iklan

Konsep Diri Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum



Studi Kualitatif ihwal Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Rumah Tahanan Klas I Surabaya, Medaeng – Sidoarjo

Oleh: Estu Putri Wilujeng
Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga

                                                        ABSTRAK
Anak yang berkonflik dengan aturan (ABH) merupakan anak yang disangka atau dituduh telah melanggar undang-undang aturan pidana. Anak yang berkonflik dengan aturan yang berusia 12 hingga 18 tahun, ada yang berujung pada eksekusi penahanan. Di dalam rumah tahanan, mereka sering menjumpai ABH lainnya, tahanan/ narapidana sampaumur lainnya dan petugas rutan. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi proses pembentukan konsep dirinya lantaran Konsep diri merupakan citra ihwal diri mereka sendiri yang muncul dari hasil interpretasi terhadap dunia sekitar mereka dikala berinteraksi. Di dalam rutan tentu sangat rawan pelanggaran hak anak yang akan mempengaruhi konsep diri mereka. Untuk itu, perlu untuk mengetahui bagaimana konsep diri ABH sesudah berinteraksi dengan penghuni ABH lainnya.

Pendekatan yang dipakai untuk menjawab duduk masalah tersebut yakni sosiologi interpretif dimana insan berperilaku berdasarkan hasil interpretasi terhadap dunia di sekitarnya. Teori yang dipakai yakni konsep diri dari C.H Cooley dan Herbert Mead. Metode yang dipakai untuk menjawab duduk masalah tersebut yakni penelitian kualitatif terhadap belum dewasa yang berkonflik dengan aturan di dalam Rutan Medaeng, maupun ABH yang pernah berada di Rutan Medaeng.
Hasil yang ditemukan yakni (1) interaksi ABH terhadap ABH lainnnya bervariasi tergantung anggapan ABH terhadap ABH lainnya, interaksi ABH terhadap Tahanan sampaumur cenderung sebagai korelasi kuasa, dimana tahanan sampaumur yang berkuasa, interaksi ABH terhadap petugasrutanjugaberuparelasikuasa. (2) proses pembentukan konsep diri ABH berawal dari ABH membayangkanreaksi orang lain di dalamrutan, dan kemudian menafsirkannya sehingga muncul refleksi sosial ihwal diri mereka sendiri. Namun, hal tersebut juga dipengaruhi dari seberapa besar kelompok primer mereka yang ada di luar rutan dalam memperlihatkan dukungan terhadap mereka; (3) Konsep diri ABH mempunyai banyak variasi yang sanggup diklasifikasikan berdasarkan tindakan pelanggaran aturan dan motif dalam melakukan.



Kata Kunci: interaksi, interpretasi, konsep diri,  anak yang berkonflik dengan hukum.


ABSTRACT


Children in conflict with law (CCL) are a child suspected or accused of having infringed the penal law statute. Children in conflict with the law which have 12 to 18 years old can get arrested as the punishment. Inside the prison, they often find other CCL, custody / other adult prisoners and prison officers. It will certainly affect the formation of self-concept because self-concept is an image of themselves which arise from the interpretation of the world around them while interacting. In the prisons of course very vulnerable child rights violation that will affect their self-concept. For that, we need to know what the self-concept of CCL is after interacting with the other occupants.
The approach used to answer these issues is an interpretive sociology in which humans behave based on the interpretation of the world around him. The theory used the self-concept of CH Cooley and Herbert Mead. The methods used to answer these issues are a qualitative study of children in conflict with the law in the Rutan Medaeng, and ABH had been in detention Medaeng.
The results found in this study were 1) interaction between CCL is varies depending on other assumptions to the other CCL, the interaction between CCL and adults prisoner tend to be as power relations, in which adult prisoners in power, the interaction of ABH against prison officers are also in the form of power relations. 2) The formation of self-concept originated from the CCL. CCL imagine the reactions of others in the crease, and then interpret it so that it appears social reflection about them. However, it is also influenced by how big their primary groups that are outside the crease in providing support to them; and 3) self-concept of CCL has many variations that can be classified based on illegal actions and motives in doing.

