Asuransi Dalam Perspektif Aturan Islam
Hukum Islam telah usang dikenal dalam tataran kehidupan manusia, yaitu kurang lebih 15 kala kemudian aturan Islam telah ada bersanding dengan manusia. Pada awal masa Islam di mana kekuatan aturan Islam masih ada di tangan Nabi Muhammad saw, corak dan karakteristik aturan Islam masih diwarnai oleh pembentukan dan kelahirannya. Pada era modern ini perkembangan dan pertumbuhan masyarakat sangat cepat sekali. Masalah yang timbul, juga banyak dan tak terduga, problem kontemporer bermunculan aneka macam di antara isu-isu yang muncul ada yang berkaitan dengan warta seputar lembaga-lembaga ekonomi gres yang sebelumnya secara formal dalam dunia Timur belum terlambangkan dalam sebuah institusi menyerupai forum perbankan dan asuransi kedua forum ini di dunia Barat merupakan barang usang yang telah ada dan telah menjadi salah satu instrumen sekaligus mesin ekonomi pada era modern. Asuransi sebagai forum keuangan non bank, terorganisir secara rapi dalam bentuk sebuah perusahaan yang berorientasi pada aspek bisnis pada era modern. Revolusi industri di kalangan masyarakat Barat memiliki banyak tuntutan untuk mengadakan sebuah langkah perlindungan terhadap acara ekonomi.[1]
Dalam hal ini, aturan Islam mengemban misi untuk melaksanakan sebuah proyek Islamisasi ataupun menggali nilai-nilai yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul dalam membentuk sebuah perangkat asuransi modern yang selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam fatwa Islam. Dengan didasarkan pada perkiraan awal yang dijelaskan bahwa dalam fatwa Islam telah tepat dan memiliki nilai yang universal serta meliputi seluruh aspek hidup insan yang telah dijamin dengan adanya norma yang mengatur kehidupan tersebut selaras dengan firman Allah SWT,[2] dalam QS. Al-Maidah ayat 3
Para ulama berbeda pendapat dalam memilih keabsahan praktik aturan asuransi. Secara garis besar, kontroversial terhadap problem ini sanggup dipilah menjadi dua kelompok yaitu pertama ulama yang mengharamkan asuransi dan kedua ulama yang membolehkan asuransi. Kedua kelompok ini memiliki dasar-dasar aturan dan menawarkan alasan-alasan aturan sebagai penguat terhadap pendapat yang disampaikannya. Di antara pendapat para ulama dalam problem asuransi ini ada yang mengharamkan asuransi dalam bentuk apapun dan ada yang membolehkan dalam semua bentuk, ada juga yang beropini membolehkan asuransi yang bersifat sosial (ijtima’i) dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial (tijary) serta adapula yang mencurigai (subhat).[4]
Asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktekkan teorinya sangat relevan dengan tujuan umum syari’ah dan diserukan oleh dalil-dalil juz’inya. Dikatakan demikian alasannya yaitu asuransi dalam arti tersebut yaitu sebuah adonan kesepakatan untuk saling menolong yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Tujuannya yaitu menghilangkan atau meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa sebagian mereka dan jalan yang mereka tempuh yaitu dengan menawarkan sedikit dukungan dari masing-masing individu. Asuransi dalam pengertian ini dibolehkan tanpa ada perbedaan pendapat, tetapi perbedaan pendapat timbul dalam sebagian sarana-sarana kerja yang berusaha merealisasikan dan mengaplikasikan teori dan sistem tersebut yaitu akad-akad asuransi yang dilangsungkan oleh para tertanggung bersama perseroan-perseroan asuransi.
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya ihwal pedoman umum asuransi syari’ah yaitu perjuangan saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan tabbaru’ yang menawarkan teladan pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui komitmen yang sesuai dengan syari’ah. Dari definisi di atas tampak bahwa asuransi syari’ah bersifat saling melindungi dan tolong menolong, yang disebut ta’awun yaitu prinsip dalam hidup yang saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota penerima asuransi syari’ah dalam menghadapi malapetaka (risiko).[5]
Dalam hal ini, aturan Islam mengemban misi untuk melaksanakan sebuah proyek Islamisasi ataupun menggali nilai-nilai yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul dalam membentuk sebuah perangkat asuransi modern yang selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam fatwa Islam. Dengan didasarkan pada perkiraan awal yang dijelaskan bahwa dalam fatwa Islam telah tepat dan memiliki nilai yang universal serta meliputi seluruh aspek hidup insan yang telah dijamin dengan adanya norma yang mengatur kehidupan tersebut selaras dengan firman Allah SWT,[2] dalam QS. Al-Maidah ayat 3
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kau agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Imam Syafi’i sebagai seorang pakar dalam aturan Islam menyatakan bahwa kaidah-kaidah itu untuk menjaga semangat aturan Islam yang fungsi utamanya yaitu mengontrol masyarakat dan bukan untuk dikontrol oleh masyarakat. Menurutnya wahyu Allah menyerupai dikemukakan dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, ditujukan untuk menghadapi setiap kejadian yang mungkin terjadi. Secara implisit Imam Syafi’i beropini bahwa segala sesuatu problem itu sudah disiapkan pemecahannya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.[3]
Asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktekkan teorinya sangat relevan dengan tujuan umum syari’ah dan diserukan oleh dalil-dalil juz’inya. Dikatakan demikian alasannya yaitu asuransi dalam arti tersebut yaitu sebuah adonan kesepakatan untuk saling menolong yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Tujuannya yaitu menghilangkan atau meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa sebagian mereka dan jalan yang mereka tempuh yaitu dengan menawarkan sedikit dukungan dari masing-masing individu. Asuransi dalam pengertian ini dibolehkan tanpa ada perbedaan pendapat, tetapi perbedaan pendapat timbul dalam sebagian sarana-sarana kerja yang berusaha merealisasikan dan mengaplikasikan teori dan sistem tersebut yaitu akad-akad asuransi yang dilangsungkan oleh para tertanggung bersama perseroan-perseroan asuransi.
Baca Juga
[1] AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 6.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Asuransi Takaful, Jakarta: BAMI, 1994, hlm. 147-149
[3] Ibid., hlm. 97-98.
[4] Nandi Rahman, Asuransi Tafakul Keluarga Menurut Ekonomi Islam, Jakarta, 2002, hlm. 4.
[5] Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, Asuransi Syari’ah, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 29-30.
Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com
0 Response to "Asuransi Dalam Perspektif Aturan Islam"
Posting Komentar