Mengenal ‘Value Trap’, Dan Cara Menghindarinya
Menurut Investopedia, value trap adalah satu kondisi dimana sebuah saham tampak murah alasannya ialah angka-angka indikator valuasinya (PER, PBV, dst) terbilang rendah, namun valuasi yang rendah tersebut bekerjsama nggak bisa dikatakan murah, melainkan memang sudah merupakan valuasi wajarnya, contohnya alasannya ialah perusahaannya tidak mempunyai kinerja mendasar yang bagus, dan juga tidak memperlihatkan prospek apapun. Bahasa gampangnya, value trap ialah dikala anda menemukan saham yang tampak murah, padahal aslinya murahan.
Dan menurut pengalaman, value trap bisa dikelompokkan jadi dua jenis. Pertama, saham yang valuasinya tampak sangat rendah dibanding saham-saham lain di sektor yang sama, demikian pula dibanding saham-saham lain BEI pada umumnya, tapi alasannya ialah perusahaan yang bersangkutan dari dulu hingga kini gak pernah membukukan kinerja bagus, prospeknya gak jelas, dan nama perusahaannya jarang dikenal publik, maka jadilah sahamnya gak mau naik-naik, alasannya ialah memang hampir gak ada investor yang mau beli (Ngapain beli? Lha wong barangnya buruk kok).
Contohnya, kalau anda melaksanakan screening dengan menghitung PBV dari tiap-tiap saham di BEI, maka anda akan ketemu banyak saham yang PBV-nya kurang dari 1 kali, biasanya termasuk second atau third liner yang gak likuid dengan harga nominal yang rendah dibawah 500 perak atau bahkan deket-deket gocap, tapi dari dulu hingga kini sahamnya ya disitu-situ saja. Atau kalaupun sempet naik sesekali maka ujung-ujungnya turun lagi. Misalnya (penulis disini sengaja menentukan saham-saham yang pernah ramai dibicarakan di market) Benakat Integra (BIPI), Gading Development (GAMA), hingga Mas Murni Indonesia (MAMI). Dalam beberapa kasus, kadang pernah juga terjadi saham-saham value trap ini naik tinggi hingga PBV-nya tidak murah lagi, tapi biasanya tidak sulit untuk melihat bahwa itu cuma alasannya ialah kerjaan bandar/bukan alasannya ialah para investor ramai-ramai memborong sahamnya, dan pada alhasil tetap saja sahamnya turun lagi. Pada Februari 2017 lalu, saham Lotte Chemical Titan (FPNI), yang sebelumnya gak pernah kemana-mana di level 120-an (PBV 0.5 kali), tiba-tiba saja naik dengan cepat hingga tembus 600 di bulan Maret (PBV 2.5 kali), tapi sehabis itu turun lagi ke level 150 – 200, dan PBV-nya jadi nol koma sekian lagi.
Dan alasan kenapa saham-saham ‘murah’ diatas gak mau naik-naik (kecuali jikalau digoreng bandar), padahal market cap-nya sudah lebih rendah dibanding nilai aset higienis perusahaan, ialah alasannya ialah investor profesional manapun tidak akan hanya melihat value sebuah perusahaan dari nilai aset bersih/ekuitasnya saja, tapi juga dari earnings power, alias kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Karena memang itulah fungsi sebuah perusahaan: Menghasilkan laba. Kaprikornus jikalau anda membeli perusahaan dengan nilai aset higienis Rp100 milyar pada harga Rp30 milyar saja, tapi perusahaan itu selama ini malah rugi terus, maka anda mungkin gres saja kehilangan Rp30 milyar tadi sama sekali. Karena jikalau ekspresi dominan meruginya perusahaan terus berlanjut di masa yang akan datang, maka nilai aset higienis yang Rp100 milyar tadi akan terus menyusut hingga alhasil menjadi nol.
Value Trap: Dying Company
Okay, itu tadi jenis value trap pertama. Kedua, seringkali terjadi sebuah perusahaan yang tadinya membukukan kinerja mendasar bagus, namun kesininya rugi terus, dan alhasil sahamnya juga turun terus hingga alhasil valuasinya menjadi tampak murah. Misalnya perusahaan-perusahaan batubara, yang pada tahun 2009 – 2012 kemudian membukukan kinerja cantik seiring dengan booming komoditas dikala itu, dan otomatis saham-saham batubara pada periode itu dihargai sangat mahal, tapi memasuki tahun 2012 kinerja para emiten batubara mulai turun, dan terus saja turun hingga tahun 2016. Alhasil saham-saham batubara juga ikut turun, beberapa diantaranya bahkan hingga PBV-nya tinggal 0.1 kali di tahun 2016 tersebut (saham INDY, waktu di harga 200 – 300).
Nah, dikala saham-saham batubara ini sudah sedemikian murahnya, sedangkan kinerja mereka di masa kemudian bekerjsama terbilang cukup bagus, maka para bargain hunter (termasuk penulis) akan mulai membeli saham-saham batubara ini, dengan impian jikalau nanti para emitennya kembali membukukan kenaikan laba, maka otomatis sahamnya juga akan naik, dan naiknya pun bisa sangat tinggi karena semenjak awal valuasi mereka sudah super duper diskon.
Dan memang, pada hari ini kita bisa lihat saham-saham batubara sudah naik ratusan persen dibanding posisi terendah mereka pada pertengahan tahun 2016 lalu. Akan tetapi kalau anda perhatikan lagi, tidak semua saham-saham batubara naik banyak dalam dua tahun terakhir. Beberapa saham batubara, sebut saja Borneo Lumbung Energi & Metal (BORN), Berau Coal Energy (BRAU), Dayaindo Resources (KARK), hingga Sekawan Intipratama (SIAP), hingga kini masih mati suri dan gak pernah kedengaran kabarnya lagi (KARK malah sudah delisting), alasannya ialah memang perusahaannya sudah keburu kolaps sebelum sektor batubara itu kembali pulih (BORN dan BRAU mengalami default, KARK banyak kena kasus bahkan dikala batubara masih jaya di tahun 2010 – 2011, sedangkan SIAP ketauan melaksanakan transaksi repo yang merugikan investor ritel).
Padahal, penulis masih ingat, dikala saham BORN beberapa tahun kemudian terus saja turun hingga alhasil mentok di gocap, maka PBV-nya, menurut laporan keuangannya dikala itu, juga tinggal nol koma sekian kali, dan itu ialah valuasi yang sangat atraktif mengingat dikala di masa jayanya, BORN ini merupakan perusahaan batubara yang sangat profitable. Yup, alasannya ialah BORN merupakan satu-satunya perusahaan Tbk yang memproduksi batubara kalori tinggi jenis coking coal, yang harganya 2 – 3 kali lebih mahal dibanding batubara biasa, sehingga otomatis margin labanya lebih besar.
However, jikalau dikala itu ada investor yang masuk ke BORN ini pada harga gocap, maka ya sudah wassalam. Dalam hal ini kita bisa sebut BORN sebagai value trap. Dan gak cuma BORN, dulu juga pernah ada saham perusahaan kapal yang termasuk blue chip di jamannya, yakni Berlian Laju Tanker (BLTA), yang sahamnya turun terus hingga valuasinya menjadi murah meriah, tapi nyatanya sampe kini sahamnya malah mati/disuspen. Di level internasional, pada tahun 2008 kemudian saham Lehman Brothers (LEH) jeblok dari US$ 80-an hingga dibawah US$ 20, sehingga otomatis valuasinya menjadi menarik (PBV sekitar 0.7 kali). Karena meski LEH dikala itu tengah merugi, namun para investor sudah hafal betul bahwa LEH ini merupakan perusahaan investment banking skala global dengan kinerja historis yang cemerlang, punya track record panjang dan konsisten selama 150 tahun, bahkan sukses bertahan dikala Amerika dilanda great depression di tahun 1930-an, yang notabene merupakan krisis yang jauh lebih besar dibanding krisis tahun 2008. Kaprikornus PBV 0.7 kali tadi terbilang murah meriah. Alhasil di pertengahan tahun 2008, ada banyak fund manager besar yang masuk ke saham LEH pada harga US$ 20-an atau dibawahnya, termasuk George Soros, dikala itu dengan impian bahwa buruknya kinerja LEH di tahun 2008 hanyalah sementara. Kaprikornus jikalau di tahun-tahun berikutnya kinerja LEH mulai pulih, maka otomatis sahamnya akan naik lagi.
Namun ternyata, Lehman Brothers malah bangkrut! Dan sahamnya juga habis sama sekali/tidak lagi diperdagangkan lagi di NYSE (sehingga kerugian para pemegang sahamnya menjadi 100%). Kaprikornus juga bisa disimpulkan bahwa dikala para bargain hunter membeli saham LEH di harga bawah alasannya ialah melihat bahwa valuasinya sudah murah untuk ukuran saham dari perusahaan yang too big to fail, maka bekerjsama mereka gres saja terjebak value trap, alasannya ialah LEH ternyata malah fail beneran.
Nah, jikalau dibandingkan dengan jenis value trap yang pertama, maka jenis value trap yang kedua inilah yang sering makan korban, tidak hanya investor pemula tapi juga investor kawakan kelas kakap sekalipun (contohnya ya Om Soros tadi). I mean, kalau sebuah perusahaan semenjak awal gak pernah punya kinerja bagus/rugi meululu, prospeknya suram dan gak terang usahanya apaan, serta hampir gak pernah kedengaran nama PT-nya, maka ngapain juga kita beli sahamnya?
Tapi dikala ada saham dari perusahaan besar yang anjlok, maka meski sebagian memang sukses naik lagi dikala mendasar perusahaan yang bersangkutan kembali pulih (dan alhasil investor yang membelinya di harga bawah sukses cuan besar), namun sebagian lagi malah terus saja turun hingga nilainya menjadi nol, dan saham inilah yang kita sebut value trap. Dan actually guru besar kita semua, Warren Buffett, juga pernah jadi korban value trap jenis ini. Yakni dikala ia di tahun 1960-an membeli saham Berkshire Hathaway (BRK) pada PBV 0.4 kali, harga yang sangat murah untuk ukuran perusahaan tekstil yang pernah jaya di masanya (BRK sudah bangkit dan beroperasi semenjak awal kala ke-19), tapi ternyata kesininya BRK malah terus saja merugi hingga alhasil perusahaan menutup perjuangan tekstilnya sama sekali. Kesulitan terbesar bagi seorang value investor dikala ia membeli ‘saham murah’ ibarat saham LEH atau BRK ini ialah dikala ia tidak bisa membedakan, apakah perusahaan tengah struggling, atau malah dying. Jika perusahaan hanya sekedar struggling saja, alias masih bisa bertahan dan juga masih beroperasi meski merugi/labanya turun, maka tetap terdapat impian bahwa pada alhasil kinerja mereka bakal pulih lagi. Tapi jikalau perusahaannya sedang sekarat, ya artinya tinggal tunggu waktu saja sebelum mereka bangkrut, dan sahamnya menjadi worthless sama sekali.
Dan sejarah memperlihatkan bahwa ada aneka macam perusahaan-perusahaan besar di masa lalu, yang kini sudah tidak ada lagi. Dari 500 perusahaan penghuni daftar Fortune 500 di tahun 1950-an, hanya 8 diantaranya yang masih berada di dalam daftar Fortune 500 tersebut.
Okay, jadi bagaimana caranya biar kita bisa membeli saham murah yang perusahaannya hanya lagi struggling saja, dan bukannya dying? Well, secara teori bekerjsama simpel saja membedakannya, meski untuk prakteknya membutuhkan pengalaman yang cukup: Jika anda perhatikan, perusahaan-perusahaan yang dying ialah mereka yang memiliki utang terlalu besar dibanding nilai aset bersihnya, apalagi jikalau utang-utang tersebut mengandung bunga yang tinggi. Beberapa perusahaan yang disebut diatas, yakni BORN, BRAU, BLTA, dan juga LEH, kesemuanya menanggung utang yang amat sangat besar sebelum mereka bangkrut. Kaprikornus dikala ekonomi lagi gak bagus, atau sektor usahanya lagi lesu, maka dikala perusahaan-perusahaan lain hanya sekedar mengalami penurunan keuntungan saja, para perusahaan yang utangnya gede ini biasanya bakal menderita rugi besar. Karena dikala pendapatan operasional mereka turun, namun beban cicilan utang serta bunganya akan tetap/tidak ikut turun, sehingga secara keseluruhan perusahaan akan merugi. Dan jikalau iklim perjuangan ternyata tidak juga membaik sehabis beberapa waktu, maka kerugian tersebut akan terjadi terus menerus hingga alhasil menghapus nilai aset higienis perusahaan sama sekali.
Dan pada titik inilah, secara teknis sebuah perusahaan bisa disebut bangkrut. Analoginya ibarat kalau anda beli saham pake duit sendiri, dan kemudian terjadi market crash, maka saham-saham yang anda pegang akan turun/anda menderita rugi. Tapi selama anda tidak cut loss, tidak harus bayar bunga margin, dan juga tidak kena forced sell, maka dikala alhasil pasar naik kembali, saham-saham anda juga akan ikut naik, dan porto anda akan hijau kembali. Tapi jikalau anda beli saham pake margin kemudian terjadi market crash, maka kerugian anda akan berlipat ganda karena anda tetap dibebani bunga proteksi margin, dan beberapa saham yang anda pegang akan dipaksa dijual pada harga rendah (forced sell). Alhasil dikala pasar alhasil pulih kembali, aset anda di saham sudah terlanjur habis tak tersisa. Actually, inilah yang terjadi pada aneka macam investor pemula di tahun 2008 lalu.
Karena itulah, dalam beberapa kali kesempatan dikala kita banyak membahas saham-saham batubara di tahun 2016 kemudian (waktu itu saham ADRO dkk masih pada murah-murah), penulis menyebutkan bahwa saham favorit kita di sektor ini ada empat, yakni Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), Indo Tambangraya (ITMG), Harum Energy (HRUM), dan Resource Alam Indonesia (KKGI). Alasannya, selain alasannya ialah kinerja historis yang moncer, neraca dari ke-empat emiten batubara tersebut juga relatif higienis dari utang. Dan memang kinerja keempat perusahaan sukses pulih lagi dalam dua tahun terakhir, demikian pula sahamnya naik banyak. Memang, beberapa saham batubara yang utangnya gede ibarat Indika Energy (INDY) dan Bumi Resources (BUMI) ternyata gak hingga bernasib ibarat BORN, malah INDY naik banyak. Tapi secara risiko, maka saham-saham tersebut lebih berisiko/bisa saja merupakan value trap, dibanding empat saham batubara yang disebut diatas.
Kesimpulannya, asalkan kita bisa berhati-hati, maka gak terlalu sulit untuk menghindari value trap ini. Dan lagi, kalau contohnya kita terjebak membeli saham murah padahal murahan, atau saham murah tapi perusahaannya mau bangkrut, maka asalkan kita sebelumnya menerapkan diversifikasi yang efektif dimana kita gak cuma beli 1 – 2 saham murah melainkan beberapa, maka menurut pengalaman, meski mungkin ada satu atau dua saham yang ternyata merupakan value trap, tapi saham-saham lainnya tetap akan menghasilkan profit jumbo sehabis beberapa waktu. Dan alhasil kinerja porto kita secara keseluruhan akan tetap bagus, sehingga sekali lagi, soal value trap ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
And btw, selain dua jenis value trap diatas, bekerjsama masih ada satu lagi jenis value trap, yakni saham dengan PBV yang rendah padahal nilai ekuitas perusahaan tidak riil/tidak sebesar kelihatannya, atau saham dengan PER yang rendah padahal keuntungan bersihnya juga tidak riil/bukan berasal dari operasional perusahaan. Well, tapi berhubung artikel ini sudah tidak mengecewakan panjang, maka soal ini akan kita bahas lain waktu.
Untuk artikel ahad depan, ada masukan?
Untuk artikel ahad depan, ada masukan?
Jadwal Seminar: Value Investing Basic Class, Jakarta, Sabtu 24 Maret 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Sumber http://teguhidx.blogspot.com
0 Response to "Mengenal ‘Value Trap’, Dan Cara Menghindarinya"
Posting Komentar