaringan sedemikian banyak bahan hadits Nabi SAW, sehingga di protes suatu penggalan yang sanggup dinyatakan sebagai orisinil berasal dari utusan Allah SWT terakhir tersebut atau dari generasi sobat masa awal yakni pemikiran yang meragukan. Kemudian dengan mantap Goldziher berkeyakinan bahwa hadits seharusnya dianggap sebagai catatan perihal kehidupan dan fatwa Nabi saw, atau bahkan sahabat-sahabat beliau, walau demikian, Goldziher tetap mempunyai keyakinan bahwa fenomena hadits berasal dari zaman Islam paling awal dan bahkan mendukung kemungkinan adanya catatan-catatan hadits “informal” pada masa itu.
Disinilah bahwasanya letak nuansa kemenarikannya sumber aturan Islam kedua tersebut, lantaran sebagaimana kita lihat dan saksikan, fenomena-fenomena faktual yang berkembang serta beredar sekitar keyakinan “diterima / tidaknya” sunnah Nabi saw, itu selalu saja menjadi bahan diskusi yang menarik banyak kalangan, baik dari komunitas Islam sendiri maupun komunitas non Islam, yang mempunyai tested interest untuk mempelajari Islam, dan dalam problem ini, kami akan membahas mengenai kedudukan as-Sunnah dan dalalahnya.
Pengertian as-Sunnah
Menurut bahasa (lughawi) as-sunnah[6] berarti: yaitu cara atau jalan yang terpuji maupun yang tercela
Adapun berdasarkan istilah as-sunnah diartikan sebagai berikut: berdasarkan Hafizuddin al-Nasafi (w. 710 H).[7] Sesungguhnya sunnah yakni sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, baik perbuatan maupun perkataan.
Definisi-definisi yang dikemukakan di atas, sebetulnya definisi-definisi yang dirumuskan oleh para andal hadits, dimana peranannya terlihat pada aspek-aspek yang dihubungkan dengan ucapan, perbuatan, dan legalisasi Rasulullah, lantaran berdasarkan para andal hadits, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Mustofa Azami[8] bahwa sunnah di samping terikat dengan ucapan, perbuatan dan legalisasi Nabi juga meliputi aspek-aspek sifat dan hal ihwal perihal diri dia baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Definisi-definisi yang dikemukakan di atas, sebetulnya definisi-definisi yang dirumuskan oleh para andal hadits, dimana peranannya terlihat pada aspek-aspek yang dihubungkan dengan ucapan, perbuatan, dan legalisasi Rasulullah, lantaran berdasarkan para andal hadits, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Mustofa Azami[8] bahwa sunnah di samping terikat dengan ucapan, perbuatan dan legalisasi Nabi juga meliputi aspek-aspek sifat dan hal ihwal perihal diri dia baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Macam-macam Sunnah dilihat dari Segi Bentuknya
Bertitik tolak dari definisi atau pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka sunnah dilihat dari segi bentuknya, sebagaimana dikemukakan oleh Zaky al-Din Sya’ban[9] bahwa para ulama umumnya membagi sunnah menjadi 3 macam, yaitu:
- Sunnah Fi’liyah, ialah hadits yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang dilihat atau diketahui oleh para sobat kemudian disampaikan kepada orang lain, contohnya hal-hal yang bekerjasama tata cara pelaksanaan ibadah.[10]
- Sunnah Taqririyah yaitu perbuatan dan ucapan para sobat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Rasulullah, tetapi dia mendiamkan dan
- Sunnah Qauliyah: yaitu hadits-hadits yang diucapkan pribadi oleh Nabi saw, dalam aneka macam kesempatan terhadap aneka macam problem yang kemudian dinukil oleh para sobat dalam bentuknya yang utuh menyerupai apa yang diucapkan oleh Nabi tersebut. Contoh :Hendaklah kau luruskan shaf kamu, lantaran sesungguhnya shaf yang lurus itu termasuk penggalan dari kesempurnaan shalat.
- tidak menolaknya. Sikap membisu Rasulullah tersebut dengan tidak menolak atas perbuatannya atau ucapan, para sobat itu dipandang sebagai persetujuan beliau.[11]
Macam-macam Sunnah dilihat dari Segi Kuantitas Rawinya
Pembagian sunnah atau hadits dilihat dari kuantitasnya, umumnya para ulama membaginya kepada 3 macam:
- Sunnah mutawatir: yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Rawi (periwayat) yang jumlahnya banyak dan diyakini tidak mungkin adanya kedustaan. Penelitian sunnah mutawatir ini di nukil secara mutawatir, dengan jumlah rawi yang banyak mulai dari sahabat, tabi’in, dan susila tabi’in. Oleh lantaran itu sunnah mutawatir ini hadits yang paling tinggi derajatnya.
- Sunnah masyhur, yang dimaksud dengan sunnah masyhur sebagaimana disebutkan oleh Abdul Karim Zaidan[12] ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw oleh dua orang atau lebih dan tidak mencapai tingkat mutawatir, kemudian hadits ini tersebar di kalangan tabi’in atau sering juga disebut dengan generasi kedua (tabi’in) dan generasi ketiga (tabiat tabi’in).
- Sunnah Ahad, yang dimaksud dengan sunnah minggu yakni hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, tetapi tidak melerai tingkat mutawatir. Hal ini terjadi lantaran boleh jadi kadang kala ia diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau lebih, namun tidak hingga tingkat mutawatir.[13]
Kehujjahan Sunnah
Dilihat dari segi pembagian sunnah menjadi mutawatir, masyhur dan ahad. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka sunnah mutawatir, masyhur maupun minggu merupakan sumber dan dasar pelatihan aturan Islam. Abdul Kholaf[14] menyebutkan bahwa sunnah dari segi kehujjahannya ia merupakan sumber dalam melaksanakan istimbath aturan dan menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan balasan dalam al-Qur’an perihal insiden yang terjadi mereka mencari dalam sunnah.
Namun demikian, dari ketiga macam pembagian sunnah yang telah disebutkan di atas, maka terhadap sunnah mutawatir seluruh ulama baik ulama ushul maupun andal hadits sepakat atas kehujjahannya. Demikian pula terhadap sunnah masyhur dan sunnah ahad, akan tetapi para ulama berbeda pendapat perihal persyaratan sunnah ahad.
Kalangan Malikiyah menyebutkan bahwa mereka mendapatkan dan mengamalkan sunnah minggu juga tidak berlawanan dengan amal andal madinah. Dalam pandangan Imam Malik dan pengikutnya, bahwa amal andal Madinah posisinya lebih berpengaruh dari pada sunnah ahad.
Sementara itu kalangan Hanafiyah juga mendapatkan dan mengamalkan sunnah ahad[15] dengan beberapa syarat, pertama sunnah minggu sanggup diterima juga tidak terkait dengan aneka macam peristiwa; kedua tidak berkenaan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang niscaya dalam syari’at; ketiga perawi sunnah minggu tidak menyalahi riwayatnya, lantaran apa yang diriwayatkan berarti ia meninggalkan atau mengusahakan sesuatu yang seharusnya dilakukannya.
Namun demikian, dari ketiga macam pembagian sunnah yang telah disebutkan di atas, maka terhadap sunnah mutawatir seluruh ulama baik ulama ushul maupun andal hadits sepakat atas kehujjahannya. Demikian pula terhadap sunnah masyhur dan sunnah ahad, akan tetapi para ulama berbeda pendapat perihal persyaratan sunnah ahad.
Kalangan Malikiyah menyebutkan bahwa mereka mendapatkan dan mengamalkan sunnah minggu juga tidak berlawanan dengan amal andal madinah. Dalam pandangan Imam Malik dan pengikutnya, bahwa amal andal Madinah posisinya lebih berpengaruh dari pada sunnah ahad.
Sementara itu kalangan Hanafiyah juga mendapatkan dan mengamalkan sunnah ahad[15] dengan beberapa syarat, pertama sunnah minggu sanggup diterima juga tidak terkait dengan aneka macam peristiwa; kedua tidak berkenaan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang niscaya dalam syari’at; ketiga perawi sunnah minggu tidak menyalahi riwayatnya, lantaran apa yang diriwayatkan berarti ia meninggalkan atau mengusahakan sesuatu yang seharusnya dilakukannya.
Hubungan Sunnah dengan al-Qur’an
Jika dilihat korelasi sunnah dengan al-Qur’an keberadaannya sangat penting sekali. Karena keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini akan terlihat dalam hal penerapan fatwa al-Qur’an dalam kehidupan. Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab Kholaf[16] tidak seorangpun mengingkari bahwa paling tidak ada tiga fungsi sunnah terhadap al-Qur’an bila dilihat korelasi antara keduanya.
- Berfungsi untuk menguatkan dan membenarkan hukum-hukum yang dibawa oleh al-Qur’an
- Untuk menjelaskan dan memberi rincian pelaksanaan fatwa yang dibawa al-Qur’an yang hanya disebut secara global
- Sunnah kadang kala berfungsi untuk menetapkan sesuatu ketentuan aturan yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an.
Sunnah dan Dalalahnya
Dilihat dari segi eksistensi al-Sunnah sebagai dasar dalam penetapan hukum, maka ia ada yang qat’iy al-wurud dan dzanny al-wurud. Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Wahab Kholaf, sunnah yang digolongkan kepada qat’iy al-wurud ini yakni hadits-hadits mutawatir, lantaran hadits-hadits mutawatir ini tidak diragukan kebenaran bahwa ia niscaya tiba dari Nabi saw. Dengan kata lain hadits mutawatir dilihat dari segi periwayatannya dilakukan oleh jumlah rawi yang banyak dan secara logika tidak mungkin jumlah rawi yang banyak itu melaksanakan kedustaan dalam riwayatnya. Sementara itu, sunnah yang dolongkan kepada dzanny al-wurud yakni hadits-hadits masyhur dan ahad.
Kemudian sunnah dilihat dari segi dalalahnya yaitu petunjuk yang sanggup dipahami terhadap mereka atau pengertian yang dikehendaki sanggup dibedakan kepada qat’iy al-dalalat dan zany al-dalalat yakni hadits-hadits juga dilihat dari segi makna lafadnya tidak mungkin di takwilkan. Dengan kata lain sunnah yang dalalahnya qat’iy itu yakni hadits-hadits dimana pengertian yang ditujukannya mengandung makna yang terang dan pasti. Sebagai pola sanggup dikemukakan bahwa dalam hadits disebutkan cara Rasulullah berwudlu,[17] dengan membasuh anggota wudlu masing-masing tiga kali kecuali mengusap kepala.
Adapun zany al-dalalat yakni hadits-hadits yang makna lafalnya tidak memperlihatkan kepada pengertian yang terjadi lantaran masih mungkin diartikan kepada pengertian lain.[18] Misalnya hadits perihal bacaan surat al-Fatihah dalam shalat.
Atas dasar ini, kalau dibandingkan antara al-Qur’an dengan sunnah dilihat dari segi qat’iy dan zany antara keduanya, maka al-Qur’an seluruh nashnya yakni qat’iy al-wurud atau sering juga disebut dengan qat’iy al-subut, sedangkan dalalahnya ada yang qat’iy dan ada pula yang zanni. Adapun sunnah ada yang qat’iy al-wurud dan ada pula yang zany al-wurud, ada yang qat’iy al-dalalah dan ada pula yang zany al-dalalah.
Kemudian sunnah dilihat dari segi dalalahnya yaitu petunjuk yang sanggup dipahami terhadap mereka atau pengertian yang dikehendaki sanggup dibedakan kepada qat’iy al-dalalat dan zany al-dalalat yakni hadits-hadits juga dilihat dari segi makna lafadnya tidak mungkin di takwilkan. Dengan kata lain sunnah yang dalalahnya qat’iy itu yakni hadits-hadits dimana pengertian yang ditujukannya mengandung makna yang terang dan pasti. Sebagai pola sanggup dikemukakan bahwa dalam hadits disebutkan cara Rasulullah berwudlu,[17] dengan membasuh anggota wudlu masing-masing tiga kali kecuali mengusap kepala.
Adapun zany al-dalalat yakni hadits-hadits yang makna lafalnya tidak memperlihatkan kepada pengertian yang terjadi lantaran masih mungkin diartikan kepada pengertian lain.[18] Misalnya hadits perihal bacaan surat al-Fatihah dalam shalat.
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”Dengan demikian, sanggup dipahami bahwa nash-nash yang dikategorikan zany al-dalalat ini memang memberi peluang untuk ditakwilkan atau diartikan kepada arti yang lain selain dari dasar yang dikandungnya.
Atas dasar ini, kalau dibandingkan antara al-Qur’an dengan sunnah dilihat dari segi qat’iy dan zany antara keduanya, maka al-Qur’an seluruh nashnya yakni qat’iy al-wurud atau sering juga disebut dengan qat’iy al-subut, sedangkan dalalahnya ada yang qat’iy dan ada pula yang zanni. Adapun sunnah ada yang qat’iy al-wurud dan ada pula yang zany al-wurud, ada yang qat’iy al-dalalah dan ada pula yang zany al-dalalah.
KESIMPULAN
Dari uraian si atas sanggup menyimpulkan perihal kehujjahan sunnah dan kedudukan sunnah dalam aturan Islam.
Abdul Wahab Khalaf, menyebutkan bahwa sunnah merupakan sumber dalam melaksanakan istimbath aturan dan menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan balasan dalam al-Qur’an perihal insiden yang terjadi mereka mencari dalam sunnah.[19]
Kemudian fungsi sunnah terhadap aturan Islam
Abdul Wahab Khalaf, menyebutkan bahwa sunnah merupakan sumber dalam melaksanakan istimbath aturan dan menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan balasan dalam al-Qur’an perihal insiden yang terjadi mereka mencari dalam sunnah.[19]
Kemudian fungsi sunnah terhadap aturan Islam
- Berfungsi untuk menguatkan dan membenarkan aturan yang di bawa al-Qur’an
- Untuk mengakibatkan dan memperlihatkan rincian pelaksanaan fatwa yang di bawa al-Qur’an yang hanya di sebut secara global.
[1] Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 641
[2] Muhammad Ali al-Shabuny, Shafwatu al-Tafsir, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1981), hlm. 285
[3] Dr. Abdul Wahab Kholaf, Ilm Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis Ala al-Indonesiyiy li al Dakwah al-Islamiyah, 1972), hlm. 39
[4] Drs. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), hlm. 28
[5] Ignaz Goldziher, Muhammeanische Studien, terj. Bahasa Inggris “Muslim Studies” C.R. Barber and S.M Stem, George Allen and Unwin, 1971, vol. 2, hlm. 5
[6] lihat dalam Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi al-Balad al-Arabiyah, (Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, 1990), cet. III, hlm. 64
[7] Hafizuddin al-Nasofi, Kasyful Asror, Juz III, (Beirut : Lebanon Dar al-Kutub al-Islamiyah, cet. I, 1986, hlm. 3
[8] Muhammad Mustofa Azami, Hadits Nabawi dari Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Ya’qub, MA, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), cet. I, hlm. 14
[9] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar Ta’lif, 1965), hlm. 54
[10] Ibid.,hlm. 53-54
[11] Ibid.,
[12] Ibid., hlm. 57
[13] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo : Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syab al-Azhar, 1990), cet. VIII, hlm. 42
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hlm. 39
[16] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad: al-Dar al-Arabiyah Littiba’ah, 1977), cet. VI, hlm. 77
[17] Ibid.,
[18] Zaky al-Din Sya’ban, loc.cit.,
[19] Drs. Romli SA, M.Ag, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, hlm. 75
0 Response to "Kedudukan As-Sunnah Dan Dalalahnya"
Posting Komentar