Ajaran Pokok Mu'tazilah (2): Al-Adl Dan Al-Wa’Du Wal-Wa’Ied
AL-ADL (KEADILAN)
Ajaran keadilan bagi Mu'tazilah erat hubungannya dengan pedoman At-Tauhid. Kalau At-Tauhid yakni mensucikan Tuhan daripada adanya persamaan dengan makhluk, maka Al-Adl yakni mensucikan Tuhan dari perbuatan dhalim. Menurut Mu'tazilah, Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak membuat perbuatan manusia. Manusia sanggup mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, dengan kudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya dan melarang apa yang tidak dikehendaki-Nya. Tuhan hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya.
Manusia telah diberi daya oleh Tuhan untuk memikul beban yang dipikulkan kepadanya. Manusia diberi kuasa untuk menentukan perbuatannya yang akan dilakukan. Tuhan telah menyerahkan kudrat dan Iradat-Nya kepada manusia, oleh alasannya yakni itu Mu'tazilah juga disebut “Ahlu Tafwidl”. Manusia memiliki kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya dengan daya proteksi Tuhan yang ada padanya. Dengan demikian sanggup dipahami wacana perintah-perintah Tuhan, akad dan ancaman, pengutusan rasul dan sebagainya. Oleh alasannya yakni itu insan memiliki kebebasan untuk berbuat apapun juga, insan yakni “khalikul af’al” dirinya sendiri. Kalau insan tidak merdeka di dalam perbuatan-perbuatannya, maka yakni tidak adil kalau Tuhan meminta pertanggungjawaban mereka.
Demikian pula Tuhan memberi siksa, maka siksaan itu yakni untuk kepentingan dan maslahat manusia. Karena kalau Tuhan menurunkan siksa bukan untuk maksud itu, maka berarti Tuhan melalaikan salah satu kewajiban-Nya. Tuhan wajib selalu berbuat baik, bahkan yang terbaik yang mendatangkan kebaikan bagi insan (as-salah wal aslah). Tuhan tidak berbuat buruk, bahkan tidak sanggup berbuat buruk. Karena perbuatan buruk-Nya akan mengurangi sifat kesempurnaan-Nya.
Adapun insan yang berbuat baik, tetapi di dunia hidupnya sengsara, juga niscaya mendapat anugerah Tuhan di akherat nanti. Keadilan Tuhan berlaku bagi seluruh makhluk, manusia, hewan, dan seisi alam semesta ini.
Manusia telah diberi daya oleh Tuhan untuk memikul beban yang dipikulkan kepadanya. Manusia diberi kuasa untuk menentukan perbuatannya yang akan dilakukan. Tuhan telah menyerahkan kudrat dan Iradat-Nya kepada manusia, oleh alasannya yakni itu Mu'tazilah juga disebut “Ahlu Tafwidl”. Manusia memiliki kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya dengan daya proteksi Tuhan yang ada padanya. Dengan demikian sanggup dipahami wacana perintah-perintah Tuhan, akad dan ancaman, pengutusan rasul dan sebagainya. Oleh alasannya yakni itu insan memiliki kebebasan untuk berbuat apapun juga, insan yakni “khalikul af’al” dirinya sendiri. Kalau insan tidak merdeka di dalam perbuatan-perbuatannya, maka yakni tidak adil kalau Tuhan meminta pertanggungjawaban mereka.
Demikian pula Tuhan memberi siksa, maka siksaan itu yakni untuk kepentingan dan maslahat manusia. Karena kalau Tuhan menurunkan siksa bukan untuk maksud itu, maka berarti Tuhan melalaikan salah satu kewajiban-Nya. Tuhan wajib selalu berbuat baik, bahkan yang terbaik yang mendatangkan kebaikan bagi insan (as-salah wal aslah). Tuhan tidak berbuat buruk, bahkan tidak sanggup berbuat buruk. Karena perbuatan buruk-Nya akan mengurangi sifat kesempurnaan-Nya.
Adapun insan yang berbuat baik, tetapi di dunia hidupnya sengsara, juga niscaya mendapat anugerah Tuhan di akherat nanti. Keadilan Tuhan berlaku bagi seluruh makhluk, manusia, hewan, dan seisi alam semesta ini.
AL-WA’DU WAL-WA’IED (JANJI DAN ANCAMAN)
Janji dan bahaya merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan. Mereka yakin bahwa akad Tuhan akan menawarkan pahala berupa nirwana dan bahaya akan menjatuhkan siksa yaitu neraka sebagai yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, niscaya dilaksanakan lantaran Tuhan sendiri sudah menjanjikan hal yang demikian itu.
Siapa yang berbuat baik akan dibalas kebaikan dan siapa yang akan berbuat jahat akan dibalas pula dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari dunia penuh dengan ketaatan dan taubat, ia berhak akan pahala dan mendapat daerah di surga. Sebaliknya siapa yang keluar dari dunia sebelum taubat dari dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan diabadikan di dalam neraka. Namun demikian berdasarkan Mu'tazilah, siksa yang diterimanya akan lebih ringan bila dibandingkan dengan yang kafir sama sekali.
Pengampunan dosa besar hanya ada dengan melalui taubat, sebagaimana halnya orang berbuat baik niscaya mendapat pahala. Oleh alasannya yakni itu Mu'tazilah sama sekali mengingkari adanya “syafaat” (pengampunan) pada hari kiamat. Ayat-ayat Al-Qur’an yang memperlihatkan adanya syafaat (lihat Al-Qur’an surat Saba’: 23, Surat Thoha: 109 dan sebagainya), mereka kesampingkan dan mereka memegangi dengan teguh ayat-ayat yang memperlihatkan tidak adanya syafaat itu ibarat tercantum dalam surat Al-Qur’an-Baqarah: 254:
Siapa yang berbuat baik akan dibalas kebaikan dan siapa yang akan berbuat jahat akan dibalas pula dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari dunia penuh dengan ketaatan dan taubat, ia berhak akan pahala dan mendapat daerah di surga. Sebaliknya siapa yang keluar dari dunia sebelum taubat dari dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan diabadikan di dalam neraka. Namun demikian berdasarkan Mu'tazilah, siksa yang diterimanya akan lebih ringan bila dibandingkan dengan yang kafir sama sekali.
Pengampunan dosa besar hanya ada dengan melalui taubat, sebagaimana halnya orang berbuat baik niscaya mendapat pahala. Oleh alasannya yakni itu Mu'tazilah sama sekali mengingkari adanya “syafaat” (pengampunan) pada hari kiamat. Ayat-ayat Al-Qur’an yang memperlihatkan adanya syafaat (lihat Al-Qur’an surat Saba’: 23, Surat Thoha: 109 dan sebagainya), mereka kesampingkan dan mereka memegangi dengan teguh ayat-ayat yang memperlihatkan tidak adanya syafaat itu ibarat tercantum dalam surat Al-Qur’an-Baqarah: 254:
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rizki yang telah kami berikan kepadamu sebelum tiba hari yang tidak ada lagi jual beli dan tidak ada persahabatan yang dekat dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dhalim”. (QS. Baqarah: 254)
Syafa’at merupakan dispensasi, ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan akad serta bahaya (al-wa’du wal-walied) Tuhan. Maka mustahil Tuhan berbuat tidak adil dan menyalahi janji-Nya sendiri.
Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com
Syafa’at merupakan dispensasi, ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan akad serta bahaya (al-wa’du wal-walied) Tuhan. Maka mustahil Tuhan berbuat tidak adil dan menyalahi janji-Nya sendiri.
0 Response to "Ajaran Pokok Mu'tazilah (2): Al-Adl Dan Al-Wa’Du Wal-Wa’Ied"
Posting Komentar