iklan

Sepenggal Dongeng Sm-3T Di Papua: Menggapai Mimpi Di Ujung Negeri


Menggapai Mimpi di Ujung Negeri

Sebagai seorang sarjana pendidikan yang gres lulus Sepenggal Kisah SM-3T di Papua: Menggapai Mimpi di Ujung Negeri

Sebagai seorang sarjana pendidikan yang gres lulus, impian terbesar saya yaitu menjadi seorang pendidik, pastinya sebagai pendidik yang professional. Sebelumnya perkenalkan nama saya Slamet Riyadi, S.Pd dari Pulau Lombok, NTB. Saya di pertemukan dengan SM-3T dari internet. Banyak dongeng menarik dari SM-3T angkatan sebelumya, dongeng mereka sangat menyentuh melihat kondisi pendidikan di kawasan pedalaman. Terlebih selesai mengajar satu tahun di kawasan 3T, penerima diberikan beasiswa PPG (Pendidikan Profesi Guru) berasrama. Hal itu membuat saya semakin tertarik. Saya karenanya memutuskan untuk mendaftar. SM-3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) merupakan salah satu kegiatan MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia) di bawah Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (RISTEK DIKTI).
Saya resmi menjadi penerima SM-3T angkatan V di Unversitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Bali sehabis mengikuti semua proses seleksi. Namun sebelum berangkat ke kawasan tugas, kami mengikuti prakondisi selama dua ahad sebagai bekal di kawasan 3T. Yang paling kami nantikan dari prakondisi ini yaitu kawasan penempatan. Kami bertanya-tanya dimana kami akan ditempatkan, dipikiran saya tentu kawasan yang paling terpencil dengan saluran serba sulit. Diakhir prakondisi barulah diumumkan kawasan penempatan, kami sebanyak 24 0rang mendapat penempatan di kabupaten sorong provinsi papua barat. Sisanya sebnayak 30 orang mendapat penempatan di kabupaten Ende, NTT. Sore tanggal 19 Agustus 2016 kami berangkat dari Bandara Ngurah Rai Denpasar memakai pesawat Garuda, transit di Bandara Sultan Hasanudin, dan pagi subuh dilanjutkan penerbangan ke Bandara Domine Edward Osok Kota Sorong .
Kamis 20 Agustus 2016 yaitu hari pertama saya menginjakkan kaki di Tanah Papua. Bersama dengan utusan dari dinas pendidikan kami diantar menuju kabupaten Sorong untuk serah terima. Serah terima berlangsung di LPTQ kabupaten sorong sekaligus pembagian lokasi sekolah tempat tugas. Saya mendapat tempat penugasan di SMPN Satu Atap Klayili, Kampung Klayili, Distrik Klayili. Selesai kegiatan di LPTQ kami diantar lagi ke tempat yang menjadi sekretariat kami. Tanggal 24 Agustus menjelang magrib saya dan dua orang teman seperjuangan yaitu Nur wibowo, S.Pd (Universitas Pendidikan Ganesha) dan Erman Primadi, S.Pd (Universitas Negeri Padang) di jemput kepala sekolah untuk dibawa ke tempat tugas. Meskipun malam itu hujan, namun kami tetap melaju ke tempat pengabdian. Suasana mulai berubah saat meninggalkan kawasan yang ramai, kendaraan beroda empat terus melaju memasuki jalan tanah merah, membelah hutan sejauh ±30 km, menyerupai tidak ada gejala kehidupan disana. Sekitar jam 9 malam, kami hingga di kampung tujuan, kampung yang akan menjadi tempat dedikasi selama 1 tahun. Kedatangan kami disambut oleh RT setempat, dan beberapa warga sekiar. Kami diberikan satu rumah di tengah kampung untuk kami tempati selama 1 tahun.
Kampung Klayili merupakan sentra distrik (kecamatan) yang dikelilingi oleh hutan dan perbukitan, letaknya di lembah membuat kawasan ini tidak bisa mendapat sinyal operator seluler. Untuk bisa mendapat sinyal, kami harus naik bukit yang biasa disebut bukit sinyal. Penerangan di kawasan memakai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang bisa menerangi satu kampung. Namun sehabis 6 bulan berada di tempat itu PLTS rusak dan hingga kiprah berakhir tak kunjung diperbaiki. Akhirnya membuat satu kampung jadi gelaap.
Sekolah di kampung ini ada dua sekolah, yaitu SD Inpres 06 Kabupaten Sorong, dan Sekolah Menengah Pertama yang masih satu bangunan dengan SD yaitu SMPN Satu Atap Klayili. Kampung ini juga sudah mempunyai puskesmas, dan 1 gereja. Masyarakat di kampung ini hanya mengaharapkan air higienis dari dua kali besar yang mengapit kampung ini
Masyarakat di kampung ini merupakan penduduk orisinil Papua suku Moi. Suku Moi dikenal sebagai suku yang paling ramah dan lembut jiwanya di Papua. Mereka sangat mengedepankan tolong-menolong dan kekeluargaan terlebih lagi masyarakaat disini sangat taat menjalani agama, 100% masyarakat kampung ini beragama Katolik Protestan. Walaupun kami beragama Islam tapi masyarakat disini sangat menghormati kami yang menjadi guru, mereka sangat bersyukur ada guru yang mau bertugas di kawasan terpencil di tengah hutan. Kami selalu diantarkan sayur, begitu juga saat ekspresi dominan buah-buahan
Bersama 2 orang teman SM-3T kami mengajar di dua sekolah tersebut, saya mendapat kiprah untuk mengajar Sekolah Menengah Pertama mengampu mata pelajaran matematika dan PKN serta menjadi wali kelas VIII.  Sesekali mengajar di SD bila ada guru yang tidak hadir. Siswa Sekolah Menengah Pertama berjumlah 31 orang dengan rincian, kelas VII sebanyak 5 orang, kelas VIII sebanyak 9 orang dan kelas IX sebanyak 17 orang. Guru yang bertugas di Sekolah Menengah Pertama 3 orang PNS dan 3 orang GTT, ditambah 2 orang SM-3T jadi berjumlah 8 orang.  
Diawal kedatangan kami, kondisi siswa sangat memperhatinkan terutama pada kedisplinan, semangat mencar ilmu yang rendah, kerapian, dan kebersihan. Kepedulian wacana pendidikan di papua khususnya di Distrik Klayili biasa dikatakan rendah, sebab orang bau tanah masih mementingkan kehidupan mereka menyerupai lebih menentukan menyuruh siswa ke kebun daripada masuk sekolah. Beberapa guru juga terkadang jarang di tempat kiprah membuat siswa tiba dan berkelakuan semaunya tanpa ada kepedulian dari guru tetap disana. Untuk memperbaiki semua itu diharapkan kesabaran yang tinggi. Siswa Sekolah Menengah Pertama juga ada yang masih belum lancar membaca terlebih lagi berhitung.
Secara pelan-pelan kami memperbaiki kedisplinan siswa, siswa masuk sekolah jam 7.15 dan mulai mencar ilmu jam 7.30. Siswa juga diharuskan mandi setiap pagi, memakai seragam sesuai dengan ketentuan dan kerapian rambut. Setiap siswa yang melanggar dikenakan sanksi, dan panggilan orang bau tanah untuk anak yang jarang masuk sekolah. Memasuki semester II kedisplinan dan kerapian bawah umur sudah mulai nampak. Belajar di kelas juga di buat mencoba untuk terus membuat proses mencar ilmu yang menyenangkan. Namun yang susah dirubah yaitu guru yang malas. Kami guru SM-3T benar-benar harus mencurahkan tenaga dan pikiran, bagaimana merubah siswa-siswi kami.

Banyak kegiatan yang telah saya lakukan selama mengabdi di Distrik klayili ini, selain melakukan kiprah pokok mencar ilmu mengajar, saya juga membantu membuat dan melengkapi manajemen sekolah, membenahi perpustakaan, mengajar komputer kepada rekan-rekan guru, serta mengajar membatik kepada siswa dan guru. Di masyarakat kami terlibat dalam banyak sekali kegiatan menyerupai kegiatan adat, kerja bakti, pemeriksaan kesehatan bersama petugas setempat, kegiatan keagamaan, dan kegiatan kampung lainnya.




Sumber http://pustakariyadi.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sepenggal Dongeng Sm-3T Di Papua: Menggapai Mimpi Di Ujung Negeri"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel