Ekuitas Tidak Riil??
Jika anda membeli beberapa saham senilai total Rp10 juta, dan beberapa waktu kemudian saham-saham anda tersebut naik rata-rata 10%, maka kini di software online trading (OLT) anda tertulis aset Rp11 juta, naik dari sebelumnya Rp10 juta. Pertanyaannya, apakah nilai portofolio anda benar-benar menjadi Rp11 juta menyerupai yang tampak di OLT? Jawabannya, tidak. Karena kalau besok-besok ada saham anda yang naik atau turun, maka nilai porto anda akan berubah lagi. Porto anda gres akan fix bernilai sekian juta Rupiah, kalau anda sudah menjual dan merealisasikan profit dan/atau rugi dari semua saham yang anda pegang.
Jadi dalam hal ini sanggup kita katakan bahwa nilai porto saham anda yang Rp11 juta tadi tidak riil. Konsep yang sama juga berlaku pada perusahaan-perusahaan holding atau investment company yang kerjaannya berinvestasi atau membeli saham atau aset keuangan lainnya (obligasi, promissory notes, reksadana, dll) dari perusahaan lain: Nilai ekuitas mereka tidak riil, alasannya ialah nilai ekuitas tersebut sanggup berubah setiap ketika tergantung naik turunnya harga market atau ‘nilai wajar’ dari aset-aset keuangan yang mereka pegang.
Dan alhasil, kalau kita hendak membeli saham dari perusahaan holding menyerupai ini, maka valuasinya tidak sanggup disamakan dengan valuasi saham dari perusahaan biasa, melainkan harus lebih konservatif. Contoh, saham Saratoga Investama Sedaya (SRTG), sekilas tampak murah alasannya ialah PBV-nya cuma 0.5 kali pada harga saham 4,000. Tapi sehabis kita cek lagi, ternyata dari total aset SRTG senilai Rp26.6 trilyun per tahun 2017, dominan diantaranya merupakan ‘investasi pada imbas ekuitas’. Seperti yang kita ketahui, SRTG merupakan induk dari banyak anak perjuangan termasuk beberapa perusahaan Tbk, yakni Adaro Energy (ADRO), Tower Bersama Infrastructure (TBIG), Nusa Raya Cipta (NRCA), Mitra Pinasthika Mustika (MPMX), Provident Agro (PALM), dan Merdeka Copper & Gold (MDKA), dimana nilai investasi SRTG pada bawah umur usahanya tersebut dihitung menurut dua cara: 1. Berdasarkan naik turunnya harga saham ADRO dkk di market, dan 2. Berdasarkan nilai masuk akal sesuai nilai keuntungan dan rugi yang dihasilkan tiap-tiap perusahaan.
Jadi simpelnya, kalau harga saham ADRO dkk naik, atau kalau ADRO membukukan keuntungan higienis yang besar (meskipun keuntungan tersebut belum dicairkan oleh SRTG/tidak semuanya ditarik dalam bentuk dividen), maka akun ‘investasi pada imbas ekuitas’ di laporan keuangan SRTG akan naik, demikian pula ekuitas perusahaan ikut naik. Karena dalam 2 – 3 tahun terakhir harga saham ADRO memang naik banyak seiring pulihnya sektor batubara, maka balasannya ekuitas SRTG juga turut naik banyak. Pada tahun 2014, SRTG membukukan aset investasi pada imbas ekuitas sebesar Rp12.2 trilyun, dengan ekuitas Rp10.5 trilyun. Dan tiga tahun kemudian, pada tahun 2017, aset investasi tersebut melonjak jadi Rp24.8 trilyun, sementara ekuitasnya naik hampir dua kali lipat menjadi Rp19.0 trilyun.
Tapi sekali lagi, alasannya ialah SRTG belum menjual saham mereka di ADRO dan lainnya, dan memang mereka hampir mustahil akan menjualnya, maka ekuitas SRTG tidak sebesar kelihatannya, dimana kalau besok-besok ADRO mengalami penurunan kinerja, atau harga sahamnya turun, maka ekuitas SRTG juga akan turun. Dalam hal ini PBV SRTG yang hanya 0.5 kali tadi menjadi tidak semurah kelihatannya, melainkan mungkin memang wajarnya segitu. Meski demikian, kita tidak sanggup menyebut SRTG sebagai pola saham value trap menyerupai yang sudah kita bahas beberapa waktu lalu, melainkan sekali lagi, kita hanya perlu menghargai sahamnya dengan lebih konservatif saja. Sebab kalau kita lihat di Amerika pun, saham Berkshire Hathaway (BRK) juga PBV-nya hanya 1.4 kali, alias sangat rendah kalau dibandingkan dengan katakan saham Apple Inc (AAPL), Alphabet Inc (GOOG), sampai Microsoft (MSFT), ydimana PBV mereka rata-rata diatas 3 – 4 kali. Sebab memang, nilai ekuitas BRK, setidaknya sebagian diantaranya, juga sanggup berubah setiap ketika tergantung naik turunnya saham Coca Cola (KO) dll.
Jadi kalau besok-besok SRTG ini turun sampai PBV-nya menjadi hanya 0.3 – 0.4 kali, maka mungkin gres kita sanggup katakan bahwa sahamnya murah.
Perhatikan Cara Penyajian LK
However, tidak semua saham perusahaan holding harus kita hargai pada valuasi yang rendah, alasannya ialah yang harus diperhatikan ialah bagaimana cara perusahaan dalam menyajikan laporan keuangannya. Contohnya Astra International (ASII), dimana cara penyajian LK-nya berbeda dengan SRTG. ASII, yang merupakan induk dari United Tractors (UNTR), Astra Agro Lestari (AALI) dst, tidak mencantumkan aset investasinya di UNTR dkk sebagai ‘investasi ekuitas’, melainkan aset-aset tambang milik UNTR dikonsolidasikan/dianggap sebagai aset tetap perusahaan (dan sudah termasuk menghitung penyusutan), demikian pula pendapatan UNTR dikonsolidasikan sebagai belahan dari pendapatan ASII. Lebih jelasnya klik gambar berikut:
Perhatikan: Pada gambar diatas sanggup kita lihat bahwa SRTG membukukan asetnya dengan sangat simpel, yakni menurut nilai dari aset-aset keuangan (deposito, saham, equity share swap, dst) yang mereka pegang ketika ini, dimana nilai aset-aset tersebut sanggup berubah setiap saat. Sedangkan aset tambang milik ADRO dkk, itu tidak dikonsolidasikan sama sekali. Dan ini, sekali lagi, ialah sama dengan kalau jika anda beli saham Bank BCA (BBCA), dimana di OLT, nilai investasi anda di BBCA akan berubah sesuai dengan naik turun sahamnya, bukan menurut berubahnya nilai gedung kantor BCA dll.
Untuk ASII, menyerupai yang sudah disebut diatas, perusahaan menyajikan laporan keuangannya menurut metode konsolidasi seperti LK emiten lain pada umumnya, dimana aset-aset tetap milik bawah umur usaha, termasuk aset piutang pembiayaan (melalui FIF Group), aset perkebunan (melalui AALI), dan aset pertambangan (melalui UNTR), semuanya diakui sebagai belahan dari aset ASII. Ini artinya mau saham UNTR di market naik atau turun, maka gak ada pengaruhnya ke ekuitas ASII sebagai induknya.
Perbedaan mencolok juga tampak di laporan keuntungan rugi perusahaan, dimana SRTG mengakui ‘keuntungan investasi pada imbas ekuitas’ sebagai pendapatan, meskipun sejatinya perusahaan tidak benar-benar mendapatkan uangnya. Nilai pajak penghasilan yang terbilang kecil, yakni hanya Rp182 milyar (dibanding dengan keuntungan sebelum pajaknya yakni Rp3.2 trilyun), juga mengatakan bahwa sebagian besar keuntungan sebelum pajak tersebut hanya bersifat pembukuan/diatas kertas, alasannya ialah PPh tubuh yang 25% memang hanya dikenakan pada keuntungan higienis perusahaan yang riil (jadi keuntungan riil SRTG untuk tahun 2017 hanya sekitar Rp182 milyar / 25% = Rp728 milyar).
Sementara untuk ASII, perusahaan mencatat pendapatannya menurut nilai pendapatan konsolidasi dari bawah umur usahanya, dan hanya ada sedikit pendapatan yang sifatnya diatas kertas. Thus, laba higienis ASII ialah riil, sehingga kenaikannya ekuitasnya (karena embel-embel saldo laba) juga riil, dan valuasi/nilai intrinsik sahamnya boleh kita hitung memakai metode value investing yang menyerupai biasanya.
Anyway, pola ‘ekuitas yang tidak riil’ pada perusahaan type holding ini barulah satu dari sekian banyak pola angka-angka di laporan keuangan yang belum tentu sebesar kelihatannya/harus kita cermati lebih teliti lagi. Well, tapi berhubung artikelnya sudah cukup panjang, maka soal ini nanti kita bahas lagi dilain waktu.
Untuk ahad depan kita akan membahas prospek IPO BRI Syariah (BRIS).
Untuk ahad depan kita akan membahas prospek IPO BRI Syariah (BRIS).
Jadwal Seminar Value Investing: Advanced Class. Bali, Rivavi Hotel Pantai Kuta, 28 April. Keterangan selengkapnya baca disini.
Penulis juga menciptakan rekaman seminar Value Investing: Basic & Advanced Class. Dan anda sanggup memperolehnya disini.
Buku Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan Edisi Kuartal I 2018 ('Ebook Kuartalan') akan terbit hari Selasa, 8 Mei 2018. Anda sudah sanggup memesannya dari sekarang, baca isu selengkapnya disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Sumber http://teguhidx.blogspot.com
0 Response to "Ekuitas Tidak Riil??"
Posting Komentar