Tarekat Sunni
Pada mulanya tarekat dilalui oleh seorang sufi secara individu, tetapi dalam perjalanannya kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individu maupun kolektif. Pengajaran tarekat kepada orang lain ini sudah dimulai semenjak zaman al-Hallaj (858-922 M). Mengikuti tarekat juga berarti membersihkan diri dari sifat mengagumi diri sendiri (ujub), sombong (takabur), ingin dipuji orang lain (riya’), cinta dunia, dan sejenisnya.
Tarekat harus ikhlas, rendah diri (tawadu’), berserah diri (tawakkal), dan rela (ridho). Amalan-amalan tarekat untuk tujuan semacam itu sanggup saja dilakukan secara perorangan, tetapi biasanya murid tarekat lebih dulu di-baiat menjaga hubungan khusus dengan gurunya dan juga dengan sesama murid. Seorang syeikh besar biasanya mempunyai puluhan ribu murid yang tersebar secara luas.[1]
Tarekat harus ikhlas, rendah diri (tawadu’), berserah diri (tawakkal), dan rela (ridho). Amalan-amalan tarekat untuk tujuan semacam itu sanggup saja dilakukan secara perorangan, tetapi biasanya murid tarekat lebih dulu di-baiat menjaga hubungan khusus dengan gurunya dan juga dengan sesama murid. Seorang syeikh besar biasanya mempunyai puluhan ribu murid yang tersebar secara luas.[1]
PEMBAHASAN
Perkembangan gres sufi di tolong oleh harapan intelek tersebut. Apabila ada keyakinan yang harus dipelajari, harus dalam cara teratur. Al-Ghazali telah menyatakan bahwa murid harus mempunyai syeikh (dalam bahasa Persia ialah piri) yang memimpinnya. Barangsiapa tidak mempunyai syeikh sebagai petunjuk jalan akan dituntun oleh iblis dalam jalannya. Oleh lantaran itu, si murid itu harus berpegang teguh pada syeikh, sebagaimana seorang buta tekat pada pemimpinnya dikala berada di pinggir sungai mempercayakan diri kepadanya, jangan menantangnya sedikitpun dan berjanji mengikuti dengan mutlak. Si murid harus tahu bahwa keuntungan yang di sanggup lantaran kekeliruan syeikhnya, apabila ia bersalah, lebih besar keuntungan yang diperoleh dari kebenarannya sendiri apabila ia benar. Persatuan-persatuan yang asal mulanya bersifat lemah dan sukarela, waktu sufi memulai menjadi pergerakan populer, tumbuhlah “persaudaraan” yang teratur dari orang miskin atau pengemis (bahasa Arab faqir, Persia daarioys). Orang-orang sholeh dengan kepribadian luar biasa, yang masyhur dengan talenta mukjizat bahkan kesaktian untuk membuat sesuatu dikerumuni oleh murid-murid untuk mendapatkan murid gres diadakan upacara sederhana atau diambil pola dari upacara penerimaan warga gres persatuan pertukangan Syi’ah atau hormati pada upacara tersebut, si murid harus berjanji akan taat. Kemudian ia hidup dalam hubungan yang rapat dengan syeikh atau piri-nya, hingga ia mencapai derajat yang lebih tinggi. Setelah itu ia diizinkan keluar untuk mengajar jalan (thariqah) gurunya kepada murid-murid gres di sentra lain.
Sebelum berbicara jauh mengenai tarekat Sunni, terlebih jauh kita bahas mengenai tasawuf Sunni, untuk mengetahui corak pemikiran tasawuf. Apakah termasuk tasawuf Sunni atau tasawuf non-Sunni, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu kriterianya. Adapun kriteria yang dipakai ialah sistem “ta’wil” dalam memahami teks al-Qur’an dan as-Sunnah, yakni tingkat jauh dekatnya dengan sumber tersebut. Jika ta’wil dalam memahami dan menafsirkan teks itu dengan suara teks disebut “Sunni” dan jikalau ta’wilnya jauh disebut non-Sunni.
Sebagai misal ma’rifat dalam kaitan dengan fana’ dan taqa’, dapat diterima oleh penulis dikalangan sufi Sunni klasik, ibarat Abu Nash al-Sarraj al-Thusi (w. 378 H), Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi (w. 380), Abu al-Asim Abd al-Karim al-Gusyairi (w.465 H), al-Ghazali (1059-1111 M), dan para sufi lainnya, merupakan puncak pengalaman batin seorang sufi yang tidak bertentangan dengan semangat petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Pengalaman batin para sufi sehabis ma’rifat, fana’ dan baqa’ tidak terlihat dalam goresan pena tokoh-tokoh sufi tersebut. Dalam hal ini tidak ada kejelasan, oleh lantaran itu, muncullah faham al-Ittihad, al-Hulul, yang selanjutnya bermetamorfosis faham wahdat al-Wujud, dan al-Tauhid ialah di luar pembahasan yang mereka tulis, nampaknya mereka tidak menyetujui faham-faham ini, lantaran kabarnya pemisahan antara esensi Tuhan dan esensi manusia. Oleh lantaran itu, tidak mengherankan jikalau Dr. Harun Nasution menyatakan bahwa dalam bahasa ketiga faham al-Ittihad, al-Hulul dan al-Tauhid, kita berada dalam lapangan yang kurang jelas. Ketiga faham tersebut oleh ulama syariat dipandang sebagai hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Adapun al-Ittihad yang sering dialami Abu Yazid al-Bushtami yang lebih dahulu ia alami ialah fana’ dan baqa’. Menurut al-Sarraj hal ini terjadi diluar kesadaran. Ketika itu sufi mengeluarkan ucapan yang lahir dari perasaan yang sedang meluap disebut Syathahat. Ini tidak dimulai secara lahir. Sufi demikian tidak dalam keadaan mukallaf. Oleh jadinya berada diluar aturan taklifi yang berlaku umum.
Sebelum berbicara jauh mengenai tarekat Sunni, terlebih jauh kita bahas mengenai tasawuf Sunni, untuk mengetahui corak pemikiran tasawuf. Apakah termasuk tasawuf Sunni atau tasawuf non-Sunni, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu kriterianya. Adapun kriteria yang dipakai ialah sistem “ta’wil” dalam memahami teks al-Qur’an dan as-Sunnah, yakni tingkat jauh dekatnya dengan sumber tersebut. Jika ta’wil dalam memahami dan menafsirkan teks itu dengan suara teks disebut “Sunni” dan jikalau ta’wilnya jauh disebut non-Sunni.
Sebagai misal ma’rifat dalam kaitan dengan fana’ dan taqa’, dapat diterima oleh penulis dikalangan sufi Sunni klasik, ibarat Abu Nash al-Sarraj al-Thusi (w. 378 H), Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi (w. 380), Abu al-Asim Abd al-Karim al-Gusyairi (w.465 H), al-Ghazali (1059-1111 M), dan para sufi lainnya, merupakan puncak pengalaman batin seorang sufi yang tidak bertentangan dengan semangat petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Pengalaman batin para sufi sehabis ma’rifat, fana’ dan baqa’ tidak terlihat dalam goresan pena tokoh-tokoh sufi tersebut. Dalam hal ini tidak ada kejelasan, oleh lantaran itu, muncullah faham al-Ittihad, al-Hulul, yang selanjutnya bermetamorfosis faham wahdat al-Wujud, dan al-Tauhid ialah di luar pembahasan yang mereka tulis, nampaknya mereka tidak menyetujui faham-faham ini, lantaran kabarnya pemisahan antara esensi Tuhan dan esensi manusia. Oleh lantaran itu, tidak mengherankan jikalau Dr. Harun Nasution menyatakan bahwa dalam bahasa ketiga faham al-Ittihad, al-Hulul dan al-Tauhid, kita berada dalam lapangan yang kurang jelas. Ketiga faham tersebut oleh ulama syariat dipandang sebagai hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Adapun al-Ittihad yang sering dialami Abu Yazid al-Bushtami yang lebih dahulu ia alami ialah fana’ dan baqa’. Menurut al-Sarraj hal ini terjadi diluar kesadaran. Ketika itu sufi mengeluarkan ucapan yang lahir dari perasaan yang sedang meluap disebut Syathahat. Ini tidak dimulai secara lahir. Sufi demikian tidak dalam keadaan mukallaf. Oleh jadinya berada diluar aturan taklifi yang berlaku umum.
Adapun ciri-ciri Tarekat Sunni sebagai berikut:
- Dalam tasawuf Sunni, amal hati, lidah, dan fisik bagi pelaksanaan syari’at harus didasarkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Dalam tasawuf Sunni tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam kaidah maupun ibadah.
- Silsilah-silsilah guru-guru tarekat sambung dari bawah hingga dengan sahabat dan Rasulullah Saw.
- Tasawuf Sunni tidak memperkenankan tarekat suluk, uzlah, qanaah, zuhud, dan lain-lain tanpa ikhtiar sama sekali.
- Ilmu laduni yang diraih melalui “dzaur” tidak diakui sah apabila bertentangan dengan nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Tasawuf menekankan etika dan sopan santun dalam hubungan insan dengan Allah dan dalam hubungan dengan sesamanya.
Sebuah tarekat biasanya terdiri dari penyucian batin, kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan, dan kesadaran sosial. Yang dimaksud pensucian jiwa ialah melatih rohani dengan hidup zuhud, menghilangkan sifat-sifat buruk yang menjadikan dosa, dan mengisi dengan sifat-sifat terpuji, taat menjalankan perintah agama, menjauhi larangan, taubat atas segala dosa dan muhasabah, introspeksi, mawas diri terhadap semua amal-amalnya. Kekurangan tarekat biasanya terdiri dari syeikh tarekat, syeikh mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat, murid dan pengikut tarekat, serta ribat (zawiyah), daerah latihan, kitab-kitab, sistem dan metode dzikir. Upacara keagamaan sanggup berupa baiat, ijazah atau talqin, wasiat yang diberikan dan dialihkan seseorang syeikh tarekat kepada muridnya.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, salah satunya yang sangat penting bagi sebuah tarekat ialah silsilah-silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi sebuah tarekat, yang akan menjadi tolak ukur sebuah tarekat mu’tabaroh (dianggap sah) atau tidak. Silsilah tarekat disebut nisbah, hubungan guru terdahulu sambung menyambung antara satu sama lain hingga kepada Nabi. Hal ini harus ada alasannya bimbingan kerohanian yang diambil dari guru-guru itu harus ada benar-benar dari Nabi. Kalau tidak demikian hal itu berarti tarekat itu terputus dan palsu, bukan warisan dari Nabi.[2]
KESIMPULAN
Tarekat Sunni ialah tarekat yang mempunyai syarat-syarat sebagaimana tasawuf Sunni, diantaranya mengutamakan Qur’an dan Hadits, menghindari bahkan menjauhi hal-hal yang bersifat syirik menyekutukan Allah SWT. Adanya persambungan (silsilah) mursyid dengan khalifah tarekat sebelumya sehingga hingga kepada Rasulullah Saw. Hal ini merupakan yang terpenting, lantaran sebagai landasan muktabaroh atau Ghairu muktabaroh. Berawal dari uraian di atas, maka tarekat Sunni dalam segi pemikiran tidak jauh beda dari tasawuf Sunni baik dalam segi unsur maupun komponen yang ada didalamnya. Hanya saja tarekat lebih erat pada organisasi, sehingga seringkali dalam tarekat terdapat perilaku sombong.
Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com
0 Response to "Tarekat Sunni"
Posting Komentar