iklan

Stocksplit, & Pengaruhnya Ke Harga Saham

Stocksplit, atau secara harfiah bermakna ‘pemecahan saham’, yaitu agresi korporasi dimana perusahaan memecah/membelah saham beredarnya hingga jumlah saham tersebut menjadi lebih banyak, tanpa menambah ataupun mengurangi nilai dari saham itu sendiri. Untuk kalimat terakhir mungkin perlu digaris bawahi, alasannya seringkali investor resah terkait apakah stocksplit ini menciptakan sebuah saham jadi lebih menarik/prospektif, atau justru sebaliknya harus dihindari alasannya nilainya (atau harganya yang tertera di market) turun.

Analogi stocksplit ini yaitu ibarat kalau anda punya satu lembar uang senilai Rp10,000, dan anda kemudian pergi ke warung untuk menukar uang tersebut dengan cuilan Rp2,000. Kaprikornus kini anda memegang lima lembar uang (dari sebelumnya hanya satu lembar), masing-masing senilai Rp2,000. Lalu berapa total uang yang anda miliki? Ya tetap Rp10,000, alias gak berubah sama sekali. Bedanya kini anda memegang lima lembar uang cuilan Rp2,000, dari sebelumnya hanya satu lembar uang cuilan Rp10,000.

Kaprikornus kalau contohnya anda memegang 10 lot (1,000 lembar) saham Bank BRI (BBRI), dan harganya di market yaitu 15,000, maka total nilai saham yang anda miliki yaitu Rp15,000 dikali 1,000 lembar, sama dengan Rp15 juta. Kemudian alasannya Bank BRI melaksanakan stocksplit dengan rasio  1:5, maka harga sahamnya kini menjadi 3,000 (15,000 dibagi 5), tapi disisi lain jumlah saham yang anda miliki meningkat dari 10 menjadi 50 lot (10 lot dikali 5). Kaprikornus berapa nilai saham BBRI yang anda miliki sekarang? Ya gak berubah, yakni Rp3,000 dikali 5,000 lembar, sama dengan Rp15 juta.

Untuk klarifikasi diatas, investor pemula sekalipun seharusnya sudah sanggup memahaminya, alasannya untuk hal-hal teknis ibarat itu (jadi bukan analisis saham) maka broker di sekuritas kawasan anda membuka rekening seharusnya sanggup menjelaskan. Tapi bila anda termasuk yang kaget ketika BBRI, atau saham lainnya, tiba-tiba harganya anjlok dari 15,000 menjadi 3,000 hanya dalam semalam, maka anda kini sudah mengerti penyebabnya: Itu alasannya perusahaan yang bersangkutan melaksanakan stocksplit, dan itu, sekali lagi, tidak mengubah total nilai saham yang dipegang oleh tiap-tiap investor, alasannya penurunan harga yang terjadi diimbangi oleh kenaikan jumlah lot saham yang dimiliki si investor tersebut.

Pertanyaannya sekarang, kenapa perusahaan melaksanakan stocksplit? Apa benefitnya bagi perusahaan atau investor pemegang sahamnya? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap prospek dari saham itu sendiri? Apakah saham yang stocksplit kemudian bakal terbang dalam waktu dekat, misalnya?

Secara fundamental, stocksplit tidak kuat apapun terhadap kinerja keuangan perusahaan, baik itu terhadap kinerja perusahaan pada ketika ini maupun outlook/prospeknya di masa yang akan datang. Sebuah perusahaan tidak akan menjadi lebih berpeluang untuk membukukan kenaikan keuntungan yang lebih tinggi di masa depan, misalnya, hanya alasannya sahamnya dipecah. Demikian pula valuasi PBV dan PER saham yang stocksplit tidak akan berubah/menjadi lebih murah hanya alasannya harga sahamnya di market (tampak) turun, alasannya sekali lagi, penurunan harga yang terjadi diimbangi oleh kenaikan jumlah saham yang beredar di pasar. Kaprikornus dalam hal ini anda harus hati-hati kalau melihat data di sekuritas atau website tertentu dimana PBV dan PER sebuah saham tiba-tiba jadi tampak kecil, alasannya sanggup jadi perusahaan yang bersangkutan melaksanakan stocksplit, sementara datanya di sekuritas tersebut belum di-update (and btw alasannya alasan ini pula, penulis tidak pernah menganalisis saham memakai ‘data matang’ dari sekuritas atau pihak ketiga lainnya, melainkan kita selalu membaca eksklusif laporan keuangan emiten dan menghitung semua rasio-rasio secara manual. That’s our job, that’s what we do).

Namun terhadap naik turun sahamnya, maka barulah stocksplit ini berpengaruh, setidaknya dalam jangka pendek. Kaprikornus begini: Salah satu pertimbangan investor dalam membeli saham yaitu terkait likuiditas dari saham yang bersangkutan, dimana investor manapun umumnya lebih suka saham yang likuid dibanding yang tidak. Ini menyebabkan perusahaan-perusahaan tertentu yang meski berfundamental bagus/laporan keuangannya profit terus, tapi harga sahamnya di pasar seringkali lebih rendah/tidak mencerminkan nilai perusahaan yang sesungguhnya, dan itu hanya alasannya sahamnya tidak likuid, sehingga investor kurang berminat. Sebab disisi lain analis-analis sekuritas juga biasanya hanya meng-cover/merekomendasikan saham-saham yang ramai diperdagangkan saja, sehingga saham-saham yang tidak likuid ini balasannya luput dari perhatian.

Tapi sesudah perusahaan melaksanakan stocksplit, entah itu dalam rasio 1:2, 1:4, 1:5, atau bahkan 1:10, maka dibutuhkan bahwa sahamnya kemudian akan menjadi lebih likuid, alasannya harga nominal saham yang bersangkutan menjadi lebih terjangkau termasuk oleh investor ritel dengan modal kecil sekalipun. Contoh saham Astra International (ASII), yang pada tahun 2012 kemudian melaksanakan stocksplit dengan rasio 1:10. Sebelum stocksplit, harga saham ASII yaitu 60,000, dan pada tahun 2012 tersebut 1 lot saham yaitu setara 500 lembar (1 lot saham gres bermetamorfosis 100 lembar semenjak tahun 2014). Itu artinya seorang investor harus keluar duit Rp60,000 dikali 500 lembar, sama dengan Rp30 juta, hanya untuk membeli saham ASII sebanyak 1 lot saja! Lah kalo gitu maka gimana caranya investor yang hanya katakanlah mempunyai Rp10 juta di rekeningnya sanggup membeli ASII? Sebab anda mustahil membeli saham hanya sebanyak setengah lot saja. Minimal ya satu lot, atau kelipatannya.


Padahal sangat mungkin diluar sana ada banyak investor yang, meski dananya terbatas, namun mereka sangat berminat untuk mempunyai ASII ini barang 1 lot. Karena itulah, ASII kemudian melaksanakan stocksplit, dan BEI sendiri kemudian mengubah peraturan perdagangan dimana 1 lot menjadi setara 100 lembar saham (dari tadinya 500 lembar). Kaprikornus kini minimum dana yang dibutuhkan untuk membeli 1 lot ASII yaitu Rp6,000 dikali 100 lembar, sama dengan Rp600,000 saja. Nah, dengan demikian harga saham ASII secara nominal menjadi terjangkau oleh semua orang, dan investor yang semenjak awal memang berminat dengan ASII ini kini sanggup ramai-ramai membelinya. Alhasil, saham ASII di market akan menjadi lebih likuid. Dan ketika sebuah saham menjadi lebih likuid dari sebelumnya, maka peminatnya juga akan menjadi lebih banyak lagi, dan sahamnya sanggup naik tinggi. Ketika saham ASII diperdagangkan untuk pertama kalinya pada harga pasca stocksplit, pada tanggal 6 Juni 2012 lalu, sahamnya melonjak signifikan ke posisi 6,600.

Dalam Jangka Panjang: Balik Lagi ke Fundamental

Kaprikornus secara teori, stocksplit akan menyebabkan sebuah saham menjadi lebih likuid, sehingga peminatnya lebih banyak, and eventually harga sahamnya di market akan menjadi lebih mencerminkan mendasar perusahaan. Yup, jadi tujuan balasannya bukanlah semoga ‘sahamnya naik’, melainkan semoga ‘naik turun sahamnya lebih selaras dengan kinerja mendasar perusahaan’. Kaprikornus kalo contohnya perusahaan mempunyai kinerja yang kurang bagus, maka ya sahamnya gak akan naik bahkan meski dilakukan stocksplit. Contoh, tahun 2011 kemudian ketika sedang puncak booming batubara, Resource Alam Indonesia (KKGI) melaksanakan stocksplit dengan rasio 1:4, sehingga jumlah saham beredarnya naik dari 250 juta lembar menjadi 1 milyar lembar, sementara harga sahamnya turun dari 4,000 menjadi 1,000. Tak usang kemudian KKGI melompat ke 1,700 sesudah perusahaan membukukan ROE lebih dari 60% di laporan keuangannya, dan selanjutnya terus saja naik hingga menyentuh 8,000, satu setengah tahun kemudian.

