iklan

Tinjauan Aturan Islam Terhadap Praktek Poligami Bawah Tangan

Islam menganjurkan dan mendorong adanya suatu perkawinan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur sedemikian rupa. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara dua orang (laki-laki dan perempuan) untuk hidup bersama berdasarkan ketentuan syari’at Islam. 
Pada dasarnya Islam menganut sistem monogami, yaitu seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan sebaliknya seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami, prinsip ini sesuai dengan UU No.1 Th 1974 pasal 3 ayat 1 yang menyatakan :
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami”.[1] 
Pengecualian dari prinsip monogami ditetapkan pada ayat berikutnya, yaitu poligami boleh dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa dan sehabis menerima izin dari istri.
Hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, atau beristri lebih dari seorang perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara istri sanggup dipenuhi dengan baik. Karena aturan Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya biar poligami sanggup dilaksanakan manakala memang diharapkan dan tidak merugikan dan tidak menjadi kesewenang-wenangan terhadap istri. Maka aturan Islam di Indonesia perlu mengatur mengenai proses poligami.
Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang diwajibkan mengajukan permohonan izin poligami kepada pengadilan agama di tempat tempat tinggalnya sesuai dengan pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 menyebutkan:

Baca Juga

“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.[2] 
Karena mekanisme poligami yang dianggap sangat menyulitkan dan kurangnya kesadaran akan pentingnya arti sebuah perkawinan maka terjadilah banyak penyimpangan-penyimpangan dalam masyarakat.
Adanya penyimpangan-penyimpangan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang diantaranya untuk menjaga hubungan laki-laki dan perempuan biar terhindar dari perbuatan yang tidak boleh oleh agama, dan bahwa agama tidak mengharuskan atau menyebutkan pencatatan pernikahan. Dengan demikian banyak masyarakat yang melaksanakan poligami bawah tangan. Poligami bawah tangan tidak hanya terdapat pada suatu tempat tertentu saja, hampir di semua tempat ada yang melakukannya. 
Pengertian Poligami Bawah Tangan 
Definisi tekstual poligami bawah tangan secara niscaya belum pernah penulis temukan. Bahkan UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat kebijaksanaan ihwal tidak diperbolehkannya poligami tidak dicatatkan, inipun tidak memperlihatkan definisi secara eksplisit. Namun dalam hal ini, berdasarkan ekonomis penulis, pengertian bisa diketahui dari definisi poligami dan nikah bawah tangan.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, Polus artinya banyak, gamos artinya perkawinan. Kaprikornus sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang isteri dalam suatu saat.[3]
Dalam fiqh munakahat, yang dimaksud poligami yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari seorang tetapi dibatasi paling banyak yaitu empat orang.[4]
Nikah bawah tangan yaitu ijab kabul yang dilakukan secara agama tetapi tidak dihadapan PPN (tidak dicatatkan).[5]
Jadi, poligami bawah tangan yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri atau banyak istri dalam waktu yang sama yang dilakukan secara agama tetapi tidak dilakukan dihadapan PPN (tidak dicatatkan). 
Dasar Hukum Poligami Bawah Tangan 
Dasar aturan diperbolehkannya poligami sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan kalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian kalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. yang demikian itu yaitu lebih akrab kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa’ : 3)[6] 
Perlu juga digaris bawahi bahwa ayat di atas tidak membuat suatu peraturan ihwal poligami, lantaran poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan sopan santun istiadat sebelumnya, namun hanya membicarakan ihwal bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilakukan ketika amat diharapkan dan dengan syarat yang tidak ringan.[7]
Para pakar fiqih sepakat, bahwa aturan melaksanakan poligami yaitu boleh (mubah), Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntunan kehidupan. Allah SWT telah mensyari’atkan poligami untuk diterima tanpa keraguan demi kebahagiaan seorang mukmin di dunia dan akhirat.[8]
Abbas Mahmud al-Aqqab beropini bahwa Islam tidak membuat poligami, tidak mewajibkan dan tidak pula mensunatkannya, akan tetapi Islam mengijinkan poligami itu dalam beberapa kondisi dengan bersyarat keadilan dan kemampuan.[9] 
Praktek Poligami Bawah Tangan Ditinjau dari Hukum Islam 
Praktek poligami bawah tangan bekerjsama sudah ada semenjak zaman dahulu dan masih eksis hingga sekarang, sebagai salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat. Praktek poligami bawah tangan tidak hanya terjadi di suatu tempat tertentu, tetapi terjadi di semua daerah.
Dalam melaksanakan poligami, prakteknya biasanya dilakukan secara belakang layar tanpa diketahui oleh lingkungan sekitar. Setelah beberapa lama, barulah masyarakat sekitar mengetahuinya. Poligami yang dilakukan tetap mengacu kepada ketentuan agama, yaitu terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan, hanya saja tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama, proses pelaksanaannya dilakukan dihadapan tokoh agama atau kiai setempat.
Indonesia sebagai negara aturan di mana aturan ihwal ijab kabul telah diatur di dalam UU No. 1 tahun 1974, maka suatu ijab kabul di samping memenuhi syarat secara agama juga harus dilaksanakan sesuai dengan undang-undang tersebut biar pernikahannya mempunyai kekuatan hukum.
Salah satu aturan pemerintah tersebut yaitu ihwal pernikahan, di mana suatu ijab kabul harus dicatatkan pada petugas pencatat pernikahan, begitu juga dengan seorang yang akan melaksanakan poligami, maka ia harus meminta izin kepada pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di tempat tempat tinggalnya”.[10] 
Dalam mengajukan permohonan poligami, suami harus mempunyai alasan-alasan sejalan dengan pasal 4 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 yang menyatakan :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memperlihatkan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 
a.       Isteri tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      Isteri menerima cacat tubuh atau penyakit yang tidak sanggup disembuhkan; 
c.       Isteri tidak sanggup melahirkan keturunan”.[11] 
Di samping itu, pengajuan permohonan berpoligami kepada pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi : 
Untuk sanggup mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
  1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; 
  2. Adanya kepastian bahwa suami bisa menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan belum dewasa mereka; 
  3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan belum dewasa mereka”.[12] 
Laki-laki yang ingin menikah pertama-tama harus bisa menyediakan biaya untuk menafkahi perempuan yang akan dinikahinya, begitu pula laki-laki yang sudah bisa mempunyai istri satu tapi belum bisa memperlihatkan nafkah yang layak, maka ia tiada boleh berpoligami.[13] Dengan demikian poligami itu boleh dilakukan kalau seorang itu bisa dan berlaku adil.
Menurut asalnya, keadilan itu yaitu persamaan antara dua orang yang bersamaan, contohnya bahwa setiap istri sama dengan istri yang lain, dalam nilainya sebagai istri, lantaran yang menjadi ukuran ialah hubungan sebagai suami istri.[14]
Adil berdasarkan keterangan ustadz Muhammad Abduh ialah bahwa seorang suami menyebabkan suasana pergaulan dengan istri-istrinya itu, bahwa dua orang istri dijadikan menyerupai dua karung yang sama beratnya sedang diletakkan di atas daun timbangan, maka kalau ia tidak sanggup untuk mengasihi istri-istrinya itu dengan cara yang sama, maka janganlah hingga terjadi ia memberatkan timbangan yang satu, sehingga yang lain menyerupai tergantung pada daun timbangan yang satu lagi.[15]
Dengan demikian, keadilan di sini ialah adil dalam arti bisa melayani segala kebutuhan para istri-istrinya dan anak-anaknya secara imbang, baik kebutuhan jasmaninya maupun kebutuhan rohaninya.
Kebolehan seorang untuk berpoligami itu terbatas hingga empat orang istri, hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 ayat 1 yang berbunyi :
“Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya hingga empat orang istri”.[16] 
Menurut jumhur ulama, kebolehan berpoligami terbatas pada empat wanita, alasannya yaitu lantaran karakter wawu (وَ) pada surat an-Nisa’ ayat 3 dalam kata wa tsulatsa dan wa ruba’a bermakna karakter au (أَوْ) yang artinya “atau”. Kaprikornus karakter wawu di sini tidak diartikan berdasarkan arti asalnya, yaitu “dan”.[17] Mereka berpegangan pada hadits sebagai berikut: 
أن غيلان بن سلمه الثقفى اسلم وله عشر نسوة فىالجاهلية، فأسلمن معه. فأمره النبى ص.م. أن يتحيراربعامهن. [18]
“Bahwa Ghailan bin Salmah masuk Islam dan ia mempunyai 10 istri, mereka itupun masuk Islam bersamanya, lalu Nabi saw menyuruh Ghailan menentukan empat orang istri diantara mereka itu”. (HR. Turmudzi).
Menurut Nakha’i, Ibn Abi Lailam Qasim bin Ibrahim dan Madzhab Zahiri, kebolehan berpoligami terbatas pada sembilan wanita. Alasan mereka yaitu bahwa pengertian karakter wawu (و) dalam surat an-Nisa’ ayat 3 tetap berdasarkan arti aslinya, yaitu “dan” yang gunanya untuk menambah jumlah bilangan. Sedang lafadz matsna, tsulatsa, dan ruba’a tidak sanggup diartikan berdasarkan aslinya yaitu dua-dua, dan tiga-tiga dan empat-empat. Kaprikornus harus diartikan dengan dua dan tiga dan empat. Oleh lantaran itu, wawu di sini untuk menambah, maka dua tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan. Dan ini sesuai dengan perbuatan Rasulullah saw yang ketika wafat meninggalkan istri sembilan orang.[19]
Menurut Khawarij dan sebagian Syiah memandang bahwa kebolehan berpoligami terbatas hingga 18 wanita, alasannya bahwa pengertian matsna yaitu dua-dua, lantaran itu memperlihatkan berulang-ulang yang sekurang dua kali, jadi dua-dua (dua kali) sama dengan empat, dengan juga arti tsulatsa dan ruba’a, oleh lantaran karakter wawu untuk menambah bilangan, maka empat tambah enam tambah delapan sama dengan delapan belas.[20] 

ANALISIS
Hukum praktek poligami bawah tangan berdasarkan ketentuan fiqh (agama), merupakan sebuah perkawinan yang sah, dikarenakan telah terpenuhi syarat ijab kabul dan rukun pernikahan, yaitu : 
a.       Adanya calon mempelai (laki-laki dan perempuan) 
b.      Adanya wali nikah 
c.       Adanya dua orang saksi, dan 
d.      Adanya ijab dan qabul.
Jika dilihat dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka praktek poligami bawah tangan belum dikatakan syah, lantaran tidak sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam Undang-undang. Prosedur itu antara lain: 
  • Harus mengajukan permohonan kepada pengadilan, hal itu sesuai dengan pasal 4 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 yaitu : 
“Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di tempat tempat tinggalnya”.[21] 
  • Harus mempunyai alasan-alasan untuk berpoligami
Dalam mengajukan permohonan poligami, suami harus mempunyai alasan-alasan sejalan dengan Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan. 
“Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memperlihatkan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 
  1. Isteri tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 
  2. Isteri menerima cacat tubuh atau penyakit yang tidak sanggup disembuhkan; 
  3. Isteri tidak sanggup melahirkan keturunan”.[22] 
  • Harus mempunyai syarat-syarat berpoligami
Syarat-syarat poligami yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (1) yaitu : 
Untuk sanggup mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; 
  2. adanya kepastian bahwa suami bisa menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan belum dewasa mereka; 
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan belum dewasa mereka”.[23] 
Di dalam Kompilasi Hukum Islam suatu perkawinan itu harus dicatatkan pada petugas pencatat nikah, hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) KHI, yaitu :
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatatkan”.[24] 
Dengan demikian apabila poligami tidak dicatatkan sesuai dengan mekanisme yang ada, maka belum dikatakan syah. Dalam hal ini, mekanisme yang ditetapkan itu lebih banyak segi positifnya dari pada negatifnya. Misalnya apabila mempunyai anak maka anaknya mempunyai status aturan yang syah baik berdasarkan agama maupun aturan Indonesia dan apabila terjadi perceraian atau salah satu meninggal dunia, maka istri dan belum dewasa dari hasil poligami akan tetap menerima warisan sesuai dengan bagiannya. Maka hal ini sejalan dengan prinsip : 
التصرف الإمام علىالرّعية مفوط بالمصلحة.
“Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan masyarakat”.[25] 
Apabila ijab kabul poligami tidak sesuai dengan prosedur, maka tidak akan mempunyai bukti otentik yang bila suatu ketika terjadi kecurangan atau penyimpangan, contohnya salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak yang lain tidak sanggup melaksanakan upaya hukum, hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 56 ayat (3) yaitu :
“Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum”.[26] 
Di samping adanya ketentuan pencatatan perkawinan di dalam kompilasi juga disebutkan ketentuan-ketentuan lain, contohnya disebutkan ihwal batas istri yang boleh dipoligami yaitu Pasal 55 ayat (1) yaitu :
“Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya hingga empat orang istri”.[27]
KESIMPULAN
Praktek poligami bawah tangan secara agama merupakan ijab kabul yang sah, lantaran sudah terpenuhi syarat dan rukun pernikahan, tetapi kalau dilihat dari aturan formal atau aturan yang berlaku di Indonesia, ijab kabul yang dilakukan belum syah, lantaran tidak terpenuhinya ketentuan mekanisme poligami yang sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
Pada dasarnya poligami bawah tangan lebih banyak madlaratnya dari pada maslahatnya. Karena tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, maka tujuan itu akan sulit terwujud bila perkawinannya itu tidak sesuai dengan aturan yang ada. Seperti kaidah Hukum Islam : 
الضرر يزال
“Kemadharatan itu harus dihilangkan”.[28]

[1] Lihat, Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 tahun 1994 ihwal Perkawinan.
[2] Lihat, Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 ihwal Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan.
[3] Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, 1994, hlm. 2736.
[4] Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003, cet. 1, hlm. 129.
[5] Muhammad Saifullah, Hukum Islam: Solusi Permasalahan Keluarga, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2005, cet. 1, hlm. 45.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Surabaya: Trikarya, 2004, hlm. 99.
[7] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 200.
[8] Musfir al-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 39.
[9] Abdul Ghani Abud, Terj. Al-Usrah al-Mursalah wa al-Usrah al-Mu’ashirah, Bandung: Pustaka, 1987, cet.1, hlm. 102.
[10] Lihat Pasal 4 ayat 1, UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan.
[11] Lihat Pasal 4 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan.
[12] Lihat Pasal 5 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan.
[13] Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, cet.1, hlm. 56.
[14] Abdul Nasir Taufiq al-Atthar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, cet. 1, hlm. 152.
[15] Ibid.
[16] Dr. Abdul Gani Abdullah, SH., Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 93.
[17] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 140.
[18] Imam Turmudzi, Sunnah Turmudzi, juz 3, Beirut Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, t.t., hlm. 435.
[19] Ibrahim Hosen, op.cit., hlm. 142.
[20] Ibid., hlm. 143.
[21] Lihat Pasal 4 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan.
[22] Lihat Pasal 4 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan.
[23] Lihat Pasal 5 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan.
[24] Dr. Abdul Gani Abdullah, SH., op.cit., hlm. 79.
[25] Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 124.
[26] Dr. Abdul Gani Abdullah, SH., op.cit., hlm. 93.
[27] Ibid.
[28] Imam Musbikin, op,cit., hlm. 30.

Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tinjauan Aturan Islam Terhadap Praktek Poligami Bawah Tangan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel