iklan

Sejarah Lahirnya Mu'tazilah

Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada 666 M, di Madinah dalam kontradiksi yang terjadi dengan tentara yang tiba dari Mesir, selain membawa problem politik, juga menjadikan problem teologi dalam Islam. Dalam bidang politik, insiden itu memecah umat Islam menjadi 2 golongan: Sunni dan Syi’ah. Perkembangan sejarah Islam, bukan dalam politik saja tetapi juga dalam bidang agama dan pemikiran, banyak dipengaruhi dan ditentukan arahnya oleh kontradiksi antara kedua golongan besar ini. Dalam bidang teologi, insiden Utsman bin Affan itu menjadikan problem keyakinan dan kufur. Peperangan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke 4 dan Muawiyah bin Abi Sufiyan, Gubernur Damsyik yang menganggap Ali bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman, dicoba diselesaikan dengan jalan tenang yaitu jalan tahkim (arbitrase) yang biasa digunakan pada zaman jahiliyah. Jalan tenang ini oleh segolongan tentara Ali tidak disetujui lantaran kelihatannya mereka telah bersahabat memperoleh kemenangan dalam peperangan. Ini berarti mereka akan menerima harta rampasan yang akan dibagi-bagikan kepada semua yang turut berperang dipihaknya. Tidak puas dengan keadaan ini, mereka tinggalkan barisan Ali dan membentuk kekuatan sendiri yang kemudian dikenal dengan nama kaum Khawarij. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja, yaitu keluar, yang dalam kasus ini berarti keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, khalifah ke 4.[1]
Masalah politik ini segera mereka tingkatkan dan kaitkan dengan keyakinan dan kufur, problem Islam atau tidak Islamnya seseorang. Dalam teologi, ayat 44 dari Surat al-Ma’idah mengatakan: siapa yang tidak memilih aturan dengan apa yang telah ditentukan Allah, yaitu kafir.  Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah menuntaskan persengketaan mereka tidak dengan pergi kepada teologi, tetapi dengan mengikuti kembali tradisi hakam zaman jahiliah. Dengan demikian Ali dan Muawiyah dalam pandangan Khawarij, telah menjadi kafir dan bukan mu’min, jadi bukan orang Islam lagi. Demikian juga Amr bin Al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari, masing-masing pengantara dari pihak Muawiyah dan Ali.[2]
Tidak memilih aturan sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah dalam Al-Qur’an berdasarkan Khawarij, yaitu dosa besar. Dari sini mereka menarik kesimpulan bahwa pembuat dosa besar yaitu kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad dan orang murtad harus dibunuh. Yang dipandang dosa besar antara lain yaitu berbuat zina dan membunuh insan tanpa lantaran yang sah. Maka dalam pandangan Khawarij, orang yang berzina dan membunuh sudah keluar dari Islam, dan harus dibunuh. Dalam perkembangan selanjutnya yang mereka akui orang Islam hanyalah orang yang menganut ajaran-ajaran Khawarij. Orang-orang Islam lainnya yaitu kafir dan murtad serta harus diperangi. Maka selain memerangi Ali dan Muawiyah sebagai lawan-lawan politik mereka, kaum Khawarij juga menentang umat Islam yang tidak sepaham dengan teologi mereka.
Bagi golongan Murji’ah, perbuatan tidak memiliki efek apa-apa atas iman. Sehubungan dengan itu problem dosa besar dan pembuat dosa besar pada kala pertama hijriah banyak dan hangat diperbincangkan. Kepada alim ulama banyak diajukan pertanyaan mengenai problem itu. Demikian Hasan Al-Bashri (642-728 M) seorang ulama besar di Irak, pada suatu hari menerima pertanyaan dari salah seorang yang turut mendengar kuliahnya. Sebelum sempat menjawab, seorang penerima lain yang berjulukan Washil bin Atha’ (699-748 M) menegaskan: membuat dosa besar tidak mu’min dan tidak kafir.
Kemudian ia meninggalkan majlis gurunya dan membentuk majelis sendiri untuk membuatkan pendapatnya. Kata mu’min, dalam paham Washil, mengandung pujian, sedangkan pembuat dosa besar bukanlah orang yang terpuji tetapi sebaliknya pembuat dosa besar bukanlah kafir, lantaran ia masih mengakui kedua syahadat. Karena pembuat dosa besar tidak mu’min dan tidak kafir, ia memiliki posisi di antara keduanya dan boleh diberi predikat muslim.
Adapun dosa besar yang dilakukannya itu tidak sanggup diputuskan oleh umat Islam lain di bumi ini, tetapi diserahkan kepada pembuat dosa besar itu sendiri. Kalau ia bertaubat, dalam arti taubat yang sebenarnya, dosa besar itu akan diampuni Tuhan dan ia masuk surga. Tetapi jikalau ia tidak mau bertaubat, dan mati sebelum sempat taubat dengan sebenar-benarnya taubat, dosa besarnya tidak terhapus dan ia masuk neraka untuk selama-lamanya. Hanya eksekusi yang diterimanya lebih ringan dari eksekusi yang diberikan Tuhan kepada orang kafir. Ajaran ini kemudian dikenal dengan nama “al-manzilah bayn al-manzilatain”, posisi di antara dua posisi mu’min dan kafir, baik di dunia maupun di darul abadi kelak.
Peristiwa inilah yang menjadikan lahirnya Mu'tazilah yang pada mulanya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan golongan Murji’ah. Nama Mu'tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata I’tazala, yang berarti mengasingkan diri, berdasarkan suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan Al-Basri, sesudah melihat Washil memisahkan diri. Hasan Al-Basri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut: I’tazala anna (ia mengasingkan diri dari kami). Orang-orang yang mengasingkan diri disebut Mu'tazilah. Mengasingkan diri sanggup berarti mengasingkan diri dari majlis kuliah Hasan Al-Basri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan pendapat Khawarij. Menurut teori lain nama Mu'tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Basri, tetapi dari kata I’tazala yang digunakan terhadap orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kata I’tazala dan Mu'tazilah berdasarkan penulis sejarah al-Thabari dan Abu al-Fuda[3] Memang sudah digunakan pada zaman itu. Golongan yang tidak mau turut campur dengan pertikaian politik, mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Di antara orang-orang demikian terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husein, Abdullah dan al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafi.
Ada anggapan bahwa kata Mu'tazilah mengandung arti tergelincir, dan lantaran tergelincirnya aliran Mu'tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama Mu'tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Sebenarnya kata I’tazala berasal dari kata akar a’zala yang berarti “memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir. Kata yang digunakan dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang bersahabat bunyinya dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Mu'tazilah tidak sanggup berasal dari kata zalla.
Orang-orang Mu'tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri Ahl al-Tauhid wa ahl al-Adl, tidak menolak nama Mu'tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu'tazilah sanggup ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menjadikan nama itu. Menurut al-Qadhi Abdul Jabbar, seorang pemuka Mu'tazilah yang buku-bukunya banyak ditemui kembali pada kala kedua puluh Masehi ini, di dalam teologi terdapat kata I’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar. Dengan demikian kata Mu'tazilah mengandung arti pujian.[4] Menurut keterangan seorang Mu'tazilah lain, Ibn Al-Murtadha, nama Mu'tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi orang-orang Mu'tazilah sendirilah yang membuat nama itu.[5]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa situasi ummat Islam pada masa itu telah terpecah-pecah menjadi beberapa aliran golongan. Golongan Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah, saling berbantah satu dengan yang lain. Masing-masing mempertahankan pendiriannya sendiri, yang tak sanggup dibayangkan untuk sanggup dipertemukan satu dengan yang lain. Masalah dosa besar merupakan pangkal persengketaan, contohnya Khawarij beropini bahwa Utsman, Ali, Muawiyah dan orang-orang yang mendapatkan tahkim yaitu berdosa besar. Golongan Murji’ah beropini bahwa semua yang terlibat dalam persengketaan kaum muslimin tetap mu’min dan tidak keluar dari Islam. Iman yaitu pekerjaan hati semata-mata, amal perbuatan sama sekali tidak mensugesti keyakinan seseorang. Golongan Syi’ah juga beropini bahwa khalifah-khalifah sebelum Ali yaitu perampas hak, lantaran Ali yang telah diberi wasiat nabi untuk mendapatkan jabatan khalifah. Mereka beropini bahwa para perampas itu juga kafir dan abadi dalam neraka.
Pada kala kedua Hijriah, Kota Bagdad (Irak) menjadi sentra ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.  Filsafat Yunani telah masuk ke dunia Islam dan pikiran-pikiran filsafatnya banyak mensugesti kaum muslimin.[6] Demikian pula agama Yahudi, Kristen, Zoroaster dan kepercayaan-kepercayaan setempat telah banyak dibawa masuk oleh orang-orang yang gres saja memeluk agama Islam, di mana sisa kepercayaan mereka tidak sanggup dibuang sama sekali. Terasa sekali acara dari pada agama lain dan orang-orang yang sengaja memasuki Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam, demikian pula ajaran-ajaran filsafat menyerang Islam dengan caranya sendiri. Demikianlah pada masa itu Islam menghadapi banyak sekali serangan baik dari luar maupun dari dalam. Dalam situasi menghadapi perpecahan dan perbedaan pendapat serta serangan-serangan baik dari luar maupun dari dalam, lahirlah Mu’tazillah.[7]
Untuk mengatasi dan menghindari berlarut-larutnya perpecahan dan perbedaan pendapat, Mu’tazillah mengemukakan konsepsi jalan tengah dalam perjuangan mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda. Pendapatnya tidak terlalu keras sebagaimana pendapat Khawarij dan juga tidak terlalu lemah sebagaimana pendapat Murji’ah, tetapi bainal manzilataini, di antara dua pendapat yang berbeda.
Terhadap serangan-serangan, baik dari luar maupun dari dalam, Mu'tazilah muncul dengan pikiran-pikiran gres guna menyelamatkan Islam.
Usaha itu melahirkan ilmu gres dalam Islam yang dikenalkan Mu'tazilah, yaitu “Ilmu Kalam”. Ilmu ini berisi perpaduan antara Filsafat dan Logika dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan baru, konsepsi-konsepsi filsafat mengenai teologi Islam.
Dengan demikian, lahirnya Mu’tazilah yaitu lantaran problem agama dan bukannya bermotif politis, meskipun dalam perkembangan selanjutnya memakai unsur politik untuk membuatkan dan memaksakan pemikiran dan pahamnya. Maka lahirlah satu golongan gres Mu'tazilah sehingga menambah jumlah golongan yang telah ada.

[1] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. 6, Mizan (Anggota IKAPI) Bandung, 2000, hlm.126.
[2] Ibid.
[3] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, Dar Bibel Alhadits, Kairo, 1964. hlm. 290.
[4] Al-Qur’an-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Qur’an-Falsafi fi al-Islam, Kairo, 1966, hlm. 430-1.
[5] Ahmad Mahmud Subhi, Fi’Ilm Al-Kalam, Kairo, 1969, hlm. 75 – 6.
[6] Nurcholis Majid, Khasanah Intelektual Islam, hlm. 21.
[7] Ibid, hlm. 22

Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sejarah Lahirnya Mu'tazilah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel