iklan

Siklus Krisis 10 Tahunan?

Salah satu topik yang paling sering dibicarakan di komunitas investor pasar modal adalah, kapan kira-kira terjadi krisis lagi? Dan semenjak beberapa tahun kemudian sudah muncul anggapan akan adanya ‘siklus krisis 10 tahunan’. Yup, berhubung krisis besar yang masih diingat semua orang yakni krisis moneter 1998 dan juga krisis global 2008, dimana kedua krisis tersebut terjadi dalam selang waktu 10 tahun, maka secara simpelnya krisis berikutnya akan terjadi 10 tahun sesudah 2008, alias tahun 2018. Pertanyaannya, benarkah pada tahun 2018, alias tahun depan, akan kembali terjadi krisis?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan diatas maka kita terlebih dahulu perlu menjawab dua pertanyaan berikut. Pertama, benarkah ada siklus yang disebut dengan ‘siklus krisis 10 tahunan’ tersebut? Dan kedua, apakah pada ketika ini sudah tampak atau terdapat tanda-tanda menuju terjadinya krisis? Okay, kita pribadi saja.

Terkait siklus krisis 10 tahunan, penulis termasuk yang beropini bahwa bekerjsama tidak ada siklus mirip itu. Yes, Indonesia, mirip juga negara-negara lainnya di seluruh dunia, akan mengalami pasang surut secara ekonomi, dimana Indonesia akan mengalami periode economic booming di satu waktu, dan periode krisis di waktu yang lain. Namun jangka waktu antara satu krisis dengan krisis berikutnya sama sekali tidak tentu.

Nah, jadi kini coba anda googling lagi: Apakah pada tahun 1988 terjadi krisis, entah itu di Indonesia ataupun negara lainnya? Demikian pula dengan tahun 1978, 1968, dan seterusnya, apakah juga terjadi krisis? Faktanya adalah, Indonesia justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di penghujung dekade 80-an dan awal 90-an, termasuk jumlah perusahaan Tbk di BEI juga meningkat pesat dari hanya 24 di tahun 1987, menjadi 37 di tahun 1989 (dan kembali meningkat di tahun-tahun selanjutnya). Tidak ada data soal bagaimana pergerakan IHSG di tahun 1988, tapi kalau melihat kondisi ekonomi ketika itu yang fine-fine saja, maka seharusnya IHSG di tahun tersebut bergerak secara normal alias naik. Memang pada tahun 1987, Bursa Saham Amerika sempat mengalami crash dimana Dow Jones sempat drop 22.6% dalam sehari di bulan Oktober (silahkan googling ‘Black Monday 1987’), yang disusul oleh kejatuhan indeks-indeks saham lainnya di seluruh dunia. Tapi justru di tahun 1988 alias setahun kemudian, Dow kembali naik kencang, dan kekhawatiran akan terjadinya krisis besar ternyata tidak pernah terjadi.

Makara kalau menurut fakta historis, maka sulit untuk menyampaikan bahwa benar ada siklus krisis 10 tahunan. Di Indonesia, krisis besar yang terjadi sebelum krisis tahun 1998 yakni krisis di tahun 1963 – 1966, atau 32 tahun sebelumnya (silahkan tanya orang tua/kakek nenek anda, mirip apa susahnya mereka di tahun 60-an). Dan kalau yang dimaksud dengan ‘krisis’ itu yakni sekedar kejatuhan bursa saham/IHSG, maka gres saja di tahun 2015 kemarin Indonesia sejatinya sudah mengalami krisis, dimana IHSG drop 12.1% (dan memang kondisi ekonomi dan bisnis di tahun tersebut terasa agak seret). Kemudian, krisis moneter 1998 itu juga bekerjsama sudah terjadi semenjak tahun sebelumnya alias 1997, dimana pada tahun tersebut IHSG jeblok 44.3% (jadi kalau dihitung dari tahun 1997 ke 2008, maka siklusnya bukan 10 tahun, melainkan 11 tahun).

Sementara di Amerika Serikat, yang merupakan negara paling maju dalam bidang industri finansial dan juga pasar saham, disana sudah rutin terjadi krisis ekonomi yang signifikan setiap beberapa tahun sekali semenjak New York Stock Exchange bangun di tahun 1817, tapi jangka waktu antara satu krisis ke krisis lainnya terbilang tidak tentu, paling bersahabat 5 – 6 tahun, dan paling jauh sekitar 20 tahun. Malahan pasca krisis besar di tahun 1930-an, yang dikenal dengan istilah great depression, maka krisis besar selanjutnya gres terjadi usang kemudian yakni di tahun 1970-an. Anda sanggup lihat daftar lengkapnya di artikel Wikipedia disini.

Dua Pertanda Krisis: Economic Bubble dan Overleveraged

Itu pertama soal siklus krisis 10 tahunan. Kedua, terlepas dari ada atau tidaknya siklus tersebut, apakah pada ketika ini sudah tampak atau terdapat gejala menuju terjadinya krisis? Analoginya yakni sama mirip kondisi cuaca: Jika langit tiba-tiba gelap dan mendung, maka kita sanggup simpulkan bahwa sebentar lagi bakal turun hujan. Nah, kalau kita ibaratkan hujan ini dengan krisis ekonomi atau kejatuhan bursa saham, maka apakah kini ini sudah tampak mendung-nya? Dalam hal ini ada beberapa hal yang penulis perhatikan.

Pertama, mirip yang mungkin sudah anda perhatikan, semenjak koreksi besar di bulan Agustus – September 2015 lalu, IHSG hingga kini alias dua tahun kemudian masih belum mengalami koreksi lagi. Padahal biasanya IHSG mengalami koreksi dengan turun setidaknya 5 – 10% dari posisi tertingginya, minimal satu kali dalam setahun (biasanya di bulan Mei, atau Agustus). Awalnya penulis kira fenomena ini hanya terjadi di Indonesia, tapi ternyata kondisi yang sama juga terjadi di Amerika Serikat: Sudah dua tahun terakhir ini indeks Dow Jones, Nasdaq, dan S&P terus naik tanpa koreksi yang berarti, terutama lantaran didorong oleh kenaikan saham-saham berbasis teknologi (Apple, Amazon, Facebook, dst), dan jadinya tokoh-tokoh technopreneur seperti Jeff Bezos dan Mark Z. tiba-tiba saja nongol di puncak daftar orang terkaya di dunia versi Majalah Forbes, mengalahkan nama-nama beken mirip Om Bill dan Opa Warren.

Dan meski penulis tidak tahu bagaimana valuasi saham-saham di Amerika pada ketika ini (apakah sudah terlalu mahal atau belum), namun kondisi ini mengingatkan penulis dengan dot com bubble di tahun 1999 – 2000, dimana bursa saham Amerika mengalami kejatuhan sesudah sebelumnya terus naik lantaran didorong oleh kenaikan saham-saham perusahaan internet. Indikasi bubble itu juga tampak dari kenaikan harga bitcoin, mata uang digital yang tentu saja tidak mempunyai nilai riil mirip halnya mata uang sungguhan, tapi dalam setahun terakhir ini harganya tiba-tiba saja melompat dari US$ 700 menjadi lebih dari US$ 9,500 per unit, atau naik lebih dari sepuluh kali lipat. Penulis tentu saja tidak tahu apakah kenaikan tersebut akan berlanjut, atau justru bitcoin ini besok-besok akan jeblok lagi, tapi yang terperinci kenaikan harga yang luar biasa tersebut telah menarik minat dari banyak spekulan dan juga investor sungguhan, termasuk para fund manager global, untuk ikut membeli bitcoin ini. Alhasil, ketika nanti datang waktunya bitcoin ini turun kembali (itu sanggup terjadi cepat atau lambat), maka kerugian yang terjadi tidak akan akan sedikit, dan itu sanggup mengguncang pasar keuangan global secara keseluruhan, termasuk di Indonesia.

Kedua, diluar faktor bubble, kondisi krisis biasanya berawal diawali oleh kelewat besarnya nilai utang yang ditanggung oleh perusahaan-perusahaan swasta dan juga pemerintah, istilahnya overleveraged. Pada puncak booming kredit real estate di Amerika di tahun 2005 – 2007, perusahaan-perusahaan perbankan dan pembiayaan di Amerika berani mengambil utang dalam jumlah yang gila-gilaan untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk kredit mortgage, karena adanya anggapan bahwa bisnis properti/real estate yakni bisnis yang sangat kondusif (harga properti gak bakal turun!). Termasuk Lehman Brothers, salah satu perusahaan investment bank terbesar di Amerika (dan juga dunia), turut bergabung dalam booming real estate ini hingga perusahaan, pada satu titik, harus menanggung utang total US$ 619 milyar, sementara ekuitasnya hanya US$ 20 milyar. Ini artinya kalau pasar kredit real estate mengalami penurunan 3 – 4% saja, maka nilai aset higienis Lehman akan tersapu habis sama sekali, alias bangkrut.

Dan sayangnya pada tahun 2008 memang itulah yang terjadi: Mulai banyak terjadi kasus kredit macet, pasar real estate di Amerika mulai lesu, dan Lehman Brothers tanpa ampun pribadi bangkrut. Dan kalau bukan lantaran intervensi dari Pemerintah (coba anda googling ‘Freddie Mac’ dan ‘Fannie Mae’), maka kebangkrutan Lehman sanggup merembet ke krisis yang lebih besar. Beruntung, itu tidak terjadi, dan memasuki tahun 2011 ekonomi Amerika mulai pulih lagi.

Balik lagi ke soal overleveraged. Jadi penyebab krisis global 2008 yakni lantaran faktor utang, atau sama mirip ketika Indonesia mengalami krisis di tahun 1997 – 1998, yang juga lantaran utang. Pada tahun 1997, rasio total utang Pemerintah dan swasta di Indonesia mencapai sekitar 80 – 90% dari nilai produk domestik bruto (PDB), yang melonjak menjadi 150% di tahun 1998 sesudah nilai tukar Rupiah anjlok (sebab secara umum dikuasai dari utang tersebut merupakan utang Dollar), dan hasilnya yakni krisis moneter. Pada tahun 2008, rasio utang Pemerintah Indonesia dan swasta terhadap PDB terbilang jauh lebih kondusif yakni hanya 33.2%, dan jadinya Indonesia tidak terlalu terdampak oleh krisis global yang terjadi di Amerika. I mean, coba anda ingat-ingat lagi: Di tahun 1997 – 1998, harga-harga kebutuhan pokok semuanya naik, dan terjadi pemutusan kekerabatan kerja (PHK) dimana-mana, termasuk terjadi bank rush (masih inget rusuh Bank BCA?). Tapi di tahun 2008, harga sembako tetap kondusif terkendali bukan? Dan hampir gak ada pekerja yang di-PHK, apalagi hingga terjadi bank rush.

Kapan ente 'rush' lagi??

Tapi kenapa IHSG di tahun 2008 itu hingga jatuh lebih dari 50%? Well, itu lantaran ada banyak investor/trader yang beli saham pake utang/margin, dan mereka pada kena forced sell semua, belum lagi ada banyak orang yang pake akomodasi short sell. Pada jaman itu, kalau anda mempunyai dana Rp100 juta di rekening, maka anda sanggup meminjam/pake margin hingga maksimal Rp300 juta dari sekuritas (sehingga total modalnya jadi Rp400 juta, tergantung kebijakan sekuritasnya). Makara meski perekonomian Indonesia secara umum tidak mengalami overleveraged, tapi di pasar saham overleveraged itu tetap terjadi, dan itulah yang menimbulkan kejatuhan IHSG ketika itu.

Okay, kemudian bagaimana dengan kondisi jaman now? Nah, kabar baiknya, hingga tahun 2016 kemarin, rasio utang pemerintah terhadap PDB masih relatif kondusif di level 27.9%, atau lebih rendah dibanding 2008 (dan jauh lebih rendah dibanding 1997 – 1998). Demikian pula kalau anda cek laporan keuangan dari sepuluh perusahaan non-perbankan terbesar di BEI, yang rata-rata mencatat debt to equity ratio (DER) hanya 1 kali. Sementara untuk empat bank terbesar di tanah air yakni BRI, Mandiri, BCA, dan BNI, rata-rata membukukan capital adequacy ratio (CAR) 19 – 20%, atau jauuuh lebih kondusif dibanding pola kasus Lehman Brothers diatas. Thanks to kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI) semenjak tahun 2012 lalu, yang meski itu menciptakan pasar kredit perbankan, properti, hingga kredit kendaraan bermotor jadi lesu (karena orang jadi gak sanggup spekulasi lagi, contohnya beli apartemen tanpa modal/pake utang bank), tapi itu mencegah terjadinya bubble dan mengurangi risiko kredit macet. Sementara di pasar sahamnya sendiri, BEI sebagai regulator terus memperbaharui dan menyempurnakan peraturan terkait penggunaan margin, dan alhasil, anda boleh tanya broker anda di sekuritas, kini ini nggak banyak orang yang beli saham pake margin, dan kasus forced sell juga lebih jarang terjadi.

Makara kesimpulannya, kalau dilihat dari aspek leverage maka Indonesia, termasuk pasar sahamnya, terbilang no problem. Namun dari aspek kemungkinan terjadinya bubble, maka perkembangan yang terjadi diluar negeri, termasuk dongeng bitcoin diatas, mungkin sanggup saja berujung pada terjadinya krisis, atau setidaknya koreksi di pasar saham. Karena disisi lain, meski penulis ragu apakah pasar saham Indonesia sudah mencapai titik bubble atau belum, tapi valuasi saham-saham di BEI kini ini tidak sanggup disebut murah juga, dimana saham-saham big caps sudah dihargai pada PBV 3 – 4 kali atau lebih tinggi lagi. Sebagai perbandingan, ketika saham Lehman Brothers berada di titik tertingginya di tahun 2007 yakni US$ 86, market cap-nya mencapai US$ 60 milyar, yang merefleksikan PBV 3.0 kali, dan PER 14.3 kali. Makara maksud penulis adalah, okay, kita hampir mustahil akan melihat Bank Mandiri atau BCA gulung tikar dalam waktu dekat, lantaran mereka tidak punya utang sebesar Lehman. Tapi kalau sekedar penurunan harga sahamnya, yang kemudian menimbulkan penurunan IHSG, maka itu mungkin saja bukan?

Makara yah, mari kita lihat lagi beberapa bulan dari sekarang. Dan jangan khawatir, kalau nanti penulis melihat ada ‘something wrong’, atau ‘mendung’ yang terjadi semakin bertambah gelap, maka goresan pena dengan tema ‘krisis’ ini akan di-update kembali.

Buletin Analisis IHSG & Stockpick saham bulanan edisi Desember 2017 sudah terbit! Anda sanggup memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham pribadi dengan penulis untuk member.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:  Salah satu topik yang paling sering dibicarakan di komunitas investor pasar modal yakni Siklus Krisis 10 Tahunan?
Sumber http://teguhidx.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Siklus Krisis 10 Tahunan?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel