Ajaran Pokok Mu'tazilah (1): At-Tauhid (Keesaan Tuhan)
At Tauhid yakni dasar aqidah Islam yang pokok dan utama. Sebenarnya Tauhid bukanlah ciptaan Mu'tazilah, tetapi lantaran mereka menafsirkan dan mempertahankannya sedemikian rupa, maka mereka dipertalikan dengan prinsip at-Tauhid (Keesaan) dan populer dengan sebutan Ahlu Tauhid.
Imam Al Asy’ari dalam kitabnya: Maqalat al Islamiyyin, menyebutkan pengertian Tauhid berdasarkan Mu'tazilah sebagai berikut:
Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda) bukan eksklusif (syahs), bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non-essential property), tidak berlaku padanya masa. Tiada daerah baginya, tiada sanggup disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang memperlihatkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya, tiada melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak sanggup dilihat dengan mata kepala dan tidak sanggup digambarkan dengan nalar pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.
Apabila kita perhatikan uraian di atas, maka akan tampak terperinci bahwa pikiran-pikiran Mu'tazilah mengambil istilah-istilah filsafat menyerupai syahs, jauhar, aradl, teladan (contoh/idea) dan sebagainya. Prinsip Tauhid ini dipertahankan dan diberi argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul-betul murni. Oleh lantaran itu sebagai kelanjutan daripada prinsip ini maka mereka beropini pula:
Imam Al Asy’ari dalam kitabnya: Maqalat al Islamiyyin, menyebutkan pengertian Tauhid berdasarkan Mu'tazilah sebagai berikut:
Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda) bukan eksklusif (syahs), bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non-essential property), tidak berlaku padanya masa. Tiada daerah baginya, tiada sanggup disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang memperlihatkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya, tiada melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak sanggup dilihat dengan mata kepala dan tidak sanggup digambarkan dengan nalar pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.
Apabila kita perhatikan uraian di atas, maka akan tampak terperinci bahwa pikiran-pikiran Mu'tazilah mengambil istilah-istilah filsafat menyerupai syahs, jauhar, aradl, teladan (contoh/idea) dan sebagainya. Prinsip Tauhid ini dipertahankan dan diberi argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul-betul murni. Oleh lantaran itu sebagai kelanjutan daripada prinsip ini maka mereka beropini pula:
- Tidak mengakui sifat-sifat Tuhan sebagai suatu yang qodim, yang lain dari zat-Nya. Menurut mereka apa yang disebut sifat Tuhan tidak sanggup dipisahkan dari Tuhan sendiri. Allah itu tahu sama dengan Allah itu berkuasa, sama saja Allah itu hidup, sama saja Allah itu mendengar dan melihat dan jadinya sama saja dengan Allah itu ada. Mereka beropini bahwa keabadian yakni sifat yang membedakan zat Ilahi, bahwa Tuhan yakni Abadi/Qodim, lantaran keabadian yakni sifat-Nya yang khas. Tuhan tidak memiliki sifat, yang ada hanyalah zat, tapi bukan berarti menafikan sifat Tuhan, tetapi sifat itu bukan sifat zat, alasannya yakni bila demikian akan terjadi “muta’addidul qudama” berbilangnya yang qodim. Oleh alasannya yakni itu Mu'tazilah diberi gelar golongan mu’attilah, yang mengosongkan, meniadakan sifat-sifat Tuhan. Namun pengikut-pengikut Washil bin Atha’ menetapkan dua sifat pokok bagi Tuhan yaitu: ilmu dan qudrat, itupun bukan sifat tetapi keadaan (haal).
- Mengingkari pendapat yang menyampaikan adanya arah bagi Tuhan, dan menakwilkan ayat-ayat yang memiliki kesan adanya persamaan Tuhan dengan makhluk-Nya (antromorphisme/musyabbihah). Mereka melarang memperlihatkan sifat bagi Tuhan dengan sifat keadaan, baik dengan jalan jurusan, tempat, rupa atau tubuh maupun dengan jalan perubahan, berhenti, bergerak atau melarut. Dalam tafsiran mereka mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang mempergunakan sifat, mereka pahami dalam arti kiasan dan bukannya dalam arti harfiah.
- Mengingkari bahwa Tuhan sanggup dilihat dengan mata kepala. Karena orang yang bertanya di mana adanya Tuhan, menyamakannya dengan sesuatu. Tuhan yakni Pencipta, bukan lantaran Ia sendiri dicipta, Tuhan ada bukan lantaran sebelumnya Ia tiada, Ia ada bersama tiap benda, bukan lantaran serupa atau dekat. Ia di luar segala, bukan lantaran terpisah. Ia yakni alasannya yakni utama, bukan dalam arti bergerak bertindak. Ia yakni melihat tetapi orang tidak sanggup melihat-Nya. Ia tidak bekerjasama dengan tempat, waktu dan tidak memiliki dimensi.
- Dengan Keesaan yang mutlak, mereka menolak konsepsi-konsepsi dualisme maupun trinitas wacana Tuhan,
“Tidak ada seseuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (As-Syuraa:11)Ayat yang memperlihatkan Tuhan berjisim dita’wilkan menyerupai dalam surat Al-Fath: 10:
“Tangan Allah di atas tangan mereka”.
Ayat yang memperlihatkan Tuhan bertempat, menyerupai dalam surat Al-A’raf : 54 :
Berikut ini dikemukakan pola jalan pikiran Mu'tazilah di dalam perjuangan memurnikan Tuhan atau mensucikan-Nya menyerupai kasus melihat Tuhan. Dikatakan bahwa Tuhan tidak berjisim, maka juga tidak berarah. Jika Tuhan tidak berarah, maka insan tidak sanggup melihat-Nya lantaran setiap sesuatu yang sanggup dilihat itu niscaya berada pada suatu daerah atau arah, disamping diharapkan beberapa syarat menyerupai adanya cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian itu tidak mungkin bagi Allah.
Argumen di atas diperkuat dengan dalil ayat Al-Qur’an surat al-An’am ayat 103 yang menyatakan bahwa Tuhan tidak sanggup dilihat dengan mata kepala.
Semua ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan prinsip tanzil, penyucian dan permulaan di mana Tuhan tidak mungkin bersifat sebagaimana sifat makhluk-Nya, harus ditolak dan pengertiannya harus dita’wilkan. Hadits sebagai penjelas Al-Qur’an diterima hanya yang mutawatir saja yang menghasilkan ilmu yakin, mengingat ini kasus keyakinan keimanan, sedang hadits yang pertanda Tuhan sanggup dilihat harus ditolak lantaran itu hadits ahad.
Di samping pensifatan Tuhan dengan sifat salbiyah (negatif), Mu'tazilah juga menetapkan sifat ma’ani (positif) bagi Tuhan menyerupai sifat Ilmu, Hayyun, Qudrat, Iradrat, Sama’, Bashar, dan Kalam yang kesemuanya sifat tersebut tidak terpisah dengan zat-Nya. Sebab bila terpisah atau bangun sendiri berarti ada dua kekekalan, “ta’addudul qudama”, berarti Tuhan berbilang, hal ini merupakan suatu yang tidak mungkin bagi Tuhan.
Tentang sifat Ilmu, Qudrat, dan Iradat Tuhan, tidak akan berubah lantaran adanya perubahan. Ilmu yakni terbukanya sesuatu sesuai dengan keadaannya. Pengertian ini mengandung konsekuensi daripada perubahan itu. Bahwa perubahan itu berdasarkan pandangan manusia, di mana di dalam mengetahui sesuatu dengan alat pancaindera dan sangat bergantung dengan beberapa kondisi. Akan tetapi bagi Tuhan tidak ada bedanya, alasannya yakni adanya atau tidak adanya sesuatu tidak akan besar lengan berkuasa bagi Tuhan. Tuhan mengetahui dengan zat-Nya terhadap sesuatu yang telah dan akan ada dengan ilmu yang satu, sedang perubahan itu tergantung kepada daerah dan waktu.
Dari pendirian di atas timbul duduk masalah baru, menyerupai mengenai kekuasaan-Nya. Sehubungan dengan kekuasaan Tuhan yang mutlak, maka apakah Dia kuasa untuk menyiksa, merusak nirwana atau neraka bersama penghuninya atau mematikan mereka sesudah ditentukan keadilan-Nya atau berkuasakah untuk meninggalkan sesuatu yang diketahui kebaikannya.
Problema di atas dijawab oleh An-Nadzam, seorang tokoh Mu'tazilah bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk berbuat aniaya (dhalim) alasannya yakni perbuatan dhalim hanya akan dilakukan oleh yang membutuhkan obyek untuk pelampiasan nafsu atau tidak mengerti akhir jelek daripada perbuatan dhalimnya itu. Tuhan berkuasa untuk merusak nirwana atau neraka serta penghuninya sesudah dipastikan keadilannya lantaran mereka tidak mungkin hidup abadi tanpa batas. Bahwa penganiayaan atau perbuatan dhalim hanya akan terjadi bagi yang bersifat dengki, hasud, tanpa belas kasih. Maha Suci Tuhan daripada sifat dhalim serupa itu.
Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com
“Dia bersemayam di atas Arsy”.Ayat yang memperlihatkan Tuhan punya tangan, tangan di sini diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang memperlihatkan Tuhan bertempat dalam Arsy’ diartikan bahwa Tuhan menguasai dan sebagainya. Alasan Mu'tazilah menta’wilkan ayat-ayat tersebut, lantaran apabila diartikan secara harfiah tidak masuk nalar dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan mengurangi kesucian Tuhan sendiri. Oleh alasannya yakni itu di dalam menjabarkan Tuhan Yang Maha Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) menyerupai tidak berjisim, tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang pada prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk.
Berikut ini dikemukakan pola jalan pikiran Mu'tazilah di dalam perjuangan memurnikan Tuhan atau mensucikan-Nya menyerupai kasus melihat Tuhan. Dikatakan bahwa Tuhan tidak berjisim, maka juga tidak berarah. Jika Tuhan tidak berarah, maka insan tidak sanggup melihat-Nya lantaran setiap sesuatu yang sanggup dilihat itu niscaya berada pada suatu daerah atau arah, disamping diharapkan beberapa syarat menyerupai adanya cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian itu tidak mungkin bagi Allah.
Argumen di atas diperkuat dengan dalil ayat Al-Qur’an surat al-An’am ayat 103 yang menyatakan bahwa Tuhan tidak sanggup dilihat dengan mata kepala.
Dia tidak sanggup dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia sanggup melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.Pendapat tersebut banyak menerima tantangan dengan menunjuk dalil naqli juga, yaitu dengan memakai ayat yang menceritakan nabi Musa mohon kepada Tuhan biar sanggup melihat-Nya. Seandainya hal itu tidak mungkin, maka mengapa Nabi Musa memintanya? Mu'tazilah menjawab bahwa permohonan itu atas desakan dari kaumnya yang tidak sanggup ditawar lagi, bukan permohonan Nabi Musa.
Semua ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan prinsip tanzil, penyucian dan permulaan di mana Tuhan tidak mungkin bersifat sebagaimana sifat makhluk-Nya, harus ditolak dan pengertiannya harus dita’wilkan. Hadits sebagai penjelas Al-Qur’an diterima hanya yang mutawatir saja yang menghasilkan ilmu yakin, mengingat ini kasus keyakinan keimanan, sedang hadits yang pertanda Tuhan sanggup dilihat harus ditolak lantaran itu hadits ahad.
Di samping pensifatan Tuhan dengan sifat salbiyah (negatif), Mu'tazilah juga menetapkan sifat ma’ani (positif) bagi Tuhan menyerupai sifat Ilmu, Hayyun, Qudrat, Iradrat, Sama’, Bashar, dan Kalam yang kesemuanya sifat tersebut tidak terpisah dengan zat-Nya. Sebab bila terpisah atau bangun sendiri berarti ada dua kekekalan, “ta’addudul qudama”, berarti Tuhan berbilang, hal ini merupakan suatu yang tidak mungkin bagi Tuhan.
Tentang sifat Ilmu, Qudrat, dan Iradat Tuhan, tidak akan berubah lantaran adanya perubahan. Ilmu yakni terbukanya sesuatu sesuai dengan keadaannya. Pengertian ini mengandung konsekuensi daripada perubahan itu. Bahwa perubahan itu berdasarkan pandangan manusia, di mana di dalam mengetahui sesuatu dengan alat pancaindera dan sangat bergantung dengan beberapa kondisi. Akan tetapi bagi Tuhan tidak ada bedanya, alasannya yakni adanya atau tidak adanya sesuatu tidak akan besar lengan berkuasa bagi Tuhan. Tuhan mengetahui dengan zat-Nya terhadap sesuatu yang telah dan akan ada dengan ilmu yang satu, sedang perubahan itu tergantung kepada daerah dan waktu.
Dari pendirian di atas timbul duduk masalah baru, menyerupai mengenai kekuasaan-Nya. Sehubungan dengan kekuasaan Tuhan yang mutlak, maka apakah Dia kuasa untuk menyiksa, merusak nirwana atau neraka bersama penghuninya atau mematikan mereka sesudah ditentukan keadilan-Nya atau berkuasakah untuk meninggalkan sesuatu yang diketahui kebaikannya.
Problema di atas dijawab oleh An-Nadzam, seorang tokoh Mu'tazilah bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk berbuat aniaya (dhalim) alasannya yakni perbuatan dhalim hanya akan dilakukan oleh yang membutuhkan obyek untuk pelampiasan nafsu atau tidak mengerti akhir jelek daripada perbuatan dhalimnya itu. Tuhan berkuasa untuk merusak nirwana atau neraka serta penghuninya sesudah dipastikan keadilannya lantaran mereka tidak mungkin hidup abadi tanpa batas. Bahwa penganiayaan atau perbuatan dhalim hanya akan terjadi bagi yang bersifat dengki, hasud, tanpa belas kasih. Maha Suci Tuhan daripada sifat dhalim serupa itu.
0 Response to "Ajaran Pokok Mu'tazilah (1): At-Tauhid (Keesaan Tuhan)"
Posting Komentar