Kedudukan Dan Sumber-Sumber Aturan Program Peradilan Agama Dalam Negara Aturan Ri
Peradilan di Indonesia, yaitu merupakan salah satu institusi pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni suatu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Paradilan guna menegaskan aturan dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara aturan Republik Indonesia. Di mana dalam tata hukumnya, Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 perihal Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 perihal Peradilan Agama yaitu merupakan tiang pancang dan dasar genggaman keberadaan agama di negara kita.
Kedudukan Peradilan Agama dalam Negara Hukum RI
Realisasi pada penegasan UU Dasar tersebut yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang telah di tambah dan di ubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 perihal ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Sebelumnya, pada permulaan Indonesia merdeka dilaksanakan antara lain oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 perihal susunan, kekuasaan dan jalan Pengadilan Makamah Agung Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 perihal Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Karena UU yang terakhir itu UU No. 19 Tahun 1964 masih berbau Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), dan tidak mencerminkan pelaksanaan kekuasaan kehakiman secara murni dan konsekuen sesuai ketentuan UU Dasar 1945, UU tersebut diganti oleh UU No. 14 Tahun 1970 tersebut di atas yang kini telah di tambah dan di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999.
Kekuasaan kehakiman dimaksud berdasarkan pasal 10 No. 14 Tahun 1970 yang telah di tambah dan di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tersebut yaitu dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer, dan
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Keempat tubuh Peradilan tersebut, satu sama lainnya memiliki kedudukan sama dan sejajar, yang kesemuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.[1]
Untuk susunan kekuasaan dan program dari Badan Peradilan sebagaimana ditegaskan di atas (Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara) berdasarkan pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 di atur oleh UU tersendiri. Reaksi daripada ketentuan pasal ini yang pada hakikatnya untuk melakukan UU Dasar 1945 (Pasal 24 dan 25), untuk :
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sanggup disimpulkan bahwa kedudukan Badan Peradilan Agama dalam Nagara Hukum RI, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Dan sebagai Peradilan tubuh peradilan khusus sebagaimana halnya Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan yaitu di khususkan untuk rakyak pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu yang pelaksanaannya tidak sanggup di lepaskan sama sekali daripada aturan agamanya Islam.[3]
Diperlukan tubuh Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana daripada kekuasaan kehakiman dalam negara aturan Republik Indonesia ini, alasannya yaitu memang merupakan bab yang tidak sanggup dipisahkan dari problem ketentuan bab terbesar dari bangsa Indonesia (umat Islam). Akibat daripada Islam sebagai agama hukum, ada bagian-bagian tertentu dalam kehidupan umat Islam khususnya di Indonesia yang tidak sanggup di lepaskan sama sekali daripada aturan aturan agamanya.
Menyadari akan kenyataan ini, sampai-sampai Peradilan Agama (Hukum Islam) oleh pemerintah Kolonial Belanda diberi kedudukan sendiri secara setempat-setempat dan tidak merupakan satu kesatuan untuk seluruh wilayah Indonesia. Pemberian kedudukan semacam ini oleh pemerintah Kolonial Belanda, tentunya sesuai dengan politik jajahan yang populer dengan istilah devide et impera.[4]
Berdasarkan hal di atas, bagi pemeluk agama Islam dalam menjalankan syariat agamanya ada hal-hal yang menyangkut kekerabatan aturan (perdata) antara merdeka sendiri, perlu di atur dengan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keyakinan dan kesadaran aturan mereka (umat Islam), semoga mereka sanggup terarah, sehingga menumbuhkan tertib aturan dan kepastian hukum.[5]
2. UU No. 7 Tahun 1989
3. UU No. 14 Tahun 1970
4. UU No. 14 Tahun 1985
5. UU No. 1 Tahun 1974 Jo PP No. 9 Tahun 1975
6. UU No. 20 Tahun 1947
7. Inpres No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam)
8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
9. Peraturan Menteri Agama
10. Keputusan Menteri Agama
11. Kitab-Kitab Fiqh Islam dan Sumber aturan tidak tertulis lainnya
12. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 27 UU No. 14 / 1970, maka aturan sebagai penegak aturan dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai aturan yang hidup dalam masyarakat.
Demikian pula dalam bidang aturan program di Peradilan Agama. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum, mengisi kekosongan-kekosongan dalam aturan program juga, semoga putusan yang di hasilkan lebih mendekati kebenaran dan keadilan yang diridhoi Allah SWT. Karena di proses dengan program yang akan lebih menunjukkan rasa keadilan yang memuaskan para pencari keadilan yang beragama Islam itu.[6] Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten, dan tempat hukumnya mencakup wilayah kotamadya atau kabupaten dengan tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan tingkat banding berkedudukan di ibikota propinsi dan tempat hukumnya mencakup wilayah propinsi.[7]
Untuk membentuk suatu Pengadilan Agama gres bagi kotamadya atau kabupaten yang belum ada pengadilan agamanya, harus di dasarkan atas suatu Keputusan Presiden yang usulannya diajukan oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk pembentukan Pengadilan tingi Agama, harus di dasarkan atas suatu Undang-Undang. Dan semua Pengadilan di lingkungan tubuh Peradilan Agama yang telah ada (yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Kolonial Belanda, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri Agama) dinyatakan sebagai Peradilan Agama berdasarkan UU No. 7 tahun 1989.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2003.
Marulak Perdede, Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama dalam Tata Hukum Indonesia, Angkatan Bersenjata, Jakarta, 1989.
Bahrun Martosuharta, RUU-PA Perekat Kesatuan Politik Panji Masyarakat, Jakarta, 1989.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
DEPAG RI, Rencana Indah Pengembangan Peradilan Agama, Jakarta, 1999.
Kedudukan Peradilan Agama dalam Negara Hukum RI
Realisasi pada penegasan UU Dasar tersebut yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang telah di tambah dan di ubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 perihal ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Sebelumnya, pada permulaan Indonesia merdeka dilaksanakan antara lain oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 perihal susunan, kekuasaan dan jalan Pengadilan Makamah Agung Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 perihal Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Karena UU yang terakhir itu UU No. 19 Tahun 1964 masih berbau Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), dan tidak mencerminkan pelaksanaan kekuasaan kehakiman secara murni dan konsekuen sesuai ketentuan UU Dasar 1945, UU tersebut diganti oleh UU No. 14 Tahun 1970 tersebut di atas yang kini telah di tambah dan di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999.
Kekuasaan kehakiman dimaksud berdasarkan pasal 10 No. 14 Tahun 1970 yang telah di tambah dan di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tersebut yaitu dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer, dan
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Keempat tubuh Peradilan tersebut, satu sama lainnya memiliki kedudukan sama dan sejajar, yang kesemuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.[1]
Untuk susunan kekuasaan dan program dari Badan Peradilan sebagaimana ditegaskan di atas (Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara) berdasarkan pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 di atur oleh UU tersendiri. Reaksi daripada ketentuan pasal ini yang pada hakikatnya untuk melakukan UU Dasar 1945 (Pasal 24 dan 25), untuk :
- Peradilan Umum, telah di keluarkan UU No. 2 Tahun 1982, Lembaran Negara No. 20 Tahun 1986 perihal Peradilan Umum.
- Peradilan Agama telah di keluarkan UU No. 7 Tahun 1989, Lembaran Negara No. 49 Tahun 1989 tetang PeradilanAgama
- Peradilan Militer, telah di keluarkan UU No. 31 Tahun 1992. acaranya di atur dengan ketentuan-ketentuan khusus perihal program yang berlaku di lingkungan Peradilan Militer.
- Peradilan Tata Usaha Negara, telah di keluarkan UU No. 5 Tahun 1986, Lembaran Negara No. 77 Tahun 1986 perihal Peradilan Tata Usaha Nagara, mengenai program sekaligus di muat dalam program UU tersebut.[2]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sanggup disimpulkan bahwa kedudukan Badan Peradilan Agama dalam Nagara Hukum RI, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Dan sebagai Peradilan tubuh peradilan khusus sebagaimana halnya Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan yaitu di khususkan untuk rakyak pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu yang pelaksanaannya tidak sanggup di lepaskan sama sekali daripada aturan agamanya Islam.[3]
Diperlukan tubuh Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana daripada kekuasaan kehakiman dalam negara aturan Republik Indonesia ini, alasannya yaitu memang merupakan bab yang tidak sanggup dipisahkan dari problem ketentuan bab terbesar dari bangsa Indonesia (umat Islam). Akibat daripada Islam sebagai agama hukum, ada bagian-bagian tertentu dalam kehidupan umat Islam khususnya di Indonesia yang tidak sanggup di lepaskan sama sekali daripada aturan aturan agamanya.
Menyadari akan kenyataan ini, sampai-sampai Peradilan Agama (Hukum Islam) oleh pemerintah Kolonial Belanda diberi kedudukan sendiri secara setempat-setempat dan tidak merupakan satu kesatuan untuk seluruh wilayah Indonesia. Pemberian kedudukan semacam ini oleh pemerintah Kolonial Belanda, tentunya sesuai dengan politik jajahan yang populer dengan istilah devide et impera.[4]
Berdasarkan hal di atas, bagi pemeluk agama Islam dalam menjalankan syariat agamanya ada hal-hal yang menyangkut kekerabatan aturan (perdata) antara merdeka sendiri, perlu di atur dengan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keyakinan dan kesadaran aturan mereka (umat Islam), semoga mereka sanggup terarah, sehingga menumbuhkan tertib aturan dan kepastian hukum.[5]
Sumber-Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
1. HIR / RBg2. UU No. 7 Tahun 1989
3. UU No. 14 Tahun 1970
4. UU No. 14 Tahun 1985
5. UU No. 1 Tahun 1974 Jo PP No. 9 Tahun 1975
6. UU No. 20 Tahun 1947
7. Inpres No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam)
8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
9. Peraturan Menteri Agama
10. Keputusan Menteri Agama
11. Kitab-Kitab Fiqh Islam dan Sumber aturan tidak tertulis lainnya
12. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 27 UU No. 14 / 1970, maka aturan sebagai penegak aturan dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai aturan yang hidup dalam masyarakat.
Demikian pula dalam bidang aturan program di Peradilan Agama. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum, mengisi kekosongan-kekosongan dalam aturan program juga, semoga putusan yang di hasilkan lebih mendekati kebenaran dan keadilan yang diridhoi Allah SWT. Karena di proses dengan program yang akan lebih menunjukkan rasa keadilan yang memuaskan para pencari keadilan yang beragama Islam itu.[6] Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten, dan tempat hukumnya mencakup wilayah kotamadya atau kabupaten dengan tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan tingkat banding berkedudukan di ibikota propinsi dan tempat hukumnya mencakup wilayah propinsi.[7]
Untuk membentuk suatu Pengadilan Agama gres bagi kotamadya atau kabupaten yang belum ada pengadilan agamanya, harus di dasarkan atas suatu Keputusan Presiden yang usulannya diajukan oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk pembentukan Pengadilan tingi Agama, harus di dasarkan atas suatu Undang-Undang. Dan semua Pengadilan di lingkungan tubuh Peradilan Agama yang telah ada (yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Kolonial Belanda, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri Agama) dinyatakan sebagai Peradilan Agama berdasarkan UU No. 7 tahun 1989.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2003.
Marulak Perdede, Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama dalam Tata Hukum Indonesia, Angkatan Bersenjata, Jakarta, 1989.
Bahrun Martosuharta, RUU-PA Perekat Kesatuan Politik Panji Masyarakat, Jakarta, 1989.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
DEPAG RI, Rencana Indah Pengembangan Peradilan Agama, Jakarta, 1999.
[1] Drs. Taufiq Hamami, S.H, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 44.
[2] Ibid, Pasal 2.
[3] Marulak Perdede, Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama dalam Tata Hukum Indonesia, Angkatan Bersenjata, Jakarta, 1989.
[4] Bahrun Martosuharta, RUU-PA Perekat Kesatuan Politik Panji Masyarakat, Jakarta, 1989.
[5] Ibid
[6] Drs. H. Mukti Arto, S.H, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agma, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 12-13.
[7] DEPAG RI, Rencana Indah Pengembangan Peradilan Agama, Keputusan Menteri Agama RI No. 485 Tahun 1999, Binbapera Islam, hlm. 39.
[8] Drs. Taufiq Hamami, S.H, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2003.
0 Response to "Kedudukan Dan Sumber-Sumber Aturan Program Peradilan Agama Dalam Negara Aturan Ri"
Posting Komentar