iklan

Pendidikan Filsafat Untuk Anak, Penerapan Dan Refleksi Kritis Untuk Konreks Indonesia

PENDIDIKAN FILSAFAT UNTUK ANAK?

PENDASARAN, PENERAPAN DAN REFLEKSI KRITIS
UNTUK KONTEKS INDONESIA

Abstrak

Tulisan ini ingin memperlihatkan pentingnya pendidikan filsafat untuk anak di Indonesia. Filsafat disini dilihat sebagai pendidikan nilai sekaligus pendidikan hidup yang amat penting bagi perkembangan kepribadian manusia. Oleh lantaran itu, pendidikan filsafat harus diberikan semenjak usia dini, yakni usia sekolah dasar. Namun, pola mengajar filsafat berbeda dengan pola mengajar ilmuilmu lainnya. Ia mengajak orang berpikir sendiri dan menemukan tanggapan sendiri atas pertanyaan-pertanyaan hidupnya. Namun, filsafat untuk anak dilarang membebani proses berguru anak. Ia juga harus mempertimbangkan konteks kultur lokal yang sebelumnya telah ada di Indonesia.

Abstract

This article argues for the importance of philosophical education for elementary school's students in Indonesia. Philosophy can be understood as value education and also life education. Both are very important for the human's personality development. Therefore, ideally, this kind of education should be provided since childhood age. But, philosophy has different teaching method in compare to other sciences. It asks the children to think for themselves and try to find answers for their questions independently. It should not be a burden for children that already have loads of subjects to learn. The kegiatan philosophy for children should also bear in mind the existing cultural context that already exists in Indonesian society.

PENDAHULUAN

Mungkinkah filsafat diajarkan untuk anak pada tingkat sekolah dasar? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan nada positif. Pada belahan awal akan dijelaskan terlebih dahulu dasar teoritisari kegiatan filsafat untuk anak yang telah dijalankan di banyak sekali negara di Eropa dan Amerika Serikat. Kemudian dijelaskan juga argumen filsafat sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak. Untuk memperjelas argumen ini juga dipaparkan kegiatan filsafat untuk anakanak yang telah diterapkan di beberapa negara belahan di Jerman. Setelah itu dipaparkan beberapa kemungkinan penerapan untuk konteks Indonesia. Beberapa catatan kritis atas kegiatan filsafat untuk anak juga akan diberikan. Di belahan selesai goresan pena akan dirumuskan kesimpulan. Saya mengacu pada penelitian yang dibentuk oleh beberapa pakar, yaitu: pertama, Gregory, Professor di Montclair State University, Amerika Serikat, dan Direktur Department of Educational Foundations, sekaligus
Pimpinan Institut for the Advancement of Philosophy for Children. Kedua, Höffling, ialah Referent für Technologie und Zukunftsfragen, Akademie für Politik und Zeitgeschehen, Hanns-Seidel-Stiftung, München. Ketiga, Zeitler, seorang Peneliti dalam Projektteam Kinder Philosophieren di Jerman, dan, keempat, Brüning, pengajar Didaktik der Philosophie di Universität Hamburg; Jerman. Acuan ini dipakai sebagai pendasaran teoritis sekaligus pemaparan penerapan kegiatan filsafat untuk anak di Jerman.

PENDASARAN TEORITIS

Mengapa filsafat itu penting untuk anak-anak? Anak-anak, berdasarkan Maughn Gregory (Stiftung, 2007: 35-36), pada dasarnya, ialah filsuf alamiah. Artinya, mereka selalu menjadi seorang filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah terang bagi orang dewasa. Seringkali, bawah umur menanyakan pertanyaan yang mengandung unsur politis, metafisis bahkan etis. Jawaban atas pertanyaan tersebut membutuhkan pemahaman wacana sejarah, politik dan metafisika yang cukup dalam. Anak-anak sudah mempunyai semacam intuisi filosofis yang sudah ada secara alamiah di dalam dirinya. Berbagai penelitian, ibarat dikutip oleh Gregory, menyatakan, bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan semenjak usia dini sanggup meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berafiliasi dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah), sehingga ia bisa mendapatkan pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan keempat kemampuan ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dengan lancar. Di Jerman, kegiatan "anak-anak berfilsafat" (Kinder Philosophieren) sudah dimulai semenjak dekade 1960-an.

Metode yang dipakai bahwasanya cukup sederhana, yakni: pertama, perumusan pertanyaan yang dibentuk gotong royong dengan anak; kedua, berdiskusi bersama anak; ketiga, guna menjawab pertanyaan ini, melihat beberapa kemungkinan tanggapan yang bersifat terbuka dan, keempat, mencoba menggali pertanyaan lebih jauh dari tanggapan yang telah ada. Metode tersebut harus juga mempunyai roh. Ada dua roh yang ditawarkan di dalam filsafat untuk anak ini, yakni roh kesetaraan dan roh keterbukaan. Artinya, relasi antara guru dan murid di dalam kelas haruslah merupakan relasi kesetaraan. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Keduanya ialah partner untuk berpikir dan mencari tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Yang kedua ialah keterbukaan. Setiap pertanyaan ialah sah. Setiap tanggapan dilihat sebagai kemungkinan. Tidak ada yang mutlak. Semuanya ialah proses yang menuju pada hasil yang bisa dipertanyakan lagi kemudian. Roh kesetaraan dan keterbukaan akan membuat suasana menjadi tenang dan menyenangkan. Pikiran pun bisa berkembang di dalam obrolan dengan orang lain. Pola ini tidak hanya menyentuh belahan intelektual anak, tetapi juga perilaku hidupnya yang nantinya juga akan mengedepankan kesetaraan dan keterbukaan. Dua keutamaan ini amat penting untuk kehidupan.

Dimana tugas orang remaja di dalam proses ini? Orang remaja di sini, berdasarkan Gregory, berperan sebagai fasilitator sekaligus pengatur kemudian lintas dari pertanyaan dan diskusi. Orang ini harus mengasihi dunia pemikiran. Ia harus sadar, bahwa ia tidak tahu segalanya. Ia melihat dirinya sebagai pencari yang bekerja sama dengan anak-anak, guna menemukan sudut pandang gres atas pertanyaan-pertanyaan lama. Ia menjadi "contoh" dari bagaimana orang harus berfilsafat itu sendiri. Ia memberikan contoh, bagaimana mengajukan pertanyaan yang baik. Ia juga menjadi contoh, bagaimana mengajukan jawabanjawaban yang bersifat terbuka, yang merangsang pertanyaan berikutnya. Ia mengajarkan, bagaimana merumuskan sudut pandang gres atas masalah-masalah lama. Ia memberikan kritik dan saran, tanpa bersifat menjatuhkan atau menghina. Ia juga bisa menghubungkan banyak sekali aliran pandangan gres yang ada, sehingga diskusi tidak berujung pada kebingungan. Ia menantang jawaban-jawaban dangkal yang memberikan kepastian mutlak atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Ia sendiri juga bersikap kritis pada pendapat-pendapatnya sendiri.

Sang "fasilitator filosofis" ini juga bisa menggoyang pemahaman-pemahaman usang yang ada dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik kemapanan. Ia juga tidak menilai, apakah suatu pendapat salah atau benar. Ia hanya mempertanyakan segala pendapat yang muncul di dalam diskusi dengan anak. Ia melihat anak sebagai insan yang bermartabat, yang layak untuk didengarkan dan ditanggapi secara secama. Ia juga bisa menggali unsur-unsur filosofis dari pendapat yang muncul. Yang diharapkan adalah, supaya anak memahami pola berpikir filosofis yang dicontohkan, dan menyebabkan pola ini sebagai belahan dari diri mereka. Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa "fasilitator filosofis" ini haruslah sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai visi yang sama wacana kaitan antara filsafat dan pendidikan. Program "anak-anak berfilsafat" ini haruslah juga mempunyai struktur, contohnya dilakukan oleh satu tim yang sama seminggu sekali. Dibutuhkan kolaborasi antara pihak sekolah dan pihak yang memberikan kegiatan ini. Di Jerman, beberapa institut memberikan pembinaan resmi dengan sertifikat resmi untuk para fasilitator dari kegiatan ini, guna menjaga mutu dari proses yang ditawarkan.

Pengalaman di Jerman, sebagaimana dituturkan Gregory, menunjukkan, bahwa perjumpaan seminggu sekali dalam kegiatan filsafat untuk anak tidaklah cukup. Di beberapa sekolah, misalnya, ditawarkan kegiatan filsafat untuk anak yang dilakukan sehabis pulang
sekolah. Mereka menyebutnya sebagai "klub filsafat" (Philo-sophie-Clubs). Program ini banyak membantu bawah umur yang merasa tertinggal dalam pelajaran di kelas. Mereka bisa mengajukan pertanyaan dan menemukan sudut pandang berbeda melalui diskusi-diskusi yang dilaksanakan. Tentu saja, kegiatan semacam ini tidaklah cukup. Orang renta haruslah juga bisa merangsang pikiran anak melalui percakapan-percakapan bermutu setiap harinya. Melalui diskusi-diskusi filsafat yang bermutu, anak juga diajak untuk melampaui identitas sempitnya, dan mencoba melihat dunia dari sudut pandang orang-orang yang mempunyai latar belakang berbeda. Pemahaman antar budaya, antar agama dan antar kelas sosial juga bisa tercipta melalui kegiatan "anakanak berfilsafat" ini. Di dalam proses diskusi semacam ini, pemahaman agama juga dimurnikan melalui kecerdikan sehat dan tenggang rasa terhadap kelompok lain. Pola ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melampaui fundamentalisme dan fanatisme yang menjadi akar dari segala bentuk t3r0risme.

Di balik itu semua, kita bisa melihat, bahwa kegiatan ini ialah belahan dari pendidikan nilai-nilai (Wertebildung) untuk kehidupan. Dengan mengacu pada Stiftung (2007: 15-19), nilai bukan berarti nilai baik buruk seturut dengan agama atau tradisi tertentu, melainkan kemampuan untuk secara masuk kecerdikan dan bebas menentukan apa yang akan dilakukan pada sebuah keadaan tertentu yang bersifat partikular. Dalam konteks masyarakat demokratis, ibarat Indonesia dan Jerman, tidak ada satu nilai homogen. Yang ada bukanlah "Nilai" dengan N besar, melainkan "nilai-nilai". Kita hidup dalam masyarakat yang mempunyai bermacam-macam kultur dengan bermacam-macam pandangan hidup serta nilainilai di dalamnya. Keadaan ini mempunyai setidaknya dua sisi. Di satu sisi, orang menemukan jalan yang tenang untuk mencapai kebahagiaan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Di sisi lain, orang dengan praktis terjatuh ke dalam relativisme, dimana tidak ada lagi yang benar dan yang salah. Semua boleh dilakukan, asal sejalan dengan harapan dan kebutuhan pribadi. Di keadaan semacam ini, masyarakat sulit untuk menemukan ikatan sosial yang menjadi dasar untuk solidaritas dan kesejahteraan bersama.

Relativisme ialah penolakan ekstrem terhadap kekakuan aturan dan moral yang sudah ada sebelumnya. Namun, relativisme terang mempunyai masalahnya sendiri. Apapun yang ekstrem selalu melahirkan masalah. Oleh lantaran itu, apapun bentuknya, ekstremisme sedapat mungkin dihindari. Dalam konteks ini, relativisme yang lahir dari proses berfilsafat haruslah disadari dan kemudian dibatasi. Ketika ia dibatasi, yang muncul ialah paham pluralisme, bahwa ada banyak tolok ukur nilai yang bisa digunakan, namun nilai-nilai tersebut tetap berlaku dalam konteksnya masing-masing. Kata "konteks" menjadi sangat penting di sini. Pemahaman yang jeli wacana konteks yang ada melahirkan ketepatan dalam menilai dan bertindak. Ini amat penting di dalam masyarakat plural yang mempunyai tolok ukur nilai berbeda-beda. Dalam arti ini, berdasarkan Höffling, filsafat berperan sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak. Ia berdiri sekaligus menjembatani dua kutub. Kutub pertama ialah indoktrinasi dalam bentuk penanaman nilainilai agama dan tradisi yang dipaksakan, tanpa perilaku kritis. Kutub yang kedua ialah relativisme, dimana tidak ada tolok ukur nilai yang dipegang bersama, sehingga semuanya boleh dilakukan, termasuk hal-hal yang merugikan orang lain.

PENDIDIKAN NILAI

Sebagai belahan dari pendidikan nilai, berdasarkan Zeitler, banyak orang mewaspadai tugas filsafat untuk perkembangan pemikiran dan nilai-nilai hidup anak (Stiftung, 2007: 45-52). Filsafat memang dikenal sebagai pengetahuan yang abnormal dan kering, yang kerap kali tidak mempunyai relasi pribadi dengan kehidupan manusia. Sulit membayangkan, bahwa pemahaman semacam ini mempunyai tugas di dalam pendidikan nilai anak-anak. Bahkan, para professor filsafat di banyak sekali perguruan tinggi, baik di Jerman maupun AS (mungkin juga di Indonesia?), juga mempunyai pendapat serupa. Dasarnya argumennya adalah, bahwa bawah umur belum mempunyai kemampuan berpikir yang cukup untuk membuatkan pendapat dan membangun klarifikasi yang seringkali bersifat abstrak. Mereka juga dianggap belum bisa menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri, guna membuatkan perilaku kritis terhadap dirinya sendiri. Apakah pendapat ini bisa dibenarkan? Rheinhard Meiners (1997) dalam hal ini mencoba memberikan jembatan atas banyak sekali pandangan ekstrem wacana kaitan antara pola berpikir anak dan pola berpikir filosofis.

Zeitler berusaha menanggapi pendapat tersebut. Di dalam penelitian yang ia lakukan, ia menemukan, bahwa bawah umur mempunyai kemampuan untuk mengajukan pendapat dan berpikir kritis. Dua kemampuan ini amat penting di dalam proses berfilsafat. Mereka juga mempunyai rasa ingin tahu yang amat besar, yang amat berkhasiat untuk menggali pemahaman lebih dalam wacana suatu hal. Berpijak pada rasa ingin tahu itu, mereka kemudian bertanya, mengajukan kemungkinan jawaban, kemudian membongkar tanggapan tersebut dengan pertanyaan lebih jauh. Proses diskusi filsafat bisa mempertajam rasa ingin tahu tersebut dan meningkatkan kemampuan untuk menggali pemahaman melalui tanya jawab yang berlangsung secara terbuka. Hasilnya ialah keterbukaan pikiran dan kesadaran diri di dalam berhadapan dengan dunia yang semakin rumit. Dengan dua kemampuan ini, anak diajak untuk berguru berpikir dan mengambil keputusan sendiri dengan berpijak pada apa yang terjadi di dalam hidupnya. Ia tidak diperbudak oleh cara berpikir dogmatis atau relativisme. 

Program filsafat untuk anak-anak, dengan demikian, berdiri diatas dua tegangan, yakni ketidakpercayaan masyarakat luas pada kemampuan filsafat untuk membuatkan pemikiran anak-anak, dan penelitian-penelitian yang membuktikan, bahwa bawah umur sudah
mempunyai kemampuan yang mencukupi untuk berpikir filosofis. Zeitler berpendapat, bahwa filsafat tidak hanya bisa menjadi materi pendidikan anak, tetapi juga bisa menjadi prinsip dasar pendidikan yang gres untuk anak-anak. Dengan metode ini, anak diharapkan bisa membuatkan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran reflektif akan dirinya sendiri semenjak dini. Ia juga akan mempunyai keterbukaan berpikir di dalam melihat dunia, serta membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Semua kemampuan ini amat penting untuk bisa hidup dan berkembang di dalam masyarakat plural dan demokratis, ibarat di banyak negara kini ini, ibarat Indonesia. 

Di dalam masyarakat multikultur ibarat Indonesia, ada bermacam-macam informasi yang ia terima melalui banyak sekali media setiap harinya. Kondisi ini disebut Zeitler sebagai "masyarakat banjir informasi" (Informationsflutsgesellschaft). Berbagai tayangan media mengajarkan satu hal kepada banyak orang, bahwa di dalam hidup, ia perlu untuk terus membeli barang-barang yang baru, supaya bisa bahagia. Di dalam keadaan semacam ini, orang sulit untuk membuatkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif atas hidupnya. Ia terbenam untuk bekerja, supaya bisa membeli lebih banyak barang lagi, tanpa henti. Pada titik ini, yakni di dunia yang semakin plural dalam hal tata nilai serta serbuan konsumtivisme dari banyak sekali penjuru media yang mendangkalkan kemampuan berpikir orang, apa kiranya yang bisa disumbangkan filsafat, terutama untuk pengembangan cara berpikir anak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, berdasarkan Zeitler, kita perlu untuk menegaskan terlebih dahulu arti sesungguhnya dari filsafat. Pada titik ini, filsafat sanggup dipahami dengan dua cara. Yang pertama adalahmelihat filsafat sebagai cara pandang tertentu atas dunia. Ia menghasilkan teori untuk menjelaskan dan memahami dunia daerah kita tinggal. Yang kedua ialah melihat filsafat tidak sebagai teori untuk menjelaskan dunia, tetapi sebagai cara hidup, yakni cara hidup yang mengedepankan pemikiran kritis dan reflektif atas segala hal di dalam dunia. Walaupun mempunyai rumusan yang berbeda, keduanya mempunyai akar yang sama, yakni rasa kagum dan rasa ingin tahu atas segala yang ada di dunia. Dua hal itulah yang menjadi energi dari filsafat. "Berfilsafat," demikian tulis Zeitler (2007: 46), dimulai dengan definisi dasar yakni kemampuan insan untuk merasa kagum dan heran atas dunia dan segala pertanyaan terkait dengan makna, pendasaran dan lanjutannya.

Dengan kata lain, yang mendorong lahirnya filsafat tidak hanya rasa kagum dan ingin tahu semata, tetapi juga kemampuan untuk bernalar dan memberikan pendasaran atas apa yang dikatakan. Kemampuan untuk memberikan pendasaran inilah yang menjadi ciri khas filsafat,
yang membedakannya dengan agama dan mistik. Dari adonan antara rasa kagum, rasa ingin tahu dan kemampuan bernalar untuk memberikan pendasaran atas pemikiran ini, filsafat kemudian lahir, berkembang dan mendorong lahirnya bermacam-macam ilmu pengetahuan, ibarat kita kenal kini ini.

Yang sudah pasti, bawah umur mempunyai rasa kagum dan ingin tahu yang besar atas segala hal yang ada di dunia. Mereka mempunyai rasa heran yang besar, yang mendorong mereka untuk menyentuh segala hal yang ada di sekitar mereka. Dengan kata lain, talenta berfilsafat ialah talenta alamiah yang dimiliki setiap anak, tanpa kecuali. Secara alamiah, anak juga mempunyai kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan justru merupakan roh dari filsafat dan ilmu pengetahuan. Pertanyaan ialah energi pendorong penelitian dan refleksi filosofis. Dalam arti ini, proyek bawah umur berfilsafat (Kinder Philosophieren) juga sanggup dipahami sebagai perjuangan bersama untuk menjawab satu pertanyaan secara kritis, rasional dan reflektif. Tidak ada tanggapan niscaya yang sudah diberikan sebelumnya. Tidak ada tanggapan final yang tidak bisa lagi dipertanyakan. Semuanya pertanyaan harus masuk ke dalam diskusi yang kritis, reflektif dan rasional yang kemudian dibuka lagi untuk pertanyaan lainnya. Proyek filsafat untuk bawah umur haruslah dilihat sebagai usul dan kesempatan untuk berpikir bersama (zum gemeinsamen Nachdenken). Ia lahir dari rasa ingin tahu dan berakhir pada rasa ingin tahu yang lebih dalam. Orangtua dan institusisekolah maupun agama harus menunda semua tanggapan pasti, dan membiarkan anak masuk ke dalam proses berpikir bersama yang bersifat terbuka.

Sistem pendidikan di Indonesia kini ini masih berpijak pada nilai ujian. Di dalam sistem ini, tanggapan atas semua pertanyaan sudah dirumuskan sebelumnya. Anak hanya perlu menghafal dan mengulang tanggapan tersebut di dalam kertas ujian yang disediakan. Dari 

proses ini, kemampuan akademiknya diukur. Namun, sayangnya, proses semacam ini justru membunuh kreativitas berpikir anak. Pertanyaan-pertanyaan orisinil yang menarik dan merangsang kedalaman berpikir juga dibunuh. Akibatnya, kemampuan berpikir anak menjadi tumpul. Ia mengalami kesulitan untuk merumuskan pertanyaan, berpikir kritis, berpikir berdikari dan berpikir reflektif. Pendidikan di Indonesia pun disempitkan hanya pada semata pemberian pengetahuan. Anak dianggap kertas kosong yang kemudian diisi dengan banyak sekali macam informasi. Suasana semacam ini ditambah dengan keadaan banjir informasi yang dialami masyarakat kini ini, terutam dengan berkembangnya teknologi internet. Orang tak lagi bisa membedakan secara kritis dan rasional, informasi mana yang benar dan informasi yang merupakan gosip belaka. Padahal, tanpa kemampuan berpikir kritis, rasional dan reflektif, orang, terutama anak-anak, praktis sekali terbawa oleh hasutan bohong, dan kemudian dihasut. Kebohongan dan hasutan semacam ini kemudian bisa mendorong terjadinya ketegangan dan konflik di masyarakat. Pendidikan yang hanya semata berfokus pada nilai ujian juga akan membunuh rasa tanggung jawab moral yang lahir dari kebebasan pribadi manusia.

Yang ingin dicapai dengan proyek filsafat untuk anak, berdasarkan Zeitler, ialah pembentukan cara berpikir anak. Proyek ini tidak mengajarkan anak, apa yang harus dipikirkan, melainkan metode untuk berpikir, sehingga ia bisa hingga pada kesimpulan yang terbuka, kritis dan masuk akal. Peran orang remaja tentu sangat besar dalam hal ini. Tugas orang remaja ialah membuat suasana yang memungkinkan bawah umur untuk berfilsafat, guna membuatkan kemampuan dan kedalaman berpikirnya. Suasana ini harus diciptakan tidak hanya di sekolah, baik sekolah dasar maupun taman kanak-kanak, tetapi juga di dalam keluarga. Orang renta harus bekerja sama sepenuhnya dalam obrolan dengan guru di sekolah, maupun dengan orang-orang yang mempunyai otoritas untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Yang kedua, minat anak juga harus dipahami sepenuhnya. Seperti disinggung sebelumnya, proyek filsafat untuk anak tidak memberikan obyek untuk berpikir, melainkan metode untuk berpikir. Obyek berpikirnya, dengan demikian, bisa ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak yang suka musik akan praktis untuk diajak berpikir filosofis wacana musik, lantaran itu pribadi terkait dengan minatnya. Oleh lantaran itu, orangtua dan guru harus menyediakan waktu, kesabaran serta kesadaran untuk mendengar secara sungguh-sungguh minat dan talenta anak.

Proses menarik minat anak untuk berfilsafat amatlah penting. Hanya dengan adanya minat, filsafat bisa menjadi cara berpikir dan bahkan cara hidup anak nantinya. "Ketika anak", ia mempunyai perasaan, bahwa pertanyaan-pertanyaanya penting dan dianggap serius, maka budaya untuk berpikir bersama dan harapan untuk mengajukan pertayaan lebih jauh bisa dikembangkan (Zeitler, 2007: 47). Yang perlu diingat adalah, filsafat merupakan upaya bersama untuk mencari tanggapan atas banyak sekali pertanyaan yang ada di dalam hidup manusia. Peran orang renta dan guru tentu juga harus dipikirkan ulang. Dalam hal ini, ibarat dinyatakan oleh Zeitler, figur Sokrates sebagai bapak filsafat perlu diperhatikan. Sokrates bukanlah orang yang tahu segalanya. Ia mengajak orang berpikir dan mempertanyakan hal-hal yang mereka anggap sudah pasti. Ia melihat teman diskusinya sebagai orang yang setara, yang sama-sama mencari jawaban. Dalam hal proyek filsafat untuk anak, anak juga harus dilihat sebagai insan yang setara, yang sama-sama mencari tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Seringkali, anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang amat mendasar di dalam hidup. Misalnya, mengapa orang meninggal? Apakah ada hidup sehabis kematian? Mengapa kita harus bekerja? Mengapa kita dilahirkan, dan sebagainya. Pada umumnya, orang remaja sudah mempunyai jawaban-jawaban dangkal atas pertanyaan itu, contohnya mengacu pada tradisi atau agama tertentu. Namun, dalam konteks filsafat, jawaban-jawaban dangkal semacam itu haruslah dihindari. Didalam berfilsafat, tidak ada tanggapan baku yang tak bisa diganggu gugat. Yang perlu dilakukan ialah mencoba mengajukan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari banyak sekali sudut pandang. Hal ini haruslah dilakukan sebagai suatu proses yang berkelanjutan, dan dilarang jatuh pada perilaku dogmatis yang memberikan kepastian tanggapan untuk berpikir lebih jauh dan lebih dalam wacana segala pertanyaan-pertanyaan yang ia punya. Oleh lantaran itu, isi dari proses obrolan haruslah sesuatu yang akrab dengan kehidupan anakanak. Setiap obrolan dimulai dari pertanyaan, dan pertanyaan-pertanyaan ialah pintu masuk ke dalam dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Kecenderungan orang remaja di dalam pendidikan ialah memaksa anak untuk melaksanakan hal-hal yang tidak ada kaitan pribadi dengan hidup mereka. Proyek filsafat untuk anak-anak, dengan kata lain, harus dimulai dari pertanyaan anak yang pribadi terkait dengan dunia mereka. Ini ialah poin yang amat penting. Proses terlibat di dalam obrolan filosofis wacana suatu pertanyaan akan membawa anak pada praksis hidup filosofis. Dalam arti ini, filsafat tidak hanya sekedar menjadi teori untuk menjelaskan dunia, tetapi juga menjadi sebentuk jalan hidup.

Dialog filosofis juga berpijak pada beberapa keadaan, yakni adanya kesempatan yang besar untuk mengajukan pertanyaan, menjelaskan suatu ide, menjernihkan suatu pandangan gres melalui proses dialog, memberikan alasan atas suatu pendapat, dan mengajukan pertanyaan pada pendapat orang lain. Dua hal yang penting disini, yakni kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan orang lain, serta perilaku hormat satu sama lain di antara para penerima dialog. Inilah yang disebut Zeitler sebagai "budaya obrolan filosofis" (philosophische Gesprächkultur). Dengan proses ini, anak dan juga orang remaja yang terlibat di dalam obrolan akan terbiasa untuk memahami dan menanggapi konsep-konsep yang ada secara rasional dan analitis. Mereka juga akan terlatih berpikir dengan berpijak pada rasa hormat dan kemampuan untuk mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, dua dimensi pribadi disentuh di dalam obrolan semacam ini, yakni kemampuan intelektual dan kepekaan moral. Dengan dua hal ini, anak kemudian terlatih untuk membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya dengan berpijak pada daypikir dan moralitas. Secara alamiah, anak memang mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Ini ialah modal yang besar untuk berfilsafat. Namun, mereka juga terlebih dahulu berguru untuk secara sistematis, kritis dan reflektif membuatkan serta mengolah rasa ingin tahu mereka. Inilah salah satu tugas dari proyek filsafat untuk bawah umur (Müller dan Susanne Schubert, 2011: 6).

Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa tidak semua pertanyaan ialah pertanyaan filosofis yang bisa dibawa ke dalam obrolan filosofis. Ada pertanyaan yang bersifat faktual dengan tanggapan yang sudah jelas. Ada pertanyaan filosofis yang mengundang orang untuk
berpikir lebih jauh dengan jawaban-jawaban yang masih berupa kemungkinan. Pertanyaan filosofis selalu mengundang rasa ingin tahu, baik untuk anak-anak, maupun orang dewasa. Pertanyaan filosofis membutuhkan informasi sebagai dasar, tetapi kemudian bergerak di ranah pendapat. Di ranah pendapat, orang mengalami perbedaan sudut pandang. Namun, setiap sudut pandang harus mempunyai pendasaran yang masuk akal, yang bisa dimengerti oleh orang dari sudut pandang yang berbeda, walaupun mereka tidak selalu harus setuju. Prinsip terpenting disini adalah, bahwa setiap pertanyaan harus dihargai dan dianggap sebagai sesuatu yang serius. Ini ialah langkah pertama yang amat penting di dalam obrolan filosofis, terutama dengan anak-anak. Dari langkah ini, proses berfilsafat kemudian akan mengalir ke tempat-tempat yang tak terduga sebelumnya. Ia akan membuka kemungkinan-kemungkinan sudut pandang yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.

CONTOH DARI JERMAN

Proyek filsafat untuk bawah umur telah usang diterapkan di banyak sekali sekolah dasar di Jerman (Brüning, tt: 115-121). Di lima negara belahan Jerman, kegiatan ini ditawarkan bersamaan dengan pelajaran agama. Bagi mereka yang tidak mempunyai agama resmi, mereka bisa mengambil mata pelajaran susila sebagai ganti dari pelajaran agama. Anakanak yang mempunyai agama resmi juga bisa mengambil mata kuliah etika, dan tidak mengambil mata pelajaran agama. Ini sesuai dengan undang-undang dasar Jerman yang menegaskan kebebasan setiap orang untuk menentukan mengikuti pelajaran agama, atau tidak. Yang menjadi pementingan ialah pendidikan nilai. Agama pun dilihat di sini sebagai belahan dari pendidikan nilai. Beberapa negara belahan di Jerman lainnya melihat proyek filsafat untuk bawah umur sebagai belahan dari seni dan prinsip mengajar. Artinya, ia tidak hanya menjadi satu mata pelajaran tersendiri, melainkan dipakai sebagai metode mengajar juga untuk pelajaran-pelajaran lainnya. Proyek semacam ini ditawarkan dengan banyak sekali macam variasi di banyak sekali sekolah dasar di Jerman. Variasinya ditentukan oleh negara belahan masing-masing. Ini telah dilakukan semenjak dekade 1970-an sebagai belahan integral dari sistem pendidikan dasar di Jerman.

Di dalam pelajaran susila dan filsafat, anak diajak untuk memahami penerapan konsep keadilan, kebaikan, kejahatan, persahabatan dan hidup bersama (Friedrich, 2013: 27). Konsep-konsep tersebut dianalisis dalam konteks pekerjaan sehari-hari. Anak juga diajak berdiskusi terkait dengan problem lingkungan hidup (Kuenheim Stiftung, 2012). Dengan demikian, di sekolah-sekolah dasar di Jerman, mata kuliah susila dan filsafat menyentuh setidaknya dua dimensi. Dimensi pertama ialah persoalan-persoalan nilai di dalam hidup, ibarat kaitan antara keadilan dan perdamaian. Dimensi kedua ialah persoalanpersoalan epistemologis-antropologis, terkait dengan pengetahuan manusia, siapa itu manusia, dan problem jati diri manusia. Dua dimensi ini menjadi tema diskusi sehari-hari, dan kemudian diterapkan dalam banyak sekali konteks kehidupan. Materi bimbing semacam ini diresmikan dalam bentuk peraturan mengajar yang berlaku di masing-masing negara belahan di Jerman. Ada empat prinsip yang digunakan, yakni: 
  1. Merumuskan konsep secara jernih;
  2. Menyampaikan pendapat secara terang dan sistematik;
  3. Mengajukan pertanyaan secara terang dan sistematik; dan
  4. Mengajukan kemungkinan-kemungkinan jawaban. yang kreatif, kritis dan rasional. 
Pola semacam ini diambil pemerintah Jerman dari tradisi filsafat yang berkembang di masa Yunani Kuno. Salah satu tema utama dari model pelajaran semacam ini ialah soal kebahagiaan, atau hidup yang bahagia. Di dalam penerapan di kelas, anak diajak untuk menyadari, bahwa kebahagiaan mempunyai bermacam-macam arti. Tidak hanya itu, anak juga diajak untuk sadar, bahwa setiap konsep tidak akan pernah mempunyai arti yang abadi, melainkan selalu berubah menyesuaikan diri dan kebutuhan masyarakat. Jadi, di dalam model pelajaran semacam ini, anak diajak untuk menyadari, bahwa setiap pandangan gres mempunyai arti setidaknya dari dua sumber. Yang pertama ialah arti logis dan semantik dari kata yang digunakan. Yang kedua ialah arti dari konteks, bagaimana kata itu digunakan. Dua sumber ini harus sungguh diperhatikan, kalau orang hendak memahami atau memakai suatu konsep tertentu. Contoh yang sering dipakai di dalam penerapan kegiatan filsafat untuk di Jerman ialah konsep kebahagiaan. Arti logis dan semantik dari sebuah kata lahir dari sejarah kata itu. Maka, sedikit pengetahuan soal akar kata dan makna bahwasanya juga dibutuhkan di dalam melaksanakan diskusi filosofis. Namun, arti logis dan semantik sebuah kata tersebut juga harus dibandingkan dengan penggunaan kata tersebut di dalam hidup sehari-hari. Misalnya kata kebahagiaan yang seringkali mengacu ada keadaan batin yang terpuaskan, ketika orang menjalani hidup yang bermakna. Memahami arti sebuah konsep dalam konteks berarti memahami penggunaan konsep itu dalam irisan dengan penggunaan
konsep-konsep lainnya. Dalam arti ini, misalnya, kebahagiaan seringkali dipakai akrab dengan kata kepenuhan hidup. Maka, arti dari kata kebahagiaan juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konsep kepenuhan hidup. Ini ialah salah satu pola pola diskusi filosofis
yang banyak dilakukan di banyak sekali sekolah dasar di Jerman.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, pendasaran atas argumen ialah salah satu belahan terpenting di dalam filsafat. Setiap argumen harus sanggup dijelaskan secara rasional, sekaligus juga cukup terbukauntuk ditanggapi oleh orang lain. Tanpa penjelasan, sebuah  pernyataan tidak bisa disebut argumen, maka ia juga tidak bisa menjadi belahan di dalam diskusi filosofis. Di dalam proyek filsafat untuk anak diajarkan juga kemampuan untuk memberikan pendasaran pada setiap pernyataan yang diajukan. Dalam konteks ini, anak diajarkan untuk membedakan dua macam pendasaran. Pendasaran pertama ialah pendasaran empiris, yakni pendasaran yang berpijak pribadi pada pengalaman manusia. Misalnya, saya tidak mau makan makanan pedas, lantaran saya sedang sakit perut. Sakit perut ialah pengalaman manusia, dan ini menjadi dasar untuk suatu tindakan, yakni tidak
makan makanan pedas. Diskusi bisa dilanjutkan, misalnya, dengan menanyakan, sakit perut macam apa yang diderita, dan makanan pedas macam apa yang dimaksudkan. Pendasaran kedua ialah pendasaran abstrak, yakni mendasarkan suatu argumen dengan argumen lainnya yang terhubung secara logis. Misalnya, kejahatan itu lahir, ketika kebaikan tidak ada, lantaran kejahatan tidak mempunyai hakekat pada dirinya sendiri. Pendapat ini tentu harus dijelaskan dengan pendasaran tertentu yang rasional, kritis dan sistematik. Namun, pendapat ini juga tidak mutlak, melainkan selalu terbuka untuk pertanyaan dan ketidaksetujuan. Pendasaran yang bersifat abnormal harus mempunyai klarifikasi logis yang kokoh sebagai dasarnya.

Metode yang dipakai di dalam kegiatan ini ialah metode obrolan Sokratik. Sebagai orang yang dikenal sebagai bapak dari filsafat Barat, Sokrates tidak pernah meninggalkan satu karya tulis pun. Namun, Plato, muridnya, menyebabkan Sokrates sebagai tokoh utama di dalam buku-buku yang ditulisnya. Gaya berfilsafat Sokrates amatlah unik. Ia berjalan-jalan di pasar, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada orang-orang yang ada disana. Ia mengajak orang berpikir ulang wacana segala keyakinan yang mereka pegang di dalam hidup mereka. Ia tidak memberikan tanggapan langsung, melainkan mengajak orang untuk menemukan tanggapan mereka sendiri. Yang dilakukan Sokrates ialah merumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai pemandu untuk menemukan jawaban-jawaban baru. Dalam arti ini, Sokrates berperan sebagai seorang bidan yang membantu orang untuk melahirkan idenya sendiri. Pola semacam ini dikenal juga sebagai pola bidan, atau metode bidan. Tema-tema mendasar kehidupan, ibarat soal keadilan, kebahagiaan, Tuhan dan moralitas, juga menjadi belahan dari metode bidan ini. Pola semacam inilah yang diterapkan di dalam proyek filsafat untuk anak di banyak sekali sekolah dasar di Jerman. Biasanya, tema-tema tersebut akan dikaitkan dengan suatu dongeng yang kemudian akan membuat banyak pertanyaan dari bawah umur untuk didiskusikan.

Di dalam praktiknya di Jerman, metode Sokrates diterapkan dengan satu tujuan dasar, yakni mengajarkan anak untuk berpikir mandiri. "Ketika bawah umur di sekolah dasar berfilsafat," berdasarkan Brüning (tt:119), mereka harus membuatkan idenya sendiri wacana pertanyaan-pertanyaan filosofis. Ini dibantu dengan guru melalui pertanyaan, klarifikasi dan pendasaran dari argumen-argumen yang diberikan. Guru hanya menjadi semacam teman untuk mencari tanggapan bagi anak. Pada akhirnya, anak sendiri yang akan berpikir dan menemukan jawabannya sendiri. Yang juga perlu diperhatkan disini adalah, bahwa metode Sokrates tidak akan berujung pada satu tanggapan saja, melainkan beberapa tanggapan dari pertanyaan yang sama. Jawaban-jawaban itu pun bukan sesuatu yang pasti, melainkan selalu terbuka untuk pertanyaan dan kritik lebih jauh. Sebabnya adalah, bahwa setiap orang melihat dunia dengan beling mata yang berbeda-beda, dan akan menghasilkan
sudut pandang yang berbeda-beda pula. Anak pun kemudian diajarkan untuk terbiasa dengan perbedaan sudut pandang semacam ini. Pola semacam ini akan sangat berkhasiat bagi anak, supaya bisa bisa hidup dengan tenang di dalam masyarakat multikultur. Maka, di dalam metode Sokratik, anak berguru tidak hanya untuk berpikir dan beropini secara kritis, rasional, sistematis dan reflektif, tetapi juga berguru untuk hidup. Inilah pola mengajar di dalam kegiatan filsafat untuk anak di banyak sekali sekolah dasar di Jerman.

Program filsafat untuk anak di Jerman juga mendorong anak untuk berpikir kreatif. Semua bentuk pengetahuan dan informasi yang ada tidak dijadikan sebagai kepastian mutlak, melainkan sebagai sarana untuk menemukan cara-cara gres di dalam berpikir dan bertindak. Inilah yang disebut sebagai eksperimen berpikir (Gedankenexperiment). Yang menjadi tujuan disini bukanlah kepastian pendapat, melainkan kemungkinan-kemungkinan gres yang sebelumnya tak terpikirkan. Roh pencarian kemungkinan semacam inilah yang menjadi pemandu seluruh kegiatan filsafat untuk anak di Jerman ini. Di dalam proses ini,imajinasi lebih penting dari data dan fakta. Fantasi juga dilihat lebih bermakna daripada perilaku tunduk pada keadaan. Semuanya dibiarkan bebas mengalir, namun dipandu dengan perilaku kritis, reflektif, rasional dan sistematik yang menjadi ciri khas filsafat barat. Bahayanya adalah, beberapa anak yang lebih aktif akan mendominasi seluruh proses ini. Sementara, beberapa anak lainnya, yang mungkin lebih pemalu, dan tidak banyak memberikan tanggapan atas proses yang terjadi. Keadaan ini ditanggapi dengan memberikan kesempatan bagi semua anak secara bergiliran mengajukan pemikiran mereka. Setiap anak diminta untuk memberikan pandangan gres mereka dalam tiga kalimat, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak boleh ada pendapat yang diulang. Setiap pendapat ialah tanggapan atas pendapat sebelumnya. Di sini dilatih setidaknya dua hal, yakni kemampuan mendengarkan dan kemampuan menanggapi dengan berpijak pada pandangan orang lain, tanpa mengulang
hal yang sama.

Program filsafat untuk anak telah menjadi belahan integral dari sistem pendidikan dasar di beberapa negara belahan di Jerman. Program ini juga diterapkan di luar kegiatan resmi sekolah, ibarat di dalam pengembangan talenta dan persiapan untuk berguru di universitas.
Guru-guru untuk kegiatan ini juga dilatih untuk berpikir secara filosofis di banyak sekali universitas di Jerman. Salah satu pola rencana bimbing resmi kegiatan filsafat untuk anak ialah Rahmenplan Grundschule Philosophieren mit Kindern, Ministerium für Bildung, Wissenschaft und Kultur des Landes Mecklenburg-Vorpommern.

Di negara belahan Bavaria, kegiatan filsafat untuk anak dimasukkan ke dalam pelajaran Etika. Ia mencakup diskusi mengenai tema persahabatan, kebahagiaan, pekerjaan, karir, keluarga dan agama. Di negara belahan Mecklenburg-Vorpommern, kegiatan ini disebut sebagai "Berfilsafat bersama dengan Anak-anak" (Philosophieren mit Kindern). Yang menjadi tema utama ialah empat tema besar, yakni alam, proses belajar, identitas, dan media. Di negara belahan Rheinland-Pflaz, kegiatan ini berjulukan "Pendidikan Etika" (Ethikunterricht). Fokus utamanya ialah dinamika hidup bersama, persahabatan, kebahagiaan, kematian, kelu-arga dan identitas. Di negara belahan Sachsen, kegiatan ini menjadi belahan dari mata pelajaran etika. Fokus diskusinya ialah dinamika hidup bersama, keluarga, kematian, waktu, dan proses terbentuknya bumi. Di Sachsen-Anhalt, filsafat disebut sebagai "Pendidikan Etika" yang berfokus pada dinamika hidup bersama, agama-agama dunia, waktu, persahabatan dan kebahagiaan. Di negara belahan Thüringen, filsafat menjadi belahan dari susila yang mencakup diskusi mengenai dinamika hidup bersama, persahabatan, agama-agama dunia dan kebahagiaan (Brüning, tt.: 120-121).

UNTUK INDONESIA

Guna melihat kemungkinan penerapan kegiatan filsafat untuk anak di Indonesia, kita setidaknya harus memahami terlebih dahulu keadaan pendidikan Indonesia kini ini. Sejauh pengamatan saya, dunia pendidikan Indonesia ketika ini dijangkiti oleh dua bentuk dogmatisme. Dalam arti ini, dogmatisme ialah pandangan yang melihat satu nilai tertentu sebagai nilai mutlak yang tidak sanggup dipertanyakan lagi. Siapapun yang tidak mengikuti nilai ini pantas unutk menerima hukuman. Bentuk dogmatisme pertama ialah dogmatisme nilai akademik. Nilai akademik menjadi tolok ukur seluruh proses pendidikan. Anak yang menerima nilai buruk akan mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Ia juga akan dicap sebagai pemalas dan bodoh. Ini akan mempengaruhi kepercayaan diri sekaligus kesehatan mentalnya sebagai manusia.

Bentuk dogmatisme kedua ialah dogmatisme agama. Ajaranajaran agama tertentu diselipkan di dalam banyak sekali mata pelajaran sebagai kebenaran mutlak yang dilarang dipertanyakan. Segala bentuk pertanyaan dan perilaku kritis dianggap sebagai musuh agama, maka harus dihilangkan. Anak dipaksa untuk menghafal segala yang ada di buku dan yang diucapkan guru, kemudian diminta untuk memuntahkannya kembali di dalam ujian. Pikiran kritis dan kreatif pun tidak berkembang, namun justru mati di dalam proses pendidikan. Dogmatisme nilai akademik dan dogmatisme agama ini menyebar begitu luas sekaligus tertanam begitu dalam di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dogmatisme di tingkat cara berpikir dan korupsi di tingkat sistem poliheran, mereka praktis sekali terpengaruh oleh budaya t3r0risme yang memakai agama sebagai topengnya. Mereka juga miskin kreativitas. Akibatnya, mereka hanya menjadi konsumen pasif yang suka membeli barang, namun tak pernah ada pikiran untuk membuat sesuatu yang baru. Inilah yang disebut juga sebagai budaya konformis. Orang hanya mengikuti apa yang ada, tanpa pernah mempertanyakan apa yang ia dengar dan lihat secara kritis. Musuh dari budaya dogmatis dan konformis semacam ini ialah filsafat, yakni filsafat yang tidak terjebak menjadi pembenaran bagi ajaran-ajaran tertentu (Wattimena, 2014).

Program filsafat untuk anak hendak memperkenalkan filsafat pada bawah umur di tingkat sekolah dasar. Program ini telah diterapkan di banyak sekali negara Eropa. Saya berpendapat, bahwa kegiatan ini juga cocok diterapkan di Indonesia, terutama untuk memrangi segala bentuk dogmatisme dan konformitas yang kini menyebar begitu luas dan tertanam begitu dalam di dalam pola hidup orang Indonesia. Ada sembilan hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, kalau diterapkan sejalan dengan semangat revolusionernya, filsafat bisa mengajarkan orang keterampilan hidup yang amat penting, yakni kemampuan menganalisis dan menuntaskan kasus melalui proses berpikir yang rasional, kritis, reflektif dan sistematik. Pendek kata, filsafat bisa menjadi alat untuk memecahkan banyak sekali problem kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Orang perlu untuk berguru wacana hal ini semenjak ia kecil, sehingga ia terbiasa untuk memecahkan banyak sekali problem yang ia hadapi dengan tepat.

Kedua, filsafat juga menjadi alat untuk melaksanakan pendidikan nilai di Indonesia. Perlu ditekankan, bahwa nilai disini bukan berarti nilai agama atau tradisi tertentu. Filsafat dilarang hanya menjadi alat penyebaran aliran agama atau tradisi tertentu. Pendidikan nilai di dalam filsafat berarti berusaha melampaui nilai baik dan buruk yang ada di dalam agama ataupun tradisi. Melampaui disini berarti mengajukan pertanyaan dan penalaran kritis atas nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya. Dengan pertanyaan dan penalaran kritis, dogmatisme nilai, baik dalam bentuk dogmatisme nilai akademik maupun dogmatisme agama, bisa dilampaui. Ini ialah hal yang amat penting untuk Indonesia kini ini. Di sisi lain, pendidikan nilai di dalam filsafat juga bisa mencegah orang masuk ke dalam relativisme. Orang diajak untuk mempunyai prinsip hidup, tanpa menyebabkan prinsip hidup itu sebagai pegangan mutlak yang tak bisa dan tak boleh diubah. 

Ketiga, filsafat juga bisa menjadi sarana untuk membuatkan keterbukaan berpikir di Indonesia. Keterbukaan berpikir ialah suatu keutamaan yang tidak tiba dari teori ataupun khotbah-khotbah moral, melainkan dari kebiasaan. Kebiasaan hanya bisa terbentuk, kalau orang sering melakukannya. Filsafat bisa membentuk keterbukaan berpikir, kalau ia dilakukan secara rutin dan semenjak usia dini. Program filsafat untuk di Indonesia bisa mendorong terciptanya perilaku keterbukaan berpikir bagi bawah umur Indonesia. Keempat, di sisi lain, dengan keterbukaan berpikir serta perilaku yang tidak dogmatis, filsafat juga bisa melatih orang untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk kecerdikan dalam hidupnya. Sejak tingkat sekolah dasar, anak diajak untuk memberikan alasan dan pendasaran bagi pernyataan maupun tindakannya. Dengan latihan semacam ini, anak akan terbiasa untuk berpikir secara rasional terlebih dahulu, sebelum ia melaksanakan sesuatu. Pola semacam terang amat dibutuhkan di Indonesia. Lima, Indonesia ialah bangsa yang multikultur. Ada begitu banyak cara hidup yang berkembang di dalamnya. Ini merupakan fakta sejarah yang selalu melekat di dalam identitas bangsa Indonesia. Kemampuan untuk berpikir terbuka terang amat diperlukan, supaya hidup bersama bisa berjalan dengan baik. Filsafat sanggup mendorong proses pendidikan nilai-nilai kehidupan yang menunjang perdamaian di dalam masyarakat multikultur, ibarat Indonesia. Enam, perilaku kritis dan rasional yang menjadi ciri utama filsafat bisa menjadi alat penangkal dari berkembangnya budaya konsumtivisme. Konsumtivisme ialah paham yang menyatakan, bahwa tujuan utama dari semua tindakan
insan ialah meningkatkan kemampuannya untuk membeli ba-Reza A.A. Wattimena 183 rang-barang yang ada. Barang-barang tersebut tidak hanya menentukan status sosialnya di masyarakat, tetapi juga gambaran diri pribadinya sebagai manusia. Konsumtivisme terang merupakan pandangan yang salah, lantaran beliau menyingkirkan semua nilai-nilai lainnya yang penting bagi hidup manusia. Namun, sayangnya, pandangan ini telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Filsafat dengan daya kritis dan rasionalnya bisa menjadi tanggapan kritis atas gaya hidup konsumtif semacam ini. 

Tujuh, Indonesia ialah negara demokratis. Di dalam masyarakat demokratis, setiap keputusan dibangun di atas obrolan dan kesepakatan bersama. Filsafat mengajarkan orang untuk bisa berpikir, berdialog, beropini dan mencapai kesepakatan secara bersama. Program filsafat untuk anak membentuk kemampuan ini semenjak usia dini, sehingga bisa menjadi belahan dari kebiasaan hidup sehari-hari. Delapan, untuk membuat keputusan yang tepat, orang membutuhkan informasi yang tepat. Orang juga harus bisa menganalisis banyak sekali informasi tersebut secara kritis dan rasional. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat, Indonesia kini mengalami banjir informasi. Orang pun kesulitan membedakan antara informasi yang sempurna dan gosip ataupun fitnah. Filsafat bisa membantu orang untuk bersikap kritis terhadap segala informasi yang ada, supaya ia tidak terjebak pada gosip ataupun fitnah, ketika hendak membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Pendidikan filsafat untuk anak bisa membuatkan kemampuan berpikir kritis ini semenjak usia dini, sehingga anak tidak terjebak pada informasi yang salah. Ini terang amat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia kini ini. Informasi tanpa perilaku kritis dan rasional untuk mengolahnya justru akan membuat kesalahpahaman dan masalah-masalah lainnya bagi hidup manusia.

Sembilan, inti dari kegiatan filsafat untuk anak yang sudah diterapkan di banyak sekali negara Eropa ialah metode Sokrates. Inti dari metode ini ialah pertolongan kepada anak untuk berpikir berdikari dan menemukan jawabannya sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang ia miliki. Banyak sekali keutamaan yang muncul di dalam metode ini, mulai dari kreativitas berpikir hingga kemampuan untuk mendengarkan orang lain. Sistem pendidikan di Indonesia akan bisa berkembang pesat, kalau memakai metode Sokrates semacam ini. Filsafat, dalam arti ini, dilarang hanya menjadi satu mata pelajaran resmi, atau mata pelajaran embel-embel semata. Ia juga perlu menjadi paradigma pendidikan yang berubah menjadi di dalam banyak sekali mata pelajaran yang ada, dan juga di dalam relasi antara murid dan guru. Pendek kata, filsafat, dengan metode Sokratesnya, perlu menjadi roh dari sistem pendidikan di Indonesia, dengan dilihat kemungkinan memakai filsafat sebagai prinsip mengajar, dan tidak hanya sebagai satu mata pelajaran tertentu, sebagaimana kasus di Jerman (Auzinger‚ 2010 : 6). Program filsafat untuk anak tidak hanya merupakan satu model pendidikan, melainkan juga inti dari pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan di Indonesia akan berkembang pesat, kalau menerapkan kegiatan ini secara tepat.

BEBERAPA CATATAN

Ada empat catatan kritis yang bisa diberikan untuk kegiatan filsafat untuk anak. Yang pertama ialah ancaman dari birokratisasi filsafat. Filsafat, pada hakekatnya, ialah pemikiran bebas. Ia mengandalkan spontanitas dan keberanian untuk mengubah pandangan-pandangan usang yang kita pegang. Ketika filsafat dijadikan belahan dari sistem dan masuk ke dalam birokrasi, ada bahaya, bahwa filsafat akan kehilangan ciri spontan, kebebasan dan keberaniannya. Filsafat justru akan menjadi pelayan sistem dan pembenaran bagi kekuasaan yang ada. Sejarah sudah membuktikan, bahwa ancaman semacam ini amat mungkin terjadi. Ketika filsafat masuk ke dalam sistem pendidikan, ia hanya akan berubah menjadi mata pelajaran belaka yang harus dihafal dan diuji, serta kehilangan daya kritisnya. Sistem dan birokrasi bisa melenyapkan roh kritis dan semangat perubahan yang sudah selalu tertanam di dalam filsafat itu sendiri. 

Yang kedua ialah pengandaian yang terlalu tinggi wacana seorang guru dari kegiatan filsafat untuk anak. Seperti dijelaskan sebelumnya, kegiatan ini membutuhkan pengajar yang khusus. Ia tida hanya memberikan pengetahuan kepada anak, tetapi juga bisa membantu anak untuk berpikir dan menemukan jawabannya sendiri. Bera pa banyak guru yang bisa melaksanakan ini? Inti dari filsafat untuk anak ialah menjalankan metode Sokrates di dalam obrolan filosofis dengan anak. Adakah guru yang bisa menjalankan metode Sokrates tersebut secara tepat? Jika kegiatan filsafat untuk anak dijalankan, namun mentalitas gurunya masih tradisional, yakni hanya memberikan pengetahuan dan bersikap otoriter, maka seluruh kegiatan ini akan menjadi tidak berguna. Ia hanya akan menjadi mata pelajaran biasa yang membebani anak dengan hal-hal yang tak berguna, namun harus dihafal, sekedar untuk lulus ujian. 

Yang ketiga ialah pertimbangan mengenai jumlah mata pelajaran yang diberikan kepada anak pada tingkat sekolah dasar. Seperti kita semua tahu, jumlah mata pelajaran yang diberikan pada tingkat ini sudah sangat banyak. Begitu banyak hal harus dipelajari, kemudian diuji, guna mendapatkan nilai akademik. Apakah bijaksana, kalau filsafat diberikan sebagai mata pelajaran berdikari untuk anak, terutama mengingat begitu banyaknya hal yang sudah harus dipelajari? Bukankah ini akan membuat anak kelelahan, dan jadinya tidak lagi bisa untuk menikmati proses belajar? Bukankah ini akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya? Dan bukankah materi yang terlalu banyak justru membuat orang tidak berguru apapun? Oleh lantaran itu, penerapan kegiatan filsafat untuk anak harus memperhatikan setidaknya dua prinsip, yakni sederhana dan menyenangkan. Jika kegiatan filsafat untuk anak ini sederhana dan menyenangkan, maka ia akan bisa mewujudkan tujuannya menjadi kenyataan. Ia tidak akan menjadi beban untuk anak ataupun para guru yang menjalankannya. 

Yang keempat ialah problem kultur. Dalam arti ini, kultur dipahami sebagai cara hidup yang bersifat unik pada satu ruang dan waktu tertentu. Filsafat mengandaikan kebebasan, perilaku kritis dan kreativitas di dalam berpikir, mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban. Dasar dari semua perilaku ini ialah keberanian untuk menantang pandangan-pandangan usang yang mungkin telah ratusan tahun mengakar di dalam suatu masyarakat. Pertanyaannya di titik ini adalah, apakah kultur Indonesia cocok dengan pola berpikir filsafat? Jawaban ya dan tidak dalam konteks ini tampak menyederhanakan masalah. Di satu sisi, kultur harmoni yang kental berkembang di Asia berdiskusi untuk menemukan tanggapan atas suatu kasus sudah selalu merupakan belahan dari cara hidup orang Indonesia. Pola semacam ini ialah daerah yang subur untuk pemikiran-pemikiran filosofis yang kritis. Tegangan antara kultur setempat dengan pola berpikir filosofis yang berkembang di Eropa dan Amerika ini perlu untuk terus ditanggapi secara kritis.

SIMPULAN

Pendidikan di Indonesia terang perlu untuk dikembangkan terusmenerus. Program filsafat untuk anak ialah salah satu perjuangan yang perlu dilakukan, guna mewujudkan tujuan tersebut. Program ini amatlah penting, lantaran filsafat tidak hanya memberikan pengetahuan baru, tetapi juga mengajak orang untuk berpikir wacana hidupnya secara lebih mendalam. Pendek kata, filsafat ialah belahan penting dari pendidikan hidup (Lebensbildung) setiap orang. Dengan kemampuan bernalar kritis serta reflektif, filsafat membentuk cara berpikir, dan mengajarkanorang untuk membuat keputusan dengan berpijak pada pertimbangan-pertimbangan yang tepat. Hal ini tentu amat dibutuhkan oleh setiap orang. Namun, kemampuan ini tidak tiba begitu saja, melainkan harus dilatih secara berulang-ulang di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh alasannya ialah itu, idealnya, kemampuan ini harus dilatih secara usia dini. Disinilah arti terpenting dari kegiatan filsafat untuk anak untuk konteks Indonesia. Peran guru, orang tua, pemerintah dan masyarakat luas juga amatlah besar, yakni sebagai "fasilitator filosofis", guna membantu anak berpikir secara berdikari dan kritis. Pada tingkat yang lebih luas, kegiatan filsafat untuk anak juga bisa berperan amat besar untuk meningkatkan mutu sumber daya insan di Indonesia. Ini amatlah penting untuk menunjang kemajuan bangsa. Namun, kegiatan filsafat untuk dilarang jatuh pada birokratisasi yang justru membunuh roh kritis dari filsafat itu sendiri. Ia juga harus memberikan ruang yang memadai untuk berdialog dengan kultur setempat yang sebelumnya sudah ada di Indonesia. 

DAFTAR PUSTAKA

Auzinger‚ Karin. 2010, Philosophieren mit Kindern' als Unterrichtsprinzip, Möglichkeiten der Umsetzung als integrative Begabungsförderung für Kinder im Grundschulalter, Donau-Universität Krems, Krems.

Brüning, Barbara,tt, “Philosophieren mit Kindern im Ethikunterricht der Grundschule”, Philosophie-eine Schule der Freiheit Philosophieren mit Kindern Weltweit und in Deutschland, Deutsche UNESCO-Kommission, hal. 115-121.

Eberhard von Kuenheim Stiftung. 2012, Akademie Kinder philosophieren (Hrsg.), Wie wollen wir leben? Kinder philosophieren über Nachhaltigkeit, Oekom verlag, München.

Friedrich, Gerhard, et. al., 2013, Mit Kindern philosophieren, Beltz Verlag, Weinheim Basel

Gregory, Maughn. 2007, “Was ist Philosophie für Kinder?”, dalam Kinder Philosophieren, Hans Seidel Stiftung, hal. 35-36.

Höffling, Siegfried. 2007, “Zur Einführung”, dalam Kinder Philosophieren, Hans Seidel Stiftung, hal. 15-19.

Müller, Hans-Joachim dan Susanne Schubert. 2011, Mit den Kleinen Großes denken Mit Kindern über Nachhaltigkeitsfragen philosophieren-Ein Handbuch, Schriftenreihe der Arbeitsgemeinschaft Natur- und Umweltbildung Bundesverband e. V. Band 21, Rahmenplan Grundschule Philosophieren mit Kindern, Ministerium für Bildung, Wissenschaft und Kultur des Landes Mecklenburg-Vorpommern.

Wattimena, Reza A.A. 2014, Filsafat sebagai Revolusi Hidup, Kanisius, Yogyakarta.

Zeitler, Katharina. 2007, "Kinder philosophieren"-ein integratives Modell zur Sinnorientierung und Wertebildung”, Kinder Philosophieren, Hans Seidel Stiftung, hal. 45-52. Meiners, Rheinhard. 1995, “Philosophieren mit Kindern”, dalam Widerspruch Nr. 27 Philosophie und Alltag , S. 36-47. 

Sumber http://pendidikansrg.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pendidikan Filsafat Untuk Anak, Penerapan Dan Refleksi Kritis Untuk Konreks Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel