Berapa Usang Sebaiknya Kita Hold Saham?
Beberapa waktu kemudian penulis mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, ‘Pak Teguh, saya dengar Warren Buffett (WB) itu kalau sudah beli saham maka tidak pernah dijual lagi/di hold selamanya. Demikian pula Pak Lo Kheng Hong, yang dikatakan sanggup hold saham hingga 7 tahun. Tapi Pak Teguh sendiri, saya perhatikan anda hold saham paling usang cuma hingga 1 – 2 tahun saja, selebihnya cuma hold beberapa bulan, dan ada juga saham-saham yang dibeli alasannya ialah perusahaannya bayar dividen, untuk kemudian dijual sehabis nanti dapet dividennya. Bisa tolong dijelaskan soal ini Pak?’
Nah, berhubung pertanyaan ini kemungkinan mewakili pertanyaan dari temen-temen investor lainnya, maka sekalian saya bikinkan saja artikelnya.
Jadi, yap, penulis sendiri ketika dulu pertama kali baca-baca wacana metode value investing, terutama wacana cara investasinya Warren Buffett, maka salah satu perbedaan mendasar antara ia sebagai value investor dengan investor/trader saham kebanyakan ialah terkait holding period, alias seberapa usang ia memegang suatu saham, dimana kalau investor lain cenderung main jangka pendek, maka WB mainnya jangka panjang. Dan yang dimaksud dengan ‘panjang’ disini ialah benar-benar puanjaaang, yakni antara 5 tahun hingga selamanya. Salah satu quote WB yang populer adalah, ‘my favorite holding period is forever’, yang mengindikasikan bahwa kalau Berkshire Hathaway (BRK) membeli saham tertentu, maka selanjutnya saham tersebut tidak akan dijual lagi hingga kapanpun.
Dua Kelemahan
Dan ketika itu, sebagai pemula, penulis pun kemudian mencoba menerapkan cara investasi WB tersebut. Tapi tak butuh usang sebelum saya kemudian menemukan setidaknya dua kelemahan dari taktik ‘holding forever’-nya WB ini. Pertama, keputusan untuk tetap hold saham akan menjadi keputusan yang jelek dalam kondisi bear market. Penulis masih ingat, pada bulan Mei 2010, saya untuk pertama kalinya berkenalan dengan market crash, dimana IHSG drop dari 2,971 hingga mentok di 2,501, atau drop 16% hanya dalam sebulan, dan ketika itu ada banyak saham-saham yang drop-nya hingga 20 – 30%.
Dan meski di bulan Juni-nya pasar eksklusif pulih lagi, dimana saham-saham cantik pada naik lagi, tapi dari pengalaman koreksi pasar tersebut penulis eksklusif menyadari bahwa seandainya saya beli saham-saham tertentu pada tahun 2007 lalu, kemudian tetap meng-hold-nya meski pasar mengalami crash yang jauh lebih jelek di tahun 2008, maka sanggup jadi hingga tahun 2010 tersebut, atau 3 tahun kemudian, saham yang saya pegang masih baru sekedar balik modal saja, alias gres naik lagi ke posisi harga belinya. Kaprikornus dalam hal ini meski posisinya memang nggak rugi, tapi kita jadi kehilangan waktu 3 tahun yang amat sangat berharga, itu juga dengan perkiraan kita gak panik ketika terjadi krisis, alias cukup besar lengan berkuasa mental untuk terus hold sahamnya termasuk ketika krisis tersebut mencapai titik terendahnya, pada Oktober 2008 lalu.
Diluar faktor koreksi pasar/market crash yang sanggup terjadi sewaktu-waktu, sekitar dua tahun kemudian penulis menyadari satu lagi faktor lainnya yang mengharuskan seseorang untuk menjual sahamnya (sehingga gak jadi pegang ‘forever’), yakni kalau perusahaan yang bersangkutan mengalami perubahan fundamental. Yup, pada tahun 2011, saham-saham batubara mengalami kenaikan yang luar biasa seiring dengan kinerja emiten yang sangat baik, tapi di tahun 2012-nya keuntungan mereka mulai turun, dan sahamnya pun ikut turun. Contohnya, Resource Alam Indonesia (KKGI), dimana sahamnya naik dari 1,000-an hingga tembus 8,000 (sebelum stocksplit) pada awal tahun 2012. Tapi pada Kuartal I 2012, perusahaan membukukan penurunan laba, atau dengan kata lain mengalami perubahan fundamental. Dan ternyata, seiring dengan penurunan harga batubara ketika itu, kinerja KKGI tidak pernah pulih lagi hingga tahun 2016. Sementara sahamnya? Well, drop dari 8,000-an tadi hingga as low as 500-an (sekali lagi, sebelum stocksplit), atau jeblok lebih dari 90 persen! Kaprikornus bisakah anda bayangkan kalau seseorang membeli KKGI ini di tahun 2012 tadi, kemudian memutuskan untuk ‘hold forever’?? Karena faktanya, meski semenjak pertengahan tahun 2016 kemarin saham KKGI mulai naik lagi, tapi hingga kini harganya masih sangat jauh untuk mencapai titik tertingginya di tahun 2012 lalu.
Itu pertama terkait faktor koreksi pasar, dan perubahan mendasar emiten. Kedua, penulis kemudian juga menyadari bahwa taktik ‘holding forever’ tidak menghasilkan kinerja investasi yang optimal. Contoh, pada selesai dekade 1980-an, WB mulai mengakumulasi saham Coca Cola (KO), hingga balasannya BRK memegang KO senilai lebih dari US$ 1 milyar pada tahun 1990, dan ketika itu KO berada di level US$ 4 per saham dan terus naik. Hingga di tahun 1998, KO sudah berada di level diatas US$ 40, atau naik 10 kali lipat dari harga beli WB. Setelah itu KO mulai turun, dan terus saja turun sampai tinggal US$ 20 di tahun 2004 (penulis belum cek alasannya ialah sulit cari datanya, tapi kemungkinan pada tahun-tahun tersebut Coca Cola mengalami penurunan kinerja). Dan barulah pada hari ini, atau hampir 20 tahun semenjak saham KO mencapai titik tertingginya di tahun 1998, saham KO kembali naik ke level US$ 40-an.
Harga saham Coca Cola dari tahun 1975 hingga sekarang. Perhatikan bahwa harga sahamnya kini ini tidak jauh berbeda dibanding tahun 1998 lalu. Source: Google. |
Jadi, yes, pada balasannya WB tetap profit besar dari KO, tapi profit 1,000% dalam waktu hampir 30 tahun tentunya bukan kinerja investasi yang memuaskan. Memang, keuntungan terbesar WB dari KO bukan cuma dari kenaikan harga sahamnya, melainkan juga dari dividen, dimana dikala ini BRK mendapatkan dividen dari KO sekitar US$ 500 – 600 juta per tahun, tapi tetap saja total profitnya tidak terlalu besar, sekali lagi, kalau mempertimbangkan holding period-nya yang kelewat lama. Jika WB menjual KO di tahun 1998, maka ia ketika itu sudah menghasilkan profit 10 kali lipat, dan ia sanggup menginvestasikan kembali uangnya di saham lain untuk menghasilkan profit yang sanggup saja mencapai 10 kali lipat lagi dalam 10 tahun berikutnya (jadi totalnya WB cuan 100 kali lipat dalam 20 tahun). But still, bukan itu yang ia lakukan.
‘Holding Period’ Buffett di Tahun 1960-an
Penasaran, penulis kemudian pelajari lebih lanjut cara investasi WB, apakah ia semenjak awal kariernya sebagai investor sudah menerapkan taktik holding forever, ataukah dulu strateginya beda lagi. Daaaan ternyata pada tahun 1960-an, WB sama sekali tidak pernah membeli saham untuk kemudian ‘dipegang selamanya’, melainkan untuk dijual lagi sehabis beberapa waktu, tentunya pada harga yang lebih tinggi. Kalau anda baca-baca annual letter WB semenjak ia masih mengelola Buffett Partnership, maka disitu ada banyak disebutkan saham-saham yang WB beli pada harga murah, kemudian dijual kembali pada harga yang memang seharusnya. Sebut saja Sanborn Map, Dempster Mill, hingga HKC Dept. Store. Termasuk ketika WB membeli saham BRK di tahun 1962, tujuan awalnya ialah untuk nanti dijual lagi pada harga yang (diharapkan) lebih tinggi (tapi alasannya ialah sedikit ‘kecelakaan’, Berkshire Hathaway balasannya tetap di-hold WB hingga sekarang, meski aset-aset tetap perusahaan sudah dilego semua/tinggal sisa nama perusahaannya saja sebagai holding company). Pada tahun 1960-an, WB rata-rata menjual kembali sahamnya sehabis 1 – 2 tahun, atau paling usang 3 tahun, tapi ada juga saham yang eksklusif ia jual kembali di tahun yang sama (jadi hold-nya hanya beberapa bulan).
Setelah menyadari fakta diatas, termasuk sehabis baca-baca (dan berlatih) lebih banyak lagi wacana metode value investing, maka penulis kemudian mengerti bahwa, value investing itu bukanlah ‘Beli saham hari ini kemudian jualnya 5 tahun kemudian’, sama sekali bukan! Melainkan: Beli saham cantik pada harga murah. Lalu bagaimana kalau nanti saham tersebut naik terus hingga valuasinya jadi gak murah lagi? Atau kalau fundamentalnya gak cantik lagi? Ya ketika itulah, anda sanggup mempertimbangkan untuk menjualnya, dan nanti duitnya dipindah ke saham lain yang juga bagus, tapi valuasinya masih murah. Gitu!
Okay, kemudian apa yang menjadikan WB mengubah strateginya, dari yang tadinya hold selama beberapa bulan hingga 2 – 3 tahun, menjadi ‘hold forever’? Penulis sendiri perlu waktu cukup usang untuk menjawab ini, tapi kini saya sudah mengerti jawabannya: Kalau anda pegang Rp10 juta, maka anda sanggup invest di saham-saham apa saja, termasuk saham gak likuid sekalipun, dan anda sanggup dengan simpel menjualnya kembali sehabis beberapa waktu.
Tapi kalau anda pegangnya let say Rp10 milyar, maka tentu gak segampang itu untuk melaksanakan kegiatan jual beli saham, dimana anda gak sanggup lagi beli saham yang anda incar secara sekaligus dalam satu kali transaksi, demikian pula ketika anda menjualnya gak sanggup sekaligus. Dengan kata lain, investor dengan dana besar tidak sanggup ‘gerak lincah’ menyerupai investor lain yang dananya lebih kecil. Bahkan WB sendiri butuh waktu beberapa tahun (dari 1987 hingga 1990) hanya untuk mengakumulasi saham Coca Cola, senilai total US$ 1 milyar ketika itu.
Dan pada hari ini, nilai investasi BRK di KO sudah naik menjadi US$ 15 milyar (harusnya US$ 10 milyar, tapi WB kemudian beberapa kali menambah investasinya di KO). Pertanyaannya, kalau untuk membeli saham KO senilai US$ 1 milyar saja butuh waktu beberapa tahun, maka berapa usang waktu yang dibutuhkan untuk menjual saham yang sama senilai 15 kali lipat-nya???
Karena itulah, penulis kira WB bukannya nggak mau menjual KO di tahun 1998 lalu, tapi ia semenjak awal gak bisa/sulit untuk menjualnya. WB sendiri melalui annual letter-nya mengakui bahwa sebelum tahun 1980, ia selalu menerapkan taktik beli saham murah, kemudian kemudian dijual di harga tinggi. Tapi seiring dengan terus meningkatnya dana kelolaan, WB kemudian menyadari bahwa ia gak sanggup lagi menerapkan taktik jual – beli menyerupai itu. Kaprikornus memasuki tahun 1980-an, terutama sehabis ketemu Charlie Munger (justru Munger-lah yang pertama kali mengajarkan WB untuk beli saham kemudian hold selamanya), WB kemudian mengubah strateginya: Hanya beli saham-saham yang benar-benar cantik (sebelumnya WB kadang beli saham dari perusahaan kelas coro, asalkan harganya benar-benar terdiskon) pada harga yang lebih rendah dari nilai intrinsik-nya, lalu hold selamanya.
Dan berbekal taktik ‘holding forever’ tersebut, BRK kemudian sukses untuk terus bertumbuh hingga sekarang, but still, kalau dibanding return investasi WB di tahun 1960-an, maka kinerja BRK dalam satu atau dua dekade terakhir terbilang kurang memuaskan (baca lagi paragraf diatas, soal tidak optimalnya kinerja investasi dengan taktik hold forever). Dan WB sendiri mengakui bahwa periode 1960-an justru merupakan periode terbaiknya sebagai seorang value investor, dimana ia ketika itu membukukan rata-rata return 29% per tahun, sudah termasuk tahun-tahun krisis. Sementara pada hari ini, rata-rata return BRK dari tahun 1965 – 2016 hanya 19% per tahun (tapi ini sekaligus mematahkan kritik yang menyampaikan bahwa ‘Warren Buffett nggak sehebat itu alasannya ialah return investasinya bahkan gak nyampe 20% per tahun’. Well, silahkan anda tunjuk investor manapun yang anda anggap hebat, kemudian suruh dia pegang dana sebesar yang dipegang WB dikala ini: Kira-kira sanggup nggak dia dapet return 19% juga per tahunnya?).
Kesimpulan
Kebanyakan investor pemula, ketika ia pertama kali googling nama ‘Warren Buffett’, maka yang ia pelajari ialah cara investasi WB pada dikala ini, yakni ketika ia sudah menjadi salah satu orang terkaya di dunia. However, investor berpengalaman mengerti bahwa cara investasi WB, meski tetap konsisten berpedoman pada kaidah value investing, namun senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu, alasannya ialah menyesuaikan dengan besarnya dana kelolaan, dll. Kaprikornus kecuali nama anda juga pernah nongol di Majalah Forbes, maka anda tidak sanggup berinvestasi dengan cara yang persis sama dengan cara investasi WB kini ini, melainkan anda boleh coba baca lagi, menyerupai apa cara investasi WB ketika dulu dananya masih terbilang kecil (meski mungkin juga perlu dicatat bahwa WB semenjak dulu tidak pernah trading cepat/swing trading. Masa hold ia paling singkat ialah beberapa bulan).
Dan memang itulah yang penulis lakukan: Mempelajari taktik investasi WB di masa lalu, dimana sehabis diubahsuaikan lagi dengan kondisi pasar saham di Indonesia dll, hasilnya ialah ‘Strategi investasi saham ala Teguh Hidayat’, menyerupai yang banyak disampaikan di blog ini. Tapi meski ada banyak perbedaan, yang penting prinsip value investing-nya tetap dipake: Beli saham cantik pada harga murah, that’s it. Dan hasilnya, menyerupai yang sanggup anda baca-baca lagi di arsip analisa saham di blog ini, terbilang cukup baik.
Btw untuk ahad ini tadinya kita mau bahas konstruksi, tapi sehabis penulis pertimbangkan lagi, ngapain bahas saham yang udah naik duluan, jadi yo wis nanti saja. Untuk ahad depan kita akan bahas soal ‘value trap’.
Pengumuman: Buku Kumpulan Analisis Saham Pilihan ('Ebook Kuartalan') edisi Kuartal IV sudah terbit! Anda sanggup memperolehnya disini.
Jadwal Seminar: Value Investing Advanced Class, Jakarta, Sabtu 17 Maret 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.
Pengumuman: Buku Kumpulan Analisis Saham Pilihan ('Ebook Kuartalan') edisi Kuartal IV sudah terbit! Anda sanggup memperolehnya disini.
Jadwal Seminar: Value Investing Advanced Class, Jakarta, Sabtu 17 Maret 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Sumber http://teguhidx.blogspot.com
0 Response to "Berapa Usang Sebaiknya Kita Hold Saham?"
Posting Komentar