Tapi sesudah itu harga batubara mulai turun, perusahaan-perusahaan batubara mulai kocar kacir, dan saham KKGI itu sendiri kemudian turun terus hingga ke posisi 700-an, pada awal 2016 lalu. Memasuki penghujung 2016, harga batubara mulai naik, dan saham KKGI mulai naik lagi hingga sempat menembus 2,500 pada Februari 2017. Di bulan berikutnya yakni Maret 2017, KKGI stocksplit lagi, kali ini dengan rasio 1:5, sehingga jumlah saham beredarnya meningkat dari 1 menjadi 5 milyar lembar, sementara harga sahamnya jadi 500 (dari tadinya 2,500). Tapi apakah sesudah itu saham KKGI naik? Ternyata tidak: Hingga Kuartal III 2017 kemarin, KKGI masih membukukan penurunan pendapatan ketika dominan perusahaan batubara lainnya membukukan kenaikan, dan alhasil sahamnya gak kemana-mana/cenderung turun hingga ke posisi 300-an.

Kaprikornus sekali lagi, meski suatu saham sanggup naik dengan cepat tak usang sesudah stocksplit (atau bahkan sebelumnya), yakni alasannya sahamnya diborong oleh investor tertentu yang semenjak awal hendak masuk tapi terbentur oleh seretnya likuiditas dari saham yang bersangkutan, atau alasannya minimnya dana (contohnya balik lagi ke ASII diatas), tapi dalam jangka panjang, pada balasannya orang tetap akan melihat kinerja perusahaan. Disisi lain, menurut pengamatan penulis selama ini, kalo sebuah perusahaan memang mempunyai kinerja mendasar diatas rata-rata, maka meski sahamnya dalam jangka pendek adakala ibarat susah naik (atau malah turun), tapi dalam jangka panjang tetap akan naik signifikan bahkan meski tanpa stocksplit. Pada Juni 2012 lalu, yakni ketika perusahaan melaksanakan stocksplit, ASII berada di level 6,600. Dan berapa harga saham ASII sekarang? Sudah naik ke 8,200, tapi total gain yang hanya sebesar 24.2% dalam waktu lima tahun tentu saja bukanlah profit yang memuaskan. Sementara itu, lima tahun yang lalu, saham Unilever Indonesia (UNVR) masih berada di level 22,000. Dan berapa UNVR sekarang? Sudah tembus 50,000, atau naik jauh lebih tinggi dibanding ASII pada periode waktu yang sama, padahal UNVR hingga kini belum pernah stocksplit lagi. Got it?

Nah, jadi mari kita balik lagi ke pertanyaan diatas: Kenapa perusahaan melaksanakan stocksplit? Salah satunya semoga sahamnya lebih likuid, sehingga naik turun harganya lebih mencerminkan mendasar perusahaan, termasuk dalam jangka pendek. Apa benefitnya bagi perusahaan atau investor pemegang sahamnya? Terkait mendasar perusahaannya, tidak ada benefit apapun. Sebuah perusahaan tidak akan menjadi lebih berpeluang untuk membukukan keuntungan higienis yang lebih besar di masa yang akan tiba hanya alasannya stocksplit. Dan bagaimana pengaruhnya terhadap prospek dari saham itu sendiri? Apakah saham yang stocksplit kemudian bakal terbang dalam waktu dekat, misalnya? Dalam jangka waktu yang sangat pendek, katakanlah beberapa hari atau 1 - 2 ahad mungkin iya, sebuah saham sanggup saja naik menjelang atau sesudah stocksplit. Namun dalam jangka panjang, pada balasannya naik turun saham tersebut akan tetap mengikuti mendasar perusahaan yang bersangkutan. Pada teladan ASII vs UNVR diatas, kinerja mendasar ASII sempat stagnan alasannya turunnya harga komoditas batubara dan CPO antara tahun 2012 - 2016, yang menyebabkan penurunan kinerja dari dua anak usahanya, United Tractors (UNTR) dan Astra Agro Lestari (AALI). Sementara UNVR, sebagai perusahaan consumer goods, kinerjanya dalam lima tahun terakhir terbilang lancar jaya.

Okay, I think that’s enough, untuk ahad depan kita akan membahas salah satu dari tiga tema berikut: 1. Proyeksi IHSG di 2018: Apakah siklus krisis 10 tahunan akan terulang kembali? 2. Bagaimana analisis saham-saham tambang BUMN menjelang akuisisi oleh PT Inalum? Atau 3. Prospek dari IPO PP Presisi, dan IPO Wika Gedung. Silahkan anda pilih tema yang mana, melalui kolom komentar dibawah.

Buku Kumpulan Analisis Saham-saham Pilihan (Ebook Kuartalan) edisi Kuartal III 2017 sudah terbit! Anda sanggup eksklusif memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:  yaitu agresi korporasi dimana perusahaan memecah Stocksplit, & Pengaruhnya ke Harga Saham
Sumber http://teguhidx.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Stocksplit, & Pengaruhnya Ke Harga Saham"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel