Tiga Pilar Sejahtera Food
Dalam beberapa waktu terakhir ini ada banyak saham second liner yang turun signifikan seiring dengan terjadinya koreksi pasar (soal koreksi pasar ini, baca lagi penjelasannya disini), namun mungkin tidak ada saham lain yang turun sedalam Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA). Yup, enam bulan kemudian AISA masih berada di level 1,700-an, sebelum kemudian drop ke level 1,000-an pada Juli 2017 sehabis perusahaan tersangkut kasus aturan terkait anak usahanya, PT Indo Beras Unggul. However, tak hanya kasus hukumnya tersebut hingga kini masih simpang siur, AISA kembali dihantam isu-isu miring mulai dari planning divestasi unit perjuangan berasnya hingga isu default (gagal bayar utang), dan alhasil sahamnya kembali terjun bebas hingga sempat menyentuh level 378, sebelum kemudian membal ke level 480 – 500.
Namun disisi lain, sehabis kehilangan sekitar dua pertiga nilai pasarnya, saham AISA kini (pada harga 480) hanya mencerminkan PBV 0.4 dan PER 6.7 kali, absolutely undervalue apalagi bila dibanding saham-saham consumer goods yang lain. Kaprikornus ini peluang apa bukan? Kemudian bagaimana dengan isu-isu miringnya tadi??
Secara laporan keuangan, kinerja AISA di tahun 2017 ini kurang manis dimana hingga Kuartal III, keuntungan higienis perusahaan drop menjadi Rp173 milyar, dibanding Rp345 milyar di periode yang sama tahun 2016. Namun antara tahun 2011 hingga 2016, keuntungan AISA secara konsisten bertumbuh dari Rp123 menjadi 593 milyar. Yup, jadi perusahaan ini sejatinya punya track record kinerja yang bagus, dan kita sanggup berharap bahwa kedepannya keuntungan AISA bakal naik lagi. Berdasarkan pengalaman ketika kita membeli saham-saham batubara pada valuasi rendah ketika harga batubara masih belum naik di tahun 2016, atau ketika kita masuk ke saham-saham perbankan di tahun 2015 ketika sektor ini sedang dilanda isu kredit macet seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi ketika itu, dan memang keduanya menghasilkan profit signifikan sehabis 1 – 2 tahun selaras dengan membaiknya kinerja masing-masing perusahaan, maka value opportunity berikutnya mungkin terletak di AISA ini.
However, dengan banyak sekali problem yang menimpa perusahaan kini ini, maka bisakah AISA kembali membukukan kinerja positif di masa yang akan datang? Atau jangan-jangan asal gak gulung tikar saja sudah bagus?? Untuk itu mari kita telaah lagi perusahaan semenjak awal.
Bisnis Asli AISA: Bihun dan Makanan Ringan
AISA, menyerupai yang kita ketahui, merupakan produsen mie kering, bihun, kuliner dan minuman ringan termasuk biskuit dan permen, dan biro beras. Perusahaan ialah pemilik dari merk-merk populer menyerupai snack Taro, Beras Maknyuss, dan minuman Capri-Sun. Dalam beberapa tahun terakhir perusahaan secara rutin terus meluncurkan produk-produk dan brand baru, terakhir mereka meluncurkan ‘Mi Goreng Superior’, ‘Bihun Jagung cap Tanam Jagung’, termasuk membangun pabrik untuk memproduksi minuman Capri-Sun. Jika dibandingkan dengan perusahaan consumer goods lainnya di Indonesia, maka administrasi AISA terbilang sangat bergairah dalam berinovasi/menciptakan banyak produk-produk gres sekaligus ekspansi/melakukan pengembangan usaha, namun terkadang mereka malah jadi tersandung karenanya. Contoh, beberapa tahun kemudian AISA berekspansi dengan mengakuisisi perusahaan perkebunan kelapa sawit, Golden Plantation (GOLL), dalam rangka untuk mempunyai supply CPO-nya sendiri untuk bisnis makanannya (karena untuk bikin mie goreng dll, itu diharapkan minyak goreng dalam jumlah besar). Namun alasannya ialah timing-nya salah, dimana AISA mengakuisisi GOLL justru ketika harga jual CPO sedang turun, maka perusahaan kemudian menderita rugi besar hingga akhirnya, sekitar dua tahun lalu, AISA terpaksa menjual GOLL untuk kembali fokus ke bisnis kuliner dan beras.
Dan untuk kini ini, AISA tampaknya harus kembali mendivestasi salah satu lini usahanya, yakni divisi perdagangan beras. Actually, menurut sejarahnya semenjak tahun 1959, AISA awalnya hanya merupakan produsen bihun jagung brand 'Cap Cangak Ular' dan mie kering dengan brand ‘Ayam 2 Telor’. AISA gres berekspansi dengan masuk ke bisnis beras dan lainnya semenjak tahun 2009, yakni ketika tampuk pimpinan perusahaan dipegang oleh Stefanus Joko Mogoginta, yang merupakan generasi ketiga/cucu dari pendiri perusahaan, mendiang Tan Pia Sioe. Dan meski banyak sekali perluasan tersebut sukses mendorong ekuitas perusahaan untuk tumbuh dari Rp1.8 trilyun di tahun 2011 menjadi Rp4.1 trilyun per Kuartal III 2017, namun progress-nya tidak terlalu mulus. Yup, selain merugi dari perjuangan perkebunan kelapa sawitnya, bisnis beras yang diakuisisi semenjak tahun 2010 juga tidak menghasilkan profit sebesar yang diharapkan/margin labanya jauh lebih rendah dibanding bisnis kuliner ringan. Pada Kuartal III 2017, dari pendapatan perjuangan beras sebesar Rp2.3 trilyun (atau Rp3 trilyun kalau disetahunkan), laba bersihnya hanya Rp10 milyar saja. Bandingkan dengan pendapatan dari perjuangan kudapan di periode yang sama, yang sedikit lebih kecil yakni hanya Rp1.8 trilyun, tapi keuntungan bersihnya mencapai Rp175 milyar.
Informasi kinerja AISA per segmen usaha. Klik gambar untuk memperbesar |
Mungkin alasannya ialah itulah, selain alasannya ialah bisnis beras ternyata ribet alasannya ialah beras merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia (sehingga harga jualnya diatur oleh Pemerintah, penulis sudah menyebut soal ini di artikel ihwal AISA, tahun 2012 lalu), dan puncaknya ialah ketika perusahaan beberapa waktu kemudian terlibat kasus aturan terkait perjuangan berasnya, maka administrasi AISA karenanya give up dan memutuskan untuk keluar sama sekali dari perjuangan perdagangan beras.
Nah, menurut sense bahwa bisnis beras tidaklah menguntungkan serta rumit, dan alasannya ialah bisnis orisinil perusahaan sejatinya ialah di bihun, mie, dan kuliner ringan, maka keputusan untuk divestasi perjuangan beras ini merupakan keputusan yang paling tepat. However, alasannya ialah investor selama ini taunya sebagian besar pendapatan perusahaan berasal dari bisnis beras (itu memang benar, tapi menyerupai yang disebut diatas, keuntungan higienis AISA dari perjuangan berasnya justru sangat kecil), belum lagi ditambah isu penurunan rating utang obligasinya serta isu bahwa perusahaan default/gagal bayar utang, dan kasus aturan perusahaan kemarin juga masih belum kelar, maka jadilah sahamnya anjlok gila-gilaan. Karena tidak hanya investor khawatir bahwa AISA bakal kehilangan secara umum dikuasai pendapatannya, kini mereka juga khawatir bahwa perusahaan bakal bangkrut. Sebenarnya kalau hanya alasannya ialah penurunan kinerjanya saja, maka AISA di harga 1,000-an (PBV sekitar 0.7 – 0.8 kali) itu sudah sangat murah, terutama mengingat statusnya sebagai perusahaan consumer goods dengan track record kinerja yang bagus, dan kinerja perusahaan di tahun 2017 juga sebetulnya tidak sejelek itu/nggak hingga merugi. Namun ditambah dengan banyak sekali ‘problem’ diatas, maka jadilah sahamnya turun hingga sekarang.
Kondisi Perusahaan Saat Ini
Dan kalau anda berusaha menganalisa AISA ini hanya dari berita-berita serta rumor simpang siur yang beredar, maka anda justru hanya akan galau sendiri. Jadi, okay, penulis akan sampaikan kronologis aslinya. Pertama, pada 2 November 2017, AISA menggelar RUPS untuk meminta persetujuan pemegang saham untuk menjual/mendivestasi beberapa anak perjuangan perusahaan di bidang perdagangan beras. Seperti juga ketika perusahaan menjual GOLL, dua tahun lalu, AISA berencana untuk menjual unit perjuangan berasnya ke PT JOM Prawarsa Indonesia yang merupakan pihak berelasi (kemungkinan juga dimiliki oleh Mr. Joko Mogoginta, tapi berbeda/diluar AISA). Untuk harga jualnya belum ditentukan, namun yang niscaya nilai transaksinya relatif kecil yakni tidak akan mencapai 20% dari total nilai aset perusahaan yang sebesar Rp9.7 trilyun (meski tetap mencapai 20% dari nilai ekuitas perusahaan, sehingga aksi korporasi ini memerlukan persetujuan RUPS). Yup, alasannya ialah untuk perjuangan berasnya, aset-aset AISA hanyalah berupa gudang, persediaan beras itu sendiri, serta jaringan distribusi. AISA tidak mempunyai sawah ataupun aset tetap lainnya, alasannya ialah semenjak awal mereka hanya jualan beras yang dibeli dari petani, bukan memproduksi beras itu sendiri.
Kaprikornus sekali lagi, yup, pendapatan AISA memang akan berkurang drastis (sekitar Rp3 trilyun) sehabis divestasi perjuangan berasnya, tapi tidak demikian dengan keuntungan bersihnya. Malah dengan kembali fokusnya perusahaan di perjuangan bihun dan kuliner ringan, keuntungan higienis AISA dari snack Taro dll harusnya sanggup naik lagi. Kemudian total aset AISA juga akan berkurang, tapi sekali lagi berkurangnya tidak akan terlalu besar, alasannya ialah secara umum dikuasai aset AISA (pabrik bihun dll) itu merupakan aset di perjuangan industri makanan, bukan beras. Selain itu jangan lupa bahwa AISA tidak akan kehilangan perjuangan berasnya begitu saja, melainkan akan mendapatkan hasil penjualan yang sanggup kembali diinvestasikan ke bidang perjuangan yang lain.
Kedua, pada tahun 2013, AISA menerbitkan obligasi dan sukuk, masing-masing senilai Rp600 dan 300 milyar, dan pada tahun 2016 perusahaan kembali menerbitkan sukuk senilai Rp1.2 trilyun. Thus, perusahaan mempunyai tiga utang obligasi senilai total Rp2.1 trilyun. Yang perlu dicatat disini, kesemua obligasi tersebut dijamin dengan aset tetap dari beberapa anak perjuangan termasuk PT Sukses Abadi Karya Inti, dan PT Jatisari Srirejeki, dimana keduanya merupakan perusahaan perdagangan beras. Karena dua anak perjuangan tersebut termasuk yang akan didivestasikan (sehingga tidak sanggup lagi dijadikan jaminan obligasinya), maka selain menggelar RUPS, AISA juga harus menggelar RUPO (rapat umum pemegang obligasi) untuk meminta persetujuan dari para pemegang obligasinya, untuk mengganti jaminan obligasinya dari aset tetap milik dua anak perjuangan diatas, dengan aset AISA yang lain.
Namun menyerupai yang kita ketahui, ternyata para pemegang obligasi menolak usulan tersebut, alhasil administrasi AISA kini harus putar otak lagi, alasannya ialah mereka tetap berencana untuk menjual perjuangan berasnya. Ketiga, dampak dari hasil RUPO-nya tersebut, Pefindo sebagai forum pemeringkat kemudian segera merilis update rating untuk tiga obligasi/sukuk AISA, dimana pada dasarnya rating obligasi tersebut turun dari A menjadi BBB, dengan catatan ‘credit watch with negative implication’ (‘negative implication’ ini kemungkinan terkait keputusan administrasi AISA yang tetap berencana mendivestasi perjuangan berasnya meski mendapatkan penolakan dari pemegang obligasi).
Dari update rating Pefindo inilah kemudian muncul rumor bahwa AISA mengalami gagal bayar utang obligasinya diatas, alias default. Padahal yang benar adalah, 1. AISA hingga kini masih lancar membayar cicilan utang obligasinya, baik itu pokok hutang maupun bunganya, tanpa pernah terlambat sekalipun 2. Total obligasinya yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun ialah sekitar Rp900 milyar, dan AISA masih mempunyai aset lancar senilai total Rp5.8 trilyun, atau jauh lebih besar, sehingga secara neraca keuangan, AISA masih jauh dari kemungkinan default ataupun restrukturisasi utang. Yang jadi persoalan adalah, sekali lagi, administrasi AISA mengatakan kepada para pemegang obligasi untuk mengganti jaminan/collateral obligasinya dari aset pabrik beras dengan aset lainnya, tapi para pemegang obligasi tersebut menolak ajuan tersebut.
Tapi alasannya ialah inti masalahnya hanya sebatas penggantian collateral (jadi bukan restrukturisasi utang yang harus melalui proses yang rumit dan panjang menyerupai restrukturisasi utang Bumi Resources, beberapa waktu lalu), termasuk nilai utang obligasinya juga tidak sebesar itu/masih ter-cover oleh aset maupun ekuitas higienis perusahaan, maka penulis percaya bahwa nanti juga pihak administrasi akan mencapai titik temu dengan para pemegang obligasinya, dan planning divestasi perjuangan berasnya sanggup tetap dilaksanakan.
Okay, kemudian bagaimana dengan prospek perusahaan kedepannya sehabis nanti semua gonjang ganjing divestasi beras bla bla bla ini selesai? Well, tarohlah kita anggap perusahaan bakal kehilangan perjuangan berasnya begitu saja/tidak mendapatkan uang cash dari hasil penjualannya (karena waktu AISA menjual GOLL senilai Rp521 milyar, perusahaan juga tidak pribadi mendapatkan uangnya/sampai kini hasil penjualan tersebut masih dicatat sebagai piutang), maka aset perusahaan akan berkurang, tapi berkurangnya gak banyak/tidak akan hingga 20% dari total aset perusahaan. Kemudian pendapatan AISA juga akan turun lebih dari separuhnya (karena secara umum dikuasai pendapatan perusahaan berasal dari penjualan beras), tapi tidak demikian dengan keuntungan bersihnya, yang hanya turun sedikit. Malahan bila kedepannya administrasi sanggup fokus hanya pada perjuangan bihun, mie, dan kuliner ringan, maka keuntungan AISA sanggup kembali naik tinggi menyerupai di tahun-tahun yang lalu. Ketika AISA menjual GOLL, juga ada kekhawatiran bahwa kinerja perusahaan akan turun alasannya ialah kehilangan salah satu sumber pendapatannya, tapi justru keuntungan AISA pada tahun 2016 kembali naik pesat, dan sahamnya pun ketika itu naik lagi dari 1,000-an hingga sempat tembus 2,000 kembali. Soal utang perusahaan juga tidak perlu dikhawatirkan, alasannya ialah sekali lagi, jumlah utang AISA sama sekali tidak sebesar itu/total DER-nya hanya 1.3 kali, dengan jumlah utang jangka pendek yang secara signifikan lebih kecil dibanding aset lancar perusahaan (Rp3.6 berbanding Rp5.8 trilyun).
Lalu bagaimana dengan sahamnya?
Penulis sebetulnya sudah tertarik dengan AISA ini ketika beberapa waktu kemudian sahamnya drop hingga 900 – 1,000, yakni ketika mencuat kasus aturan terkait pabrik berasnya, dimana PBV-nya pada harga tersebut sudah dibawah satu kali. However, dengan mempertimbangkan cara kerja administrasi perusahaan yang grasa grusu dalam berekspansi, pernah cut loss dari kegagalan investasinya di GOLL dua tahun lalu, termasuk kasus hukumnya sendiri kelihatannya cukup serius, maka penulis putuskan untuk wait n see saja dulu.
Dan ketika kemudian sahamnya lanjut turun hingga dibawah 500, dimana PBV-nya tinggal 0.4 kali, maka barulah penulis melihat AISA ini dengan cara yang berbeda: Yep, kinerja AISA tahun ini memang lagi turun, dan mendasar perusahaan secara umum memang tidak sebagus perusahaan consumer goods lainnya menyerupai Sido Muncul (SIDO), Nippon Indosari Corpindo (ROTI), atau Kalbe Farma (KLBF), tapi disisi lain beliau nggak sejelek itu juga, dimana AISA punya track record kinerja yang bagus, dan perusahaan merupakan pemegang dari merk-merk kuliner yang cukup terkemuka (Ayam 2 Telor, Snack Taro, dst), dimana merk-merk ini juga ada nilainya (penjelasan soal ‘nilai merk’ sanggup dibaca disini). Dan meski AISA kini ini memang lagi ‘problem’, tapi sehabis kita telaah lagi diatas, sebenarnya kondisinya tidak seburuk itu juga, sementara disisi lain harga sahamnya kini ini sudah kelewat rendah/sudah mencerminkan semua kekhawatiran investor dll. Maksud penulis adalah, yup, nilai ekuitas AISA mungkin akan berkurang pasca divestasi berasnya, yakni bila perusahaan tidak segera memperoleh pembayaran tunai dari penjualan perjuangan berasnya, tapi penurunan harga sahamnya jauh lebih signifikan ketimbang penurunan ekuitasnya tersebut. Dengan kata lain, kalo contohnya AISA ini masih di harga 900 – 1,000, maka penulis juga gak akan tertarik.
Kemudian, terlepas dari upaya perluasan perusahaan yang sejauh ini kelihatannya gagal semua, tapi bisnis inti perusahaan yakni bihun dan kudapan sejatinya sudah cukup menguntungkan dan gak ada persoalan apapun. Kaprikornus dengan kembalinya fokus administrasi ke bisnis inti tersebut, maka diharapkan perusahaan akan kembali profitable seperti di tahun-tahun sebelum 2017.
Kaprikornus untuk kedepannya terdapat setidaknya tiga skenario untuk saham AISA. Pertama, AISA sukses mendivestasi perjuangan berasnya, kasus hukumnya juga selesai, dan semua kesimpang siuran isu terkait kelangsungan perjuangan perusahaan karenanya mereda seiring dengan berjalannya waktu, dan keuntungan perusahaan kembali naik di tahun 2018 nanti. Maka ketika itulah sahamnya akan naik sangat tinggi. Berdasarkan data historis, PBV AISA ketika perusahaan mencatatkan kinerja manis serta tidak sedang ‘dalam masalah’ menyerupai sekarang, ialah sekitar 2.0 – 2.2 kali, yang setara harga saham 2,000 – 2,500. Jadi, yap, bila skenario pertama ini yang terjadi maka saham AISA sanggup naik setinggi itu, dalam waktu satu tahun atau kurang. Dalam waktu kurang dari satu tahun itu pula, ada kemungkinan administrasi akan mengumumkan planning buy back saham atau semacamnya (karena kalau penulis ialah Mr. Joko, maka ini merupakan peluang emas untuk membeli saham AISA dari investor publik, alasannya ialah kapan lagi sanggup dapet harga semurah ini??).
Skenario kedua, kinerja perusahaan di tahun 2018 masih biasa saja/belum kembali pulih, tapi semua kesimpang siuran isu terkait kelangsungan perjuangan perusahaan tetap mereda seiring dengan berjalannya waktu. Dalam hal ini penulis berkaca pada banyak pengalaman dimana sebuah saham sanggup turun drastis ketika beredar isu dan rumor negatif (sehingga menjadikan investor, alasannya ialah kebingungan, memutuskan untuk cut loss), tapi ketika pemberitaan itu karenanya mereda/dilupakan orang dengan sendirinya, maka sahamnya kemudian naik lagi, terkadang dengan kenaikan yang signifikan/diatas 50 – 100%. Termasuk AISA sendiri, dua tahun kemudian sempat drop hingga dibawah 1,000 ketika perusahaan menjual GOLL, dan beritanya waktu itu juga simpang siur, tapi tak hingga setahun kemudian pribadi naik lagi ketika semua kesimpang siuran itu mereda. Make no mistake: Kalau AISA ini hanya naik sedikit ke level 900 – 1,000 saja, (PBV 0.7 kali, still reasonable), maka profitnya sudah 100% bukan?
Sementara skenario ketiga, ialah planning perusahaan untuk mendivestasi perjuangan berasnya ternyata terhambat/berkepanjangan, atau malah muncul lagi problem baru. Jika ini yang terjadi maka ya sudah: Saham AISA gak akan naik dulu, dan fluktuasi tajamnya dalam beberapa waktu terakhir sanggup berlanjut (sehingga sahamnya tidak cocok bagi anda yang jantungan/masih hobi ngeliatin harga saham tiap hari). However, kalaupun skenario ini yang terjadi, penulis kira AISA tetap sulit untuk turun lebih lanjut/kalaupun lanjut turun maka gak akan banyak turunnya, alasannya ialah valuasi saham AISA kini ini bahkan sudah lebih rendah dibanding valuasi saham-saham batubara di tahun 2015 lalu, padahal perusahaan hingga kini masih beroperasi dengan normal dan masih membukukan laba, jadi gak hingga merugi menyerupai perusahaan-perusahaan batubara di tahun 2015 tersebut.
Kaprikornus dengan menelaah kembali peristiwa-peristiwa terbaru terkait acara perjuangan perusahaan, serta mempertimbangkan faktor potensi profit serta risikonya, maka yup, AISA mengatakan value opportunity terutama pada harganya ketika ini, meski memang disisi lain risikonya juga masih agak besar terutama terkait kemungkinan terjadinya skenario ketiga diatas. Jika anda hendak main aman, maka boleh juga tunggu hingga proses divestasi beras AISA selesai, dan banyak sekali isu negatif ihwal AISA berbalik menjadi isu positif, contohnya ‘Pasca Divestasi Beras, Margin Laba AISA Meningkat Tajam’ (karena untuk ‘menyetel’ judul isu menyerupai itu, itu praktis banget kok. Baca penjelasannya disini). Tapi biasanya ketika itu terjadi maka sahamnya sudah naik duluan, mungkin ke 700 – 800 atau lebih tinggi lagi (meski memang masih sanggup lanjut naik), dan alhasil profit yang anda peroleh juga lebih kecil dibanding bila anda masuk di harga sekarang. So, what do you think?
Disclosure: Ketika artikel ini dipublikasikan, Avere Partners sedang dalam posisi memegang AISA di harga 500. Posisi ini sanggup berubah setiap ketika tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sebelumnya.
Jadwal Seminar Value Investing: How to Casually Make Money from the Stock Market. Jakarta, Amaris Hotel Thamrin City, Sabtu 13 Januari 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.
Jadwal Seminar Value Investing: How to Casually Make Money from the Stock Market. Jakarta, Amaris Hotel Thamrin City, Sabtu 13 Januari 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Sumber http://teguhidx.blogspot.com
0 Response to "Tiga Pilar Sejahtera Food"
Posting Komentar