Historiografi Indonesia
Historiografi Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemahaman akan historiografi di Indonesia pada umumnya sangatlah kurang, bias dilihat dari kurangnya hasil penulisan sejarah (historiografi) yang setiap tahunnya sekamin berkurang, lebih lagi historiografi merupakan langkah awal bagi para mahasiswa dan mahasiswi untuk melaksanakan penulisan kiprah simpulan perkulihan (Skipsi). Terlepas dari ini kesadaraan masyarakat akan pentingnya historiografi yang apa adanya sangatlah kurang, dikarnakan kebiasaan masyakarat Indonesia pada umumnya tidak suka untuk menulis.
Dengan demikin historiografi harus ditingkatkan lantaran historiografi yang benar sanggup meluruskan sejarah itu sendiri (Sejarawan yang Objektif), meskipun tidak bida dipungkiri peranan dari penguasa pada ketika penulisan historiografi tidak bias di pandang remeh. Dari Historiografi Tradisional hingga Historiografi Moderen tidak terlepas dari penguasa pada waktu itu, kita tau bahwa Maha Raja memiliki andil besar dalam penulisan historiografi pada masa tradisional, dimana Raja dianggap sebagai pengati/wakil yang kuasa di bumi. Hal ini dikarnakan penulisan historiografi pada waktu itu yang mengagung-angungkan raja itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang duduk kasus di atas maka sanggup diambil pokok duduk kasus yang akan dibahas dalam penelitian ini ialah :
1. Bahagaimana Penulisan Historiografi di Indonesia?
2. Bahagaimana Pembagian Historiografi di Indonesia?
3. Mangapa peranan penguasa pada penulisan Historiografi tidak bias di lepaskan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Memahami proses Historiografi di Indonesia.
2. Memahami pemabian Historiografi di Indonesia.
3. Memahami peranan penguasa pada masa penulisan Historiografi di Indonesia.
1.4 Manfaat
Dari hasil penelitian ini diharapkan sanggup bermanfaat :
Manfaat teoritis :
1. Bagi penulis, akan menambah pemahaman wacana Historiografi di Indonesia serta perkembangannya.
2. Bagi masyarakat pada umumnya, menembah wawasan tentang sejarah Historiografi dari masa ke masa serta perkembangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Historiografi
Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap kejadian sejarah, yang dituangkan di dalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di mana sejarawawan itu hidup. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya.
Historiografi sanggup diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan pada zamannya. Historiografi mencari wacana ide, subyektifitas, dan interprestasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual atau mentalis seorang sejarawan, maka haruslah dilakukan sebuah studi mengenai karya-karyanya.
Dalam sebuah historiografi yang sanggup disamakan dengan mempelajari sejarahnya penulisan sejarah. Seperti yang telah dipaparkan oleh Adaby Darban, Mempelajari sejarah penulisan (Historiografi) berarti bahwa setiap zaman penulisan sejarah akan berbeda, berdasarkan perspektif seorang sejarawan pada ketika penulisan tersebut. Sehingga dalam sebuah penulisan atau historiografi terdapat perkembangan penulisan sejarah dengan imbas zaman, lingkungan, kebudayaan pada setiap penulisan sejarah, perkembangan penggunaan teori dan metodologi dan seni pengungkapan serta penyajian sejarah.
2.2 Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional merupakan penulisan sejarah yang berdasarkan tradisi suatu etnis atau masyarakat setempat. Tentunya hasil penulisan sejarah yang ditinggalkan, penulisannya yang digarap secara tradisional (tidak memakai keilmuan analitis dan kritis modern). Historiografi tradisional ialah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa sesudah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. pada kurun 4 M hingga kurun 17 M.
Perkembangan historiografi di indonesia dimulai pada zaman kerajaan yang dipelopori oleh empu prapanca yang menulis kitab Negarakertagama. Pada zaman ini yang menjadi penulis sejarah ialah para pujangga-pujangga yang bertujuan untuk memuji dan mengkultuskan Raja sebagai sentra kosmik, dan lebih kepada konsep Istana-sentris. Adapun ciri-ciri historiografi tradisional yaitu:
a. Penulisannya bersifat istana sentris yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa. Menyangkut raja dan kehidupan istana.
b. Memiliki subjektifitas yang tinggi alasannya ialah penulis hanya mencatat kejadian penting di kerajaan dan seruan sang raja.
c. Etnosentris, Penulisan selalu bersifat kedaerahan, Hanya terpaut pada suku bangsa tertentu. Dan sangaty berpusat pada kedaerahan.
d. Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronitis (tidak cocok).
e. Supranatural, Dalam hal ini kekuatan kekuatan mistik yang tidak bias diterima dengan nalar sehat sering terdapat di dalamnya.
f. Kebanyakan karya-karya tersebut berpengaruh dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
g. Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
h. Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang tidak mungkin untuk dibuktikan.
i. Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
j. Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.
k. anonim (umumnya pengarangnya tidak jelas)
Bentuk dari Historiografi tradisional sanggup berupa, Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Diponegoro, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Silsilah Raja Perak, Hikayat Tanah Hitu, Kronik Banjarmasin, dsb.
2.2.1 Historigrafi tradisional sanggup dibagi menjadi tiga bentuk
1. Historiografi Tradisional Kuno
Ciri-ciri historiografi tradisional kuno sebagai berikut :
a. Merupakan Hasil Terjemahan Kebudayaan Hindu Kitab.
Ramayana yang dikarang oleh Walmiki merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari penyebaran agama Hindu-Budha dari India yang hingga ke Indonesia. Akibat lain yang ditimbulkan ialah munculnya imbas hasil-hasil kebudayaan yang bisa dilihat dengan banyaknya kitab-kitab dari India yang diterjemahkan dalam bahasa setempat (Jawa Kuno) seperti kitab Mahabarata dan Ramayana.
b. Bersifat Religiomagis
Karya-karya historiografi yang dihasilkan didominasi oleh unsur kepercayaan. Hal ini bertujuan dalam rangka penyebaran agama. Contohnya adalah Aji Saka, dan Sutasoma
c. Bersifat Kratonsentris
Penulisan historiografinya memusatkan perhatian pada sudut pandang kraton. Contohnya kitab Negarakartagama yang menceritakan wacana Ken Arok sebagai raja Kerajaan Singasari sampai kepada pemerintahan Hayam Wuruk dari Kerajaan majapahit.
d. Bertujuan Untuk Menaikkan Martabat Kasta Brahmana
Historigrafi yang ditulis umumnya berisi menganai peranan kasta brahmana pada suatu negeri. Contohnya kitab Calon arang yang bercerita tentang seorang brahmana yang bernama Bharada bersama muridnya yang bernama Mpu bahula berhasil membunuh Calon Arang yang telah menyebarkan wabah penyakit di seluruh negeri bawahan Raja Airlangga.
2. Historiografi Tradisional Tengah
Historiografi yang dihasil umumnya berupa kidung dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Peristiwanya Terjadi di Luar Kraton
Penulisan sejarah (kidung) sudah memperhatikan kejadian-kejadian yang terjadi di luar lingkungan kraton. Historigrafi ini (kidung) ditulis dengan tujuan memperingati peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah
b. Bersifat Etnosentris
Historigrafi ditulis berdasarkan sudut pandang suku atau kebudayaan tertentu. Contonya kidung-kidung yang dihasilkan sebagai hasil penulisan sejarah semuanya berbentuk khas Jawa.
c. Bersifat Naratif Konsepsional
Isi historiografi bersifat narasi sehingga ceritanya bersifat subjektif meskipun masih berdasar pada fakta-fakta yang ada.
d. Bersifat Nonofficial
Historigrafi ini bertujuan untuk menunjukkan pengertian kepada masyarakat wacana norma-norma kebaikan dan kepahlawanan.
3. Historiografi Tradisional Baru
Ciri-ciri historiografi tradisional gres ialah sebagai berikut :
a. Unsur-unsurnya Bergaya Islam Jawa (Mitologis)
Mitologis akan menjawab pertanyaan bagaimana sesuatu itu dapat terjadi. Dalam kebudayaan Islam sesuatu terjadi karena kekuatan alam yang dipersonifikasikan dengan kedatangan wahyu. Sebagai contoh : seorang raja yang tidak diketahui asal usulnya tetapi dapat menjadi raja dikatakan ia mendapatkan wahyu, seperti yang dialami oleh Jaka Tingkir (Raja Pajang) dan Sutawijaya (Raja Mataram Islam)
b. Bersifat Kronologi
Ceritanya telah disusun berdasarkan urutan waktunya menyerupai urutan waktu berdirinya kerajaan yang ditulis dalam sebuah babad.
c. Bersifat Etnosetris
Ceritanya hanya terjadi pada kalangan, suku atau kebudayaan tertentu.
d. Bersifat Feodalistik
Ceritanya berkisar kejadian disekitar kraton sehingga peristiwa yang sama sekali tidak bekerjasama dengan kraton tidak disinggung. Hal ini dikarenakan orang-orang yang menulisnya ialah orang yang bekerja pada kraton
Banyak sejarawan yang awalnya hingga tahun 1960-an tidak mau memakai naskah-naskah tersebut sebagai sumber atau rujukan karya ilmiah. Akan tetapi, pada perkembangannya lantaran melalui aneka macam penelitian mengambarkan bahwa bayak hal yang ditulis dalam naskah tradisional tersebut sanggup terungkap pula dalam sumber-sumber sejarah yang lain maka mereka mulai menganggap bahwa naskah/ historiografi tradisional tersebut sanggup pula dijadikan sumber atau pola sejarah.
2.3 Historiografi Kolonial
Pada kurun 17-20 M, historiografi kolonial merupakan historiografi warisan colonial dan penulisannya dipakai untuk kepentingan penjajah. Ciri-cirinya:
a. Tujuannya untuk memperkuat kekuasaan mereka di Indonesia. Kaprikornus disusun untuk membenarkan penguasaan bangsa mereka terhadap bangsa pribumi (Indonesia). Sehingga untuk kepentingan tersebut mereka melupakan pertimbangan ilmiah.
b. Selain itu semuanya didominasi untuk tindakan dan politik kolonial.
c. Historiografi kolonial hanya mengungkapkan mengenai orang-orang Belanda dan kejadian di negeri Belanda serta mengagung-agungkan kiprah orang Belanda sedangkan orang-orang Indonesia hanya dijadikan sebagai objek.
d. Historiografi kolonial memandang kejadian memakai sudut pandang kolonial. Sifat historiografi kolonial eropasentris.
e. Ditujukan untuk melemahkan semanangat para p0juang atau rakyat Indonesia.
Sumber-sumber historiografi kolonial berasal dari dokumen-dokumen VOC, Geewoon Archief dan Gehem Achief, Wilde Vaart; catatan pelayaran orang orang belanda di perairan, Koloniale Verslagen laporan tahunan pemerintah belanda.
Seperti contohya: Orang Belanda menyebut ”pemberontakan” bagi setiap perlawanan yang dilakukan oleh kawasan untuk melawan kekuasaan Belanda/ kekuasaan absurd yang menduduki tanah airnya. Oleh Belanda itu dianggap sebagai ”perlawanan terhadap kekuasaannya yang sah sebagai pemilik Indonesia”. Seperti Perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro, Belanda menganggap itu sebagai ”Pemberontakan Diponegoro”.
Historiografi kolonial ini bersamaan dengan berakhirnya historiografi tradisional. Karena pada ketika itu Indonesia sedang sedang di kuasai oleh kolonialis Belanda. Pada ketika Indonesia dibawah pemerintahan kolonial, penulisan sejarah dipakai untuk kepentingan penjajah. Sejarah yang ditulis pada ketika itu wacana kejadian dinegeri Belanda dan Indonesia disini hanya sebagai bagaian dari perluasan bangsa Belanda. Kaprikornus orang belanda yang ditonjolkan sehingga penulisannya pun memakai eropasentris/nerlandosentris.
Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan wacana bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar langsung serta citra mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Tanpa itu, penelitian mengenai aspek mana pun dari sejarah Indonesia tidak mungkin dilakukan. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian besar sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya dengan sejarah Indonesia. Seorang sejarawan Indonesia berhak bertanya: apa peduliku pada berita-berita yang dicatat oleh suatu bangsa lain selain bangsa Indonesia? Laporan-laporan resmi Belanda niscaya melukiskan kehidupan serta tindakan orang Belanda, dan bukan orang Indonesia. Laporan itu ditulis dengan sudut pandang Eropa, bukan Asia.
2.4 Historiografi Nasional/ Modern
Menjelang kemerdekaan Indonesia pada masa kemerdekaan telah muncul karya karya yang berisi perlawanan terhadap pemerintah colonial yang di lakukan oleh satria nasional, Secara umum goresan pena ini merupakan ekspresi dan semangat nasionalistis yang berkobar kobar. Periode ini disebut sebagai periode post Revolusi atau Historiografi pada masa Pasaca Proklamasi. Tokoh tokoh nasional menjadi simbol kenasionalan dan memberi identitas bagi bangsa Indonesia, Jenis sejarah semacam ini perlu di hargai sebagai fungsi sosiopolitik, yaitu membangkitkan semangat nasional.
Penulisan sejarah pada masa pasca kemerdekaan didominasi oleh penulisan mengenai peristiwa-peristiwa yang masih hangat waktu itu, yaitu mengenai usaha bangsa Indonesia dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa ini penulisan sejarah mencakup beberapa kejadian penting, contohnya proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Kejadian-kejadian sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia yang mencakup sebab-sebab serta balasannya bagi bangsa ini merupakan sorotan utama para penulis sejarah.
Pada masa ini mulai muncul lagi penulisan sejarah yang Indonesia sentris yang artinya penulisan sejarah yang mengutamakan atau memiliki sudut pandang dari Indonesia sendiri. Pada masa sebelumnya yaitu masa colonial, penulisan sejarah sangat Eropa sentris lantaran yang melaksanakan penulisan tersebut ialah orang-orang eropa yang memiliki sudut pandang bahwa orang eropa merupakan yang paling baik. Pada masa kemerdekaan ini penulisan sejarah telah dilakukan oleh bangsa sendiri yang mengenal baik akan keadaan Negara ini, jadi sanggup dipastikan bahwa isi dari penulisan tersebut sanggup dipercaya. Penulisan sejarah yang Indonesia sentris memang sudah dimulai jauh pada masa kerajaan-kerajaan, tetapi kemudian ketika bangsa barat masuk ke Indonesia maka era penulisan sejarah yang Indonesia sentris mulai meredup dan digantikan oleh historiografi yang eropa sentris.
Ada pada kurun 20 M hingga dengan sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka duduk kasus sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai usaha serta jati diri bangsa Indonesia. Ditandai dengan:
1. Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam aneka macam bidang sehingga istilah-istilah absurd khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
2. Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
3. Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek menyerupai pada historiografi kolonial.
4. Penulisan buku sejarah Indonesia yang gres awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai satria sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesia maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai satria dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.
Keadaaan yang demikian menciptakan para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun 1957. Tahun ini dianggap sebagai titik tolah kesadaran sejarah baru, ( Jurnal of Southheast Asian History, Vol. VI, No.1 1965). Sementara itu, kurun historigrafi tradisional dianggap berakhir dengan tulisannya buku Cristische Bescchouwing van de sadjarah van Banten oleh Hoesein Djajadiningrat pada tahun 1913 (Djajadiningrat, 1913). Buku itu dengan cara kritis mengkaji tradisi penulisan babad dalam khasana sastra. Historiografi Indonesia barulah untuk pertama kalinya muncul dalam seminar sejarah nasional pertama. Agenda dari seminar itu meliputi filksafat nasional, periodisasi sejarah Indonesia dan pendidikan sejarah. Dari sinilah dimulainya nasionalisasi atau untuk memakai istilah ketika ini pribuminisasi historiografi Indonesia, (Kuntowijoyo, 2003).
Pada tahun 1970, terjadi perdebatan dikalangan sejarawan pada khususnya yaitu wacana bagaimana meletakkan tekanan pada peranan sejrah orang Indonesia dalam sejarah nasional. Alasan ini tidak lain lantaran semua kepustakaan sejarah lebih condong pada peranan orang-orang Eropa (historiografi kolonial) dan melihat sejarah Indonesia sebagai sejarah ekspansi Eropa di Indonesia . jadi pada tahun inilah terjadi banyak perubahan pada tahun-tahun sesudah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran bagaimana sejarah seharusnya ditulis
Oleh lantaran itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:
1. Sebuah penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal gres yang sebelumnya belum sempat terungkap.
2. Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis).
3. Menggunakan pendekatan multidimensional. Caranya yaitu dengan memakai teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadiaan sejarah sesuai dengan dimensinya dengan memakai sumber-sumber yang lebih bermacam-macam daripada masa sebelumnya.
4. Mengungkapkan dinamika masyarakat Indonesia dari aneka macam aspek kehidupan yang kemudian sanggup dijadikan materi kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Jadi jikalau kita telusuri usaha penulisan sejarah nasional Indonesia telah menempuh aneka macam jalan antaranya:
1) Adanya keinginan untuk menuliskan sejarah Indonesia yang nasionalistik sebagaimana dicanangkan dalam seminar sejarah nasional I di yogyakarta pada tahun 1957. Keinginan tersebut telah banyak melahirkan buku-buku pelajaran sejarah Indonesia yang sesuai dengan harapan kemerdekaan dan nasionalisme.
Bersamaan dengan kecendrungan kearah dekolonisasi dalam penulisan sejarah Indonesia itu, dikalangan penulis-penulis sejrah wacana Indonesia timbul gagasan untuk berpindah dari penulisan sejarah yang Europe-centric ke sejarah yang asia- centric.
2) Keinginan untuk adanya suatu sejarah Indonesia yang ilmiah menyerupai dinyatakan dalam seminar Sejarah Nasional II di yogyakarta pada tahun 1970. Pada seminar Sejarah Nasional II di yogyakarta pada tahun 1970, Dr. Sartono Kartodirdjo menunjukkan pendapat wacana ciri-ciri historiografi Nasional yaitu pertama, bisa memperhatikan aneka macam aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua, memakai pendekatan dari aneka macam ilmu (multidimensional approach), ketiga menerapkan sejarah analitis dan ke empat, tidak mengabaikan sejarah lokal.
Keinginan tersebut telah memperluas ruang lingkup penulisan sejarah dengan masuknya pendekatan-pendekatan baru. Sekalipun gema dari seruan sejarah ilmiah itu kebanyakan masih terbatas pada penulisan-penulisan skripsi dan tesis diperguruan-perguruan tinggi. Kiranya kesadaran gres wacana penulisan sejarah sudah mendapat momentumnya. Masih dalam dekade tahun 1970-1n ada usaha untuk menyelenggarakan suatu kegiatan sejarah verbal yang dikelolah oleh arsip nasional bekerjasama dengan para sejarawan dan perguruan tinggi tinggi. Hasil dari usaha terakhir ini sudah tampak sekalipun belum banyak benar.
Usaha yang ditempuh oleh sejarawan dalam menuliskan sejarah nasional Indonesia terdiri dari enam jilid, dimana pembagian sejarah Nasional tersebut menampilkan beberapa periodisasi antara lain:
a. Jilid I wacana zaman prasejarah Indonesia
b. Jilid II wacana zaman kuno (awal M-1500M)
c. Jilid III wacana zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (±1500-1800).
d. Jilid IV wacana kurun ke sembilan belas (±1800-1900)
e. Jilid V wacana zaman kebangkitan nasional dan masa simpulan Hindia Belanda (±1900-1942).
f. Jilid VI wacana zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia (±1942-1984).
3) Perkembangan selanjutnya adalah penyelenggaraan seminar sejarah Nasional III di jakarta (1981), pada ketika itu sejarawan Indonesia sudah sadar perlunya teori dan metodologi dalam penulisan. Arah penulisannya berdasarkan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Selanjutnya pada seminar sejarah nasional Indonesia IV (1985) di yogyakarta diputuskan bahwa pada penulisan sejarah Indonesia di lakukan berdasarkan periode dan tema. Sebagai contoh, periode revolusi dan periode kemerdekaan dengan tema sejarah lokal dan sejarah sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
Historiografi sanggup diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan pada zamannya dan tidak bila dilepaskan dari sosok pemimpin. Apabila seseorang meluniskan Historiografi tidak bias lepas dari penguasa pada waktu itu seperi Historiografi Zaman Tradisional, di mana lebih mengutamakan kejayaan kerajaan dan mengagung – angungkan maha raja (Kraton Senteris). Ketika kolonial berkuasa menyerupai Belanda, historiografi memandang pemberontakan yang dilakukkan para penduduk pribumi merupakan hal yang salah dan tidak bias diampuni (Eropa Sentris). Begitu pula pada masa modern, dimana hal yang berbau dengan penjajah itu sangat merugikan dan harus dilawan. Seperti Pangeran Diponegoro yang merupakan satria bagi bangsa Indonesia lantaran membela Indonesia (Indonesia Sentris).
DAFTAR PUSTAKA
· Kartodirdjo Sartono, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.
· Purwanto, 2004. Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik. Yogyakarta: Gramedia.
· Miskawi, 2012. metodelogi-dan-historiografi-sejarah.PDF (Diakses pada 27 September 2016)
Sumber http://ganangalfianto.blogspot.com
0 Response to "Historiografi Indonesia"
Posting Komentar