Key Words: interaction, interpretation, self-concept, children in conflict with law



KONSEP DIRI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Studi Kualitatif ihwal Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Rumah Tahanan Klas I Surabaya, Medaeng – Sidoarjo

Pendahuluan
Anak yang berkonflik dengan aturan atau ABH ialah anak yang disangka atau dituduh telah melanggar undang-undang aturan pidana. Seorang anak gres sanggup diajukan ke persidangan minimal pada usia 8 tahun hingga 18 tahun. Namun, hanya ABH yang berusia diatas 12 tahun yang bisa mendapat eksekusi pidana berupa kurungan.
Anak yang berkonflik dengan aturan telah menjadi beberapa materi kajian  (Astuti, 2003; Suryani dan Henny Andriani, 2008; Ichwan, 2009; Nifianto, 2009; Purnianti, 2009). Studi-studi tersebut banyak mengkaji anak yang berkonflik dengan aturan berdasarkan perspektif hukum, dan psikologi. Studi-studi tersebut mengangkat duduk masalah ihwal eksekusi pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, banyak sekali macam ketidaktepatan eksekusi pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dan pelanggaran hak anak di dalam rumah tahanan ataupun forum pemasyarakatan. Sejauh ini studi sosiologis yang mengangkat duduk masalah anak yang berkonflik dengan aturan ihwal latar belakang keluarga citra pola training (Saviatri, 2000) dan ihwal hak anak di rumah tahanan Medaeng (Nifianto, 2009). Studi-studi tersebut belum mengangkat ihwal bagaimana anak yang berkonflik dengan aturan memahami konsep diri mereka sendiri.
Banyak faktor yang yang mempengaruhi sikap ABH, faktor yang menonjol antara lain dikarenakan gagalnya orang bau tanah atau masyarakat dalam memenuhi keinginan anak. Kondisi tersebut menjadikan kecenderungan anak memenuhi keinginannya sendiri dengan cara, kemampuan, dan persepsi yang dianggapnya sempurna (Ichwan, dkk, 2009). Setiap tahunnya ada 4000 anak yang berkonflik dengan hukum, 90% diantaranya berakhir dipenjara, 73% dari angka tersebut ialah anak yang melaksanakan kejahatan ringan (petty crime) ibarat pencurian kecil-kecilan. (Mediasi/10-12/2011).
Jumlah anak yang berkonflik dengan aturan memang tidak sedikit, hampir pada setiap provinsi mempunyai sejumlah anak yang berkonflik dengan hukum. Berdasarkan data anak yang berhadapan dengan aturan dari situs kementerian pemberdayaan wanita dan proteksi anak Republik Indonesia pada tahun 2008 (dalam Dewi dan Fatahillah A. Syukur, 2011: 21) terdapat 41.778 anak yang berhadapan dengan aturan di Indonesia, untuk provinsi jawa timur sendiri terdapat 2713 anak yang berhadapan dengan hukum.
Kehidupan anak di dalam Rumah tahanan rawan terjadi tindak pelanggaran hak anak. Anak-anak yang ditahan harusnya berhak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah, berhak untuk memperoleh semua dukungan yang diharapkan dalam setiap tahapan peradilan, ditahan dalam daerah yang khusus untuk anak, dipisahkan dari terpidana dan hak pemenuhan kebutuhan khusus sesuai dengan usia dan jenis kelaminnya. Hal tersebut sudah selayaknya dilakukan biar proses tumbuh kembang ABH sanggup berjalan dengan lebih baik. Namun,  persoalan pemidanaan anak sangat serius lantaran : (1) dalam proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi insan bahkan banyak bukti memperlihatkan ada praktek kekerasan dan penyiksaan terhadap anak yang masuk dalam mesin peradilan, (2) perspektif anak belum mewarnai proses peradilan, (3) penjara yang menjadi daerah penghukuman anak terbukti bukan merupakan daerah yang sempurna untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan, (4) selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan aturan kehilangan hak-hak dasarnya ibarat komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh pendidikan, dan hak kesehatan, dan (5) ada stigma yang menempel pada anak sesudah selesai proses peradilan sehingga akan menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial ke depannya.(Hadi Supeno. 2010. Dekriminalisasi Anak. KPAI. Dalam http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/190-alternatif-pemidanaan-restorative-justice-bagi-anak-berkonflik-dengan-hukum.html. Diakses pada Mei 2012) . Berada di dalam Rumah tahanan, sanggup memperlihatkan label tersendiri bagi penghuninya. Label atau stigma dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya, juga proses interaksi dengan penghuni lapas lainnyaakan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak yang berkonflik dengan aturan yang berada dalam forum pemasyarakatan.Biasanya, ada anak yang justru mencar ilmu menjadi penjahat dalam lapas dan muncul perasaan gembira ketika melaksanakan agresi kriminal, atau bisa jadi anak tersebut akan menjadi minder, atau aib akan kondisi yang sedang dialaminya, sehingga mereka akan menjadi anak yang berputusasa dalam menjalani kehidupan, dan merasa dirinya hanya cocok sebagai pelaku tindak kriminal. Sehingga, anak yang berkonflik dengan hukum yang telah masuk ke lapas akan berpotensi untuk melaksanakan tindakan kriminal lagi, ibarat halnya yang terjadi pada salah seorang anak yang berkonflik dengan hukum yang melaksanakan acara penodongan di jalanan Kota Surabaya. Anak tersebut tertangkap oleh warga dan diserahkan ke polisi dikala menodong pengguna jalan, kemudian ia divonis untuk dididik dalam lapas. Setelah bebas kemudian ia melaksanakan tindakan penodongan lagi, bersama dengan pelaku tindak kriminal sampaumur yang lebih berpengalaman dalam melaksanakan tindakan penodongan. Tapi akhirnya kemudian ia terseret lagi ke dalam lapas dikala pelaku tindak kriminal sampaumur tersebut tertangkap oleh polisi. Akhirnya ia pun kembali menjadi anak didik lapas[1]
Selain itu, kondisi lapas anak cukup memprihatinkan. pada situs gosip tempo.co (Sabtu/14/01/2012) menyatakan bahwa dari 32 tahanan anak yang diwawancarai oleh KPAI, 18diantaranya pernah dianiaya selama ditahan baik penganiayaan dalam tataran psikis maupun fisik. Tindak kekerasan pada anak yang berkonflik dengan hokum dalam sebuah forum pemasyarakatan juga telah ditunjukkan dalam Analisa Situasi Sistem peradilan anak di Indonesia, yakni:
“kekerasan di dalam rumah tahanan juga mewarnai kehidupan empat anak wanita ini. Meskipun mereka menjelaskan bahwa umumnya teman—teman di rutan baik tetapi ada ‘kewajiban’ bagi anggota gres untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, contohnya membersihkan kamar dan kamar mandi, menggantikan kiprah piket kebersihan dari penghuni yang lebih lama. Tugas semacam ini sulit untuk ditolak .menurut keterangan anak wanita 2 kalau berani menolak akan ‘digulung’ yaitu dimarahi secara bergairah bahkan ada yang hingga ditendang dan dipukuli. Penghuni lain yang melihat tidak berani lapor ke petugas.”(Purnianti, dkk, 2006: 157)
George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2003:290) bahwa insan hanya mempunyai kapasitas umum untuk berpikir. Kapasitas ini harus dibuat dan diperhalus dalam proses interaksi sosial. Kemampuan insan untuk berpikir dikembangkan semenjak dini dalam sosialisasi belum dewasa dan diperhalus selama sosialisasi di masa dewasa. Untuk itu, setiap proses pembelajaran berpikir pada setiap individu dimulai semenjak belum dewasa melalui interaksi sosial dari pihak-pihak yang terkait dengan belum dewasa itu sendiri. Dengan interaksi kepada kelompok-kelompok atau individu-individu yang baik akan memperlihatkan imbas positif bagi anak. Jika kelompok primer, atau kelompok yang intensif berinteraksi dengan anak lebih bersifat positif, maka anak akan mempunyai konsep diri yang positif dan begitu juga sebaliknya.
Konsep diri atau self concept merupakan suatu kepingan yang penting dalam diri manusia. Konsep diri seseorang sanggup dinyatakan melalui sikap dirinya yang merupakan aktualisasi dirinya.Konsep diri seseorang sanggup terbentuk dan berubah lantaran interaksi dari lingkungannya. Konsep diri sesorang sanggup diketahui dari informasi, pendapat dan evaluasi dari orang lain. Konsep diri berdasarkan Cooley yakni:
“konsep diri merupakan imajinasi definitif ihwal bagaimana diri seseorang yaitu gagasan yang dipakai dan muncul dalam suatu pikiran dan perasaan diri yang dimiliki seseorang yang ditentukan oleh sikap terhadapnya, yang menempel pada pikiran orang lain…………. Tampilan luar kita, sopan santun, tujuan, perbuatan, karakter, sahabat, dan lain sebagainya yang dipengaruhi olehnya” (Cooley, 1902/1964: 169 dalam Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2011 )
Jadi, dari hasil interaksi terhadap lingkungan sekitar kita akan terlihat evaluasi terhadap diri kita sendiri atau refleksi sosial ihwal diri kita. Jika hasil evaluasi dari orang lain yang tercermin dikala berinteraksi tersebut menghasilkan refleksi sosial yang positif, maka akan menjadikan konsep diri yang positif yang akan mempengaruhi pola sikap anak dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga sebaliknya Misalnya kalau seorang anak mendapati refleksi diri sebagai anak badung pada dikala ia berinteraksi dengan lingkungannya maka ia akan terus-terusan bersikap badung dan mengganggu orang-orang yang ada di sekitarnya.
Perkembangan konsep diri tersebut sanggup terjadi pada tiap individu, termasuk seorang anak. Untuk itu, refleksi sosial yang positif sangat diharapkan biar anak sanggup tumbuh dan berkembang secara optimal, tanpa membeda-bedakan latar belakang dan status sosial anak, ibarat halnya yang telah dicantumkan dalam Konvensi Hak Anak.
Dari banyak sekali kondisi forum pemasyarakatan daerah anak yang berkonflik dengan aturan yang telah dipidanakan, dan label atau stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap mereka akan berpotensi untuk mempengaruhi konsep diri anak yang berkonflik dengan aturan yang pernah atau sedang berada dalam forum pemasyrakatan tersebut, bisa jadi mereka menganggap diri mereka sebagai seseorang yang sedang mengalami proses pembenahan diri menjadi lebih baik, ataupun seseorang yang memang “ditakdirkan” sebagai pelaku tindak kriminal. Untuk itu, perlu memahami ihwal konsep diri, atau citra imajinasi ihwal diri anak yang berkonflik dengan aturan yang ada atau pernah berada dalam forum pemasyarakatan dari hasil interaksi dengan lingkungan yang ada disekitar mereka.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Rumah Tahanan Klas I Surabaya, Medaeng - Sidoarjo
Pada Rumah tahanan Klas I Surabaya Medaeng Sidoarjo, terdapat 34 ABH dengan dua ABH berjenis Kelamin Perempuan dan 32 ABH berjenis kelamin laki-laki. Tindakan pelanggaran yang mereka gunakan juga beragam, mulai penyalahgunaan obat-obatan, penggunaan narkoba, pencurian, sikap tindak kekerasan. Dari 32 tersebut dipilih tujuh informan yang mempunyai variasi tindak pelanggaran hukum, antara lain: FDN (16 tahun) pelaku pengguna narkoba, NMC (17 tahun) pelaku pelanggaran aturan berupa pencurian, AAT (15 tahun) pelaku tindak kekerasan berupa pengeroyokan, MSK (16 tahun) pelaku penyalahgunaan obat-obatan, RWC (17 tahun) pelaku pelanggaran aturan berupa pencurian, NIN (17 tahun) pengguna narkoba dan TOC (17 tahun) pelaku pelanggaran aturan berupa pencurian. Ketujuh informan tersebut dipilih dengan metode purposive untuk menemukan konsep diri mereka. Konsep diri tersebut sanggup dipahami melalui pendekatan sosiologi interpretif, dimana insan dipahami sebagai makhluk yang bebas dan mempunyai pilihan. Konsep diri pada anak yang berkonflik dengan aturan berawal dari proses interaksi mereka dan interpretasi yang mereka lakukan terhadap pihak-pihak dalam interaksi tersebut, kemudian proses pembentukan konsep diri, hingga menemukan konsep diri yang ada pada anak yang berkonflik dengan hukum.
Setiap insan menginterpretasi apa yang terjadi di lingkungannya. Persoalan ini termasuk duduk masalah mikro, bukan pemahaman yang menyeluruh ihwal masyarakat karena, bagi interpretivis jauh lebih sukar untuk menguraikan masyarakat yang merupakan hasil dari interpretasi sbagai “benar” dan “nyata”. (Jones, 2009: 28) Untuk memahami interpretasi seorang insan atau anak yang berkonflik dengan hukum, tentunya pendekatan yang kita gunakan yakni pendekatan yang bersifat kualitatif, lantaran dalam penelitian kualitatif beranggapan bahwa realitas yang terbangun berdasarkan pandangan subyektif individu.
Interaksi ABH terhadap Penghuni Rumah Tahanan
Interaksi merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial, atau nama lainnya yakni proses sosial. Bentuk lain proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut korelasi antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok. (Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soerjono Soekanto, 1982: 55)
Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi. Terjadinya suatu kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tergantung kepada adanya jawaban terhadap tindakan tersebut. Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi ialah bila seseorang memperlihatkan tafsiran pada sesuatu atau perikelakuan orang lain (Suyanto dan Septi Ariadi, 2004: 16).
Interaksi antar ABH mempunyai intensitas yang sering, terutama untuk Anak berkonflik dengan aturan yang ada di blok I, lantaran seluruhnya ialah anak-anak. Sedangkan untuk anak yang berkonflik dengan aturan yang ada di blok W, atau ABH yang wanita sekalipun satu blok, mereka terpisah dalam dua ruangan yang berbeda, sehingga intensitas interaksi mereka lebih sedikit kalau dibandingkan dengan ABH yang laki-laki. Terdapat perbedaan bagaimana antar ABH memperlakukan ABH lainnya. Jika pandangan mereka terhadap ABH lainnya sanggup dikatakan sejajar, maka mereka akan saling mendukung dan memotivasi untuk tetap semangat dalam menjalankan kehidupan di rumah tahanan. namun, kalau ada ABH yang merasa dirinya lebih menguasai lantaran bersahabat dengan orang sampaumur dan tamping, interaksi yang timbul ialah interaksi yang justru mengarah pada korelasi kekuasaan, dimana anak tersebut nantinya justru akan memperlakukan ABH lainnya sebagai objek yang sanggup mereka kuasai. Begitu juga sebaliknya, di dalam rumah tahanan juga ada anak yang justru akan bersikap inferior, atau merasa ia ada dalam posisi yang lemah. Anak yang demikian akan mempunyai dua kecenderung memperlihatkan jawaban atas tindakan dari ABH lainnya. Ada ABH yang justru akan mengikuti apa yang dilakukan oleh pihak yang dianggap berkuasa, namun ada juga yang justru akan memperlihatkan sikap perlawanan terhadap mereka yang berkuasa.
Proses Pembentukan Konsep Diri ABH
Konsep diri yang ada pada anak yang berkonflik dengan aturan juga terjadi melalui beberapa tahapan yang pertama ABH tersebut mulai membayangkan reaksi orang-orang disekitarnya yang berada dalam forum pemasyarakatan, sesudah itu ia menafsirkan reaksi yang diberikan oleh orang sekitarnya yang termasuk ke dalam kelompok primer.
Skema 1
Proses Pembentukan Konsep Diri ABH









 
Pada studi yang dilakukan oleh Ronny Ichwan (2009) menyatakan bahwa fenomena keberadaan anak yang berkonflik dengan aturan banyak diartikan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang dianggap menyimpang.Padahal tidak semua anak yang berkonflik dengan aturan benar-benar melaksanakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.Sama halnya dengan anak yang berkonflik dengan aturan yang ada di Rumah Tahanan Medaeng. Ada anak yang justru terjebak oleh lingkungannya biar melaksanakan tindakan pelanggaran hukum.
Salah satu referensi anak yang terjebak oleh lingkungannya yakni NMC. Ia bergotong-royong tidak ingin mencuri kendaraan bermotor. Awalnya ia hanya diajak jalan-jalan sama temannya, tapi ternyata teman-temannya justru melaksanakan tindakan pencurian. Teman-temannya berhasil kabur, tapi NMC yang tidak tahu apa-apa justru bengong di lokasi hingga akhirnya berhasil ditangkap oleh masyarakat dan diserahkan ke kepolisian. Namun, NMC tetap saja dianggap sebagai anak yang melaksanakan tindakan kriminal. Orang-orang di dalam rutan, ibarat petugas pun juga memperlakukan beliau sebagaimana mereka memperlakukan para pelaku tindak kriminal lainnya.
Proses labelling dari lingkungan sekitar NMC memang tidak begitu  berpengaruh terhadap pandangan akan dirinya sendiri. Ia masih tetap optimis untuk menjalankan cita-citanya sebagai Tentara Nasional Indonesia AL. hal tersebut disebabkan sosialisasi dari kelompok primer, ibarat keluarga dan teman-temannya masih berpikiran positif terhadapnya. Dapat dikatakan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh NMC cenderung positif lantaran mengarahkan NMC untuk berperilaku lebih memikirkan ihwal masa depan.
Berbeda lagi dengan AAT, AAT menafsirkan dirinya sebagai seorang yang kurang baik.Ia menafsirkan pandangan dari orang lain terhadap dirinya dan teman-teman pergaulannya. Kebiasaannya minum minuman keras yang tidak disukai oleh orang lain justru mengakibatkan beliau berperilaku lebih keras. Dia justru rela masuk ke dalam penjara dengan cara menyerahkan diri lantaran beliau tahu beliau berbuat yang tidak baik dan membiarkan teman-temannya masuk ke dalam rutan terlebih dahulu.
Konsep Diri ABH
Konsep diri merupakan citra suatu individu terhadap dirinya sendiri.Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa anak yang berkonflik dengan aturan terdapat beberapa perbedaan dalam menggambarkan dirinya sendiri.
Konsep diri yang dimiliki masing-masing oleh anak yang berkonflik dengan aturan berbeda antara yang satu dengan yang lain. berikut ini merupakan table yang menggambarkan keadaan diri ABH berdasarkan pemikiran ABH itu sendiri yang didapatkan dari hasil wawancara mendalam di Rumah Tahanan Klas I Surabaya, Medaeng, Sidoarjo.
Berdasarkan  data yang diperoleh, sanggup diketahui bahwa ada perbedaan konsep diri pada anak yang berkonflik dengan hukum.Anak yang melaksanakan tindakan pelanggaran dilandasi motif ketidaksengajaan dari luar dan melaksanakan tindakan tersebut atas dasar pelampiasan semata namun masih mendapat dukungan dari keluarga, cenderung mendapat konsep diri yang lebih positif. Mereka masih beranggapan bahwa diri mereka akan mendapat masa depan yang cemerlang. Selain itu hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi rumah tahanan bagaimana mereka biasa berinteraksi dengan penghuni rumah tahanan. semakin mereka bersahabat dengan penghuni rumah tahanan akan lebih mempengaruhi cara mereka menggambarkan diri mereka sendiri.
Contohnya NMC, yang mendapat tuntutan atas dasar tindakan pencurian kendaraan bermotor yang bergotong-royong tidak ia lakukan. ia hanya berada di lokasi dikala teman-temannya melaksanakan tindakan pencurian. Namun, ia masih mempunyai harapan akan dirinya di masa depan. Ia ingin pertanda bahwa ia bukan anak nakal, dan ia suatu dikala niscaya sanggup membahagiakan orang tuanya.
“…..awalnya saya takut sesudah insiden ini nggak bisa jadi Tentara Nasional Indonesia AL, tapi kepala sekolah saya mau membantu ngusahain (mengusahakan) biar tetap bisa, beliau ngusahain jangan hingga ke ekspos (dibahas) media.Dia juga ngusahain biar saya nggak lama-lama disini. Paling nggak cuman dua bulan aja, mbak”
NMC lebih banyak mendapat dukungan oleh keluarganya. Di dalam rumah tahanan beliau tidak begitu banyak bergaul dan cenderung pendiam. Dia tidak terlalu bersahabat dengan tahanan/ narapidana lainnya baik yang seusia maupun yang lebih dewasa. Hal tersebut juga dialami oleh MSK yang menyatakan penyesalannya dikarenakan telah memakai pil koplo.Ia memakai pil koplo sebagai pelampiasan atas keadaan keluarganya yang kurang harmonis. Namun, ia menyesal dikarenakan telah memakai pil koplo tanpa mempertimbangkan kesudahannya yang justru akan merepotkan kedua orangtuanya. Ia menganggap hal ini sebagai ujian yang harus ia jalani.
“perasaan terpuruk dan menyesal menciptakan saya ingin mengakhiri hidup,  tapi lantaran semua dukungan dan instruksi dari orang bau tanah sama sahabat sepenjara, saya sudah tahu bahwa ini ialah ujian untuk saya. Sekarang saya menunggu kebebasan yang selama ini saya tunggu…….setelah ini saya mau jadi lebih baik, mbak. Nggak mau yang kayak gini (masuk penjara) lagi. Nggak enak, nggak bisa bebas”

Begitu juga sebaliknya kalau anak yang berkonflik dengan aturan tersebut melaksanakan tindakan pelanggaran aturan atas dasar bentuk mulut untuk membenarkan perilakunya, ibarat penganiayaan, pengeroyokan cenderung menganggap tindakan tersebut sebagai hal yang biasa dan harus dilakukan sebagai kepingan dari kehidupannya.
Salah satu referensi anak yang berkonflik dengan aturan yang melaksanakan tindakan pelanggaran aturan ibarat ini yakni AAT.Ia cenderung berperilaku sebagai anak yang kuat dan berani dikarenakan telah melawan orang yang menyerang teman-temannya.
“pas saya ngelihat (melihat) satu temen saya ada yang dipukuli saya eksklusif pulang. Saat saya lari pulang ambil pisau, waktu mau balik ke daerah tadi, sahabat saya yang satunya lagi tanya saya mau kemana, ya saya jawab pulang ambil pisau mau bacok anak tadi, terus beliau juga ikut ambil alat buat mukul di rumahnya………….. orangnya luka parah pokoknya mbak, jempolnya putus putus, telapak tangannya robek, bahunya juga luka kena pisau”
AAT merasa bahwa apa yang telah beliau lakukan sebagai hal yang masuk akal lantaran pada dikala pesta miras ia diganggu oleh orang-orang tersebut, mulai dari pandangan yang tidak enak, perkataan kotor yang diucapkan mereka dan sikap mereka yang memukul sahabat AAT.
Berdasarkan temuan data yang dan analisis yang dilakukan, terdapat banyak sekali macam konsep diri anak yang berkonflik dengan hukum. Hal tersebut disebabkan mereka mengalami proses pembentukan konsep diri yang berbeda, terutama cara kelompok primer memperlakukan mereka, baik yang ada di luar rutan maupun yang ada di dalam rutan.berdasarkan analisis proses pembentukan konsep diri sebelumnya, Jika dalam kehidupan sehari-hari, anak yang berkonflik dengan aturan tersebut mendapat dukungan dari keluarga dan penyikapan yang baik dari penghuni rumah tahanan, maka akan muncul interpretasi ihwal dirinya yang masih mempunyai kesempatan untuk hidup lebih baik. Perbedaan konsep diri yang dimiliki oleh anak yang berkonflik dengan aturan tersebut sanggup dikelompokkan berdasarkan latar belakang atau motif mereka dalam melaksanakan tindakan. Hal tersebut sanggup gampang kita pahami dengan bagan sebagai berikut:

Skema 2
Konsep Diri Anak yang Berkonflik dengan Hukum





































Berdasarkan bagan tersebut ada citra latar belakang seorang anak melaksanakan tindakan pelanggaran hukum. Mulai dari dijebak oleh teman-temannya, pelampiasan sebagai wujud ketidakpuasan atas kondisi dilingkungannya sehingga mereka menentukan untuk memakai obat-obatan, spontanitas atau sebagai bentuk mulut tanpa pertimbangan apapun dan tindakan instrumental untuk meningkatkan kondisi yang mereka alami.
Bagi anak yang melaksanakan tindakan pelanggaran aturan atas dasar ketidaksengajaan atau dijebak oleh teman-temannya, mereka masih mempunyai konsep diri yang positif. Mereka merasa bahwa mereka bukan anak yang nakal. Mereka merasa masih mempunyai citra akan masa depan yang cerah.
Anak yang melaksanakan tindakan penyalahgunaan obat-obatan cenderung meratapi perbuatannya. Mereka merasa memang pernah menjadi anak yang badung dan mengecewakan orang tuanya, namun mereka masih ingin berubah dikala mencicipi kebebasan nantinya.Mereka tidak ingin terjebak dalam permasalahan yang sama lagi. Bagi mereka, kehidupan di dalam rumah tahanan tidak menyenangkan, jauh lebih baik ketika mereka berada di luar rumah tahanan.
Anak yang melaksanakan tindakan pelanggaran aturan atas dasar spontanitas, atau mulut atas keadaan yang menimpanya, cenderung tidak merasa bersalah dan ada sedikit pujian dikarenakan telah melaksanakan tindakan tersebut. Mereka akan menganggap diri mereka semacam “jagoan” dan apa yang mereka lakukan merupakan hal biasa. Mereka menganggap hal tersebut sebagai agresi heroic untuk menyelamatkan lingkungan pergaulan mereka.
Anak yang melaksanakan pelanggaran aturan yang bersifat instrumental, ibarat RWC, merasa dirinya sebagai pencuri lantaran ia telah melaksanakan hal tersebut beberapa kali bersama komplotannya. Namun sesudah mengalami penipuan oleh sahabat komplotannya dan ia ditangkap oleh kepolisian ia merasa menyesal. Dengan demikian, konsep diri yang muncul yakni orang yang menyesal atas perbuatannya, lantaran ia justru dirugikan lantaran tidak sanggup bertemu dengan keluarga.
KESIMPULAN
Anak yang berkonflik dengan aturan merupakan anak yang disangka atau dituduh telah melanggar undang-undang aturan pidana. Berdasarkan Undang-undang ihwal Perlindungan Anak tahun 2002, anak gres bisa mendapat hukuman pidana berupa kurunganketika berusia berusia 12 hingga 18 tahun.
Anak yang berkonflik dengan aturan di dalam rumah tahanan sangat dibatasi untuk bertemu dengan keluarga maupun teman, di dalam rumah tahanan.Di dalam rumah tahanan, mereka sering menjumpai anak yang berkonflik dengan aturan lainnya, tahanan/ narapidana sampaumur lainnya dan petugas rutan. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi proses pembentukan konsep dirinya. Konsep diri merupakan citra ihwal diri mereka sendiri yang muncul dari hasil interpretasi terhadap dunia sekitar mereka dikala berinteraksi, termasuk dikala ABH berinteraksi dengan penghuni rumah tahanan lainnya. Interpretasi pada dikala berinteraksi terhadap penyikapan lingkungan sekitar oleh ABH akan mempengaruhi proses pembentukan dirinya.
Interaksi yang terjadi pada ABH terhadap ABH lainnnya bervariasi tergantung anggapan ABH terhadap ABH lainnya, interaksi ABH terhadap Tahanan sampaumur cenderung sebagai korelasi kuasa, dimana tahanan sampaumur yang berkuasa, interaksi ABH terhadap petugas rutan juga berupa korelasi kuasa.
 Proses pembentukan konsep diri ABH berawal dari ABH membayangkanreaksi orang lain di dalam rutan, dan kemudian menafsirkannya sehingga muncul refleksi sosial ihwal diri mereka sendiri. Namun, hal tersebut juga dipengaruhi dari seberapa besar kelompok primer mereka yang ada di luar rutan dalam memperlihatkan dukungan terhadap mereka
Konsep diri ABH mempunyai banyak variasi yang sanggup diklasifikasikan berdasarkan tindakan pelanggaran aturan dan motif dalam melakukan. Bagi anak yang melaksanakan tindakan pelanggaran aturan atas dasar ketidaksengajaan atau dijebak oleh teman-temannya, mereka masih mempunyai konsep diri yang positif. Mereka merasa bahwa mereka bukan anak yang nakal. Mereka merasa masih mempunyai citra akan masa depan yang cerah. Anak yang melaksanakan tindakan penyalahgunaan obat-obatan cenderung meratapi perbuatannya. Mereka merasa memang pernah menjadi anak yang badung dan mengecewakan orang tuanya, namun mereka masih ingin berubah dikala mencicipi kebebasan nantinya. Anak yang melaksanakan tindakan pelanggaran aturan atas dasar spontanitas, atau mulut atas keadaan yang menimpanya, cenderung tidak merasa bersalah dan ada sedikit pujian dikarenakan telah melaksanakan tindakan tersebut. Mereka akan menganggap diri mereka semacam “jagoan” dan apa yang mereka lakukan merupakan hal biasa. Mereka menganggap hal tersebut sebagai agresi heroik untuk menyelamatkan lingkungan pergaulan mereka.



DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Astuti, Made Sadhi.2003.Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak. Malang: UM Press.
Cooley, Charles H. 1964. Human Nature and The Social Order. New York: Scribner’s dalam Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern (Cetakan ke tujuh).Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Dewi dan Fatahillah A. Syukur.2011.Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Depok: Indie Publishing.
Ichwan, Ronny, dkk.2009. Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum bagi Para Pemangku Kepentingan di Surabaya. Surabaya: World Vision.
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Purnianti, dkk.2006. Analisa Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia.UNICEF Indonesia.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern (Cetakan ke tujuh).Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Suryani, Nilma dan Henny Andriani. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Menjalani Pidana Penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Diakses dari internet
Suyanto, Bagong dan Septi Ariadi. 2007. Interaksi dan Tindakan Sosial dalam Sosiologi dan Teks Pengantar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Skripsi
Nifianto, Temma. 2009. Hak Anak di Rutan Medaeng. Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Saviatri, Olivia Dewi. 2000. Anak yang Berkonflik dengan Hukum: Analisis ihwal Latar Belakang Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan Gambaran Pola Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II A Blitar. Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Artikel dan Jurnal
KPAI: Hapuskan Penjara Anak. http://id.berita.yahoo.com/kpai-hapuskan-penjara-anak-174158481.html. Diaksesp pada Februari 2010
http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/190-alternatif-pemidanaan-restorative-justice-bagi-anak-berkonflik-dengan-hukum.html
http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/24/82948/Angka-Kriminalitas-Anak-di-Jatim-Tinggi/6



[1]Hasil Wawancara dengan Bapak Riyanto, SH. Direktur yayasan Genta Surabaya dan juga orang yang pernah mendampingi anak yang berkonflik dengan aturan pada hari Senin tanggal 2 April 2012

Sumber http://dykaandrian.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Konsep Diri Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel