√ Bagaimana Memilih Film Yang Berkualitas
Kalau saja Roger Ebert membaca goresan pena ini niscaya ia akan tertawa terbahak-bahak lantaran niscaya standar film yang berkualitas berdasarkan saya dan ia akan sangat-sangat berbeda. Dia telah menonton banyak film, mulai dari film yang terkenal hingga film yang terbilang langka sedangkan saya hanyalah sekedar penikmat film biasa yang gres sedikit menonton film yang berkualitas dan miskin pengalaman. Namun disisi lain saya yakin bahwa film merupakan media yang universal, ibarat halnya lagu, yang sanggup dimengerti oleh setiap orang dimanapun mereka berada.
Menentukan standar film yang berkualitas pastilah akan sangat subjektif dan akan sangat tergantung dari selera dan sudut pandang dari penulisnya masing-masing. Itulah mengapa daftar-daftar film terbaik sepanjang masa dipilih oleh panel yang terdiri dari banyak orang yang kiranya sanggup mengakomodasi semua selera dari masing-masing penonton. Namun juga, tak salahnya kalau perorangan menciptakan daftar tersebut, sebut saja dimulai dari saya sendiri:
Jadi bagaimana saya memilih apakah sebuah film termasuk film yang berkualitas yang layak ditonton oleh saya sendiri lantaran sekali lagi saya tidak menonton semua film. Selama ini saya telah menciptakan semacam standar yang baku untuk film-film tertentu, semisal:
Film yang berkualitas ialah film yang ending-nya tidak sanggup kau tebak.
Banyak film-film yang beredar kini ialah tipikal film yang sanggup dengan gampang kita tebak ending-nya bahkan sebelum kita tonton. Sebut saja film-film dengan tema superhero yang pastinya pembela kebenaran akan menang atau film drama romantis yang mana kedua sejoli akan bersatu dan hidup senang selamanya. Saya memegang teguh prinsip bahwa film yang berkualitas ialah film yang sanggup membawa penontonnya menebak atau gundah akan ending dari film tersebut atau setidaknya sebuah film dengan ending yang mengejutkan atau tidak standar. Untuk apa kita menonton sebuah film kalau kita telah tahu ending-nya akan ibarat apa. Saya teringat salah satu obrolan dari salah satu film favorit saya, Adaptation, ia bilang bahwa
“Ending ialah impresi titik puncak dari sebuah film. Kau sanggup membawa dongeng kemana saja, bahkan kalau dongeng itu terasa murahan, namun kalau kau sanggup meramunya menjadi ending yang mengejutkan dan masuk nalar maka kau sanggup dikatakan telah sukses.”
Film yang berkualitas ialah film yang tidak biasa.
Pernah nonton film Gus Van Sant, Elephant, film ini saya masukan ke dalam kategori tidak biasa walaupun dengan tema dongeng yang biasa saja mengenai penembekan oleh dua orang murid di salah satu sekolah di Amerika. Namun apa yang menciptakan Elephant menjadi tidak biasa, tak lain dan tak bukan ialah teknik pengambilan gambar yang sangat actor-oriented. Mungkin inilah satu-satunya film yang saya tonton yang dari awal hingga tamat yang kameranya hanya menyorot aktor/aktrisnya berkepanjangan. Kamera hanya mengikuti kemana arah subjeknya bergerak tidak ada hal lain selain itu. Namun yang spektakuler ialah bagaimana sutradara dan tentu saja editornya, menciptakan adegan-adegan tersebut saling berafiliasi satu sama lain. Kita terasa masuk ke dalam sebuah labirin besar yang sangat membingungkan pada awalnya namun akan kelihatan terperinci pada akhirnya. Pendekatan personal yang baik berdasarkan saya.
Itulah kenapa film yang berkualitas ialah film yang tidak biasa. Tidak heran kenapa sutradara-sutradara legendaris semisal Alfred Hitchcock atau Stanley Kubrick dikagumi oleh dunia , ya lantaran mereka berani mengebrak pakem-pakem film yang berlaku pada masanya dan lantaran ketidakbiasaan itulah mengapa film-film mereka bisa menjadi standar sebuah film.
Film yang berkualitas ialah film yang sanggup mempengaruhi penonton.
Disini sanggup dibedakan dengan tegas antara film berkualitas dengan film feel good. Film feel good ialah film yang ditujukan untuk penonton dengan tema yang senang dengan ending yang menguntungkan dan penonton sanggup pulang dari bioskop dengan perasaan yang senang juga tanpa perlu berpikir apa-apa. Penonton cukup tiba ke bioskop, tonton dengan khidmat, dan pulang dengan senyum dimuka dan bertindak seperti tidak terjadi apa-apa keesokan harinya. Siklus semacam ini sangat-sangat saya hindari ketika tetapkan menonton sebuah film. Saya sangat suka sekali film yang bisa menciptakan saya emosi, menciptakan banyak kerutan di kening atau menciptakan saya harus berpikir berhari-hari setelahnya.
Film yang berkualitas bagi saya ialah film yang bisa memperlihatkan sesuatu yang berbeda atau dengan kata lain film tersebut memperlihatkan pilihan-pilihan kepada penontonnya. Apakah orang baik tersebut harus mati? Atau apakah ia benar-benar baik, apakah ia ialah pembunuhnya, apakah yang jahat itu baik atau siapa bekerjsama orang itu, ialah contoh-contoh pertanyaan yang menarik buat saya sesudah menonton film. Makara disini film ialah sebagai media visual bagi penonton untuk mencerna makna bekerjsama dari huruf tokohnya, atau pedoman dari ceritanya sendiri. Bukan ibarat film “tipikal” yang hanya memperlihatkan point baik dan jahat kepada penontonnya tanpa memperlihatkan pilihan yang rasional.
Ketegasan ibarat itu cenderung menggurui dan mengajak untuk menjadi penonton yang bodoh. Bukankah di dunia ini bekerjsama banyak hal-hal yang ambigu dan kadangkalahnya berada di area abu-abu? Penonton yang baik ialah bukan penonton yang didekte namun lebih kepada penonton yang diajak untuk merenung dan berpikir sambil menelaah makna dari film yang ditontonnya.
Film yang berkualitas ialah film yang mendapat penghargaan?
Well, bekerjsama hal ini juga sangat subjektif dan sanggup diperdebatkan dengan mudah. Namun perlu diingat hingga dikala ini indikator yang kasatmata dari standar film yang berkualitas ialah film yang pernah memenangi penghargaan atau setidaknya pernah dinominasikan. Saya pikir semua hal terbaik didunia ini akans selalu dikaitkan dengan penghargaan. Siapa pemain sepakbola terbaik didunia? Siapa petenis terbaik didunia? Siapa pelukis terbaik didunia? Siapa penyanyi terbaik didunia atau bahkan siapa CEO terbaik didunia? semuanyanya ditentukan oleh penghargaan dan ratifikasi dunia.
Sejujurnya saya mempunyai dua buah pendapat yang mungkin saling bertentangan. Yang pertama saya mendukung standar film yang berkualitas ialah film peraih penghargaan namun disatu sisi saya juga beropini bahwa film yang berkualitas ialah film yang berhasil mempengaruhi pikiran penontonnya. Namun lantaran alasan yang kedua ini tidak sanggup dilihat dengan mata telanjang maka akan sangat sulit untuk menjelaskannya. Mari kita berbicara mengenai penghargaan untuk film berkualitas.
Sejauh ini, penghargaan tertinggi untuk sineas Amerika ialah Academy Awards dan lantaran film-film Hollywood ialah film yang terkenal dan banyak ditonton oleh masyarakat dunia maka Academy Awards sanggup dijadikan patokan standar bagi film yang berkualitas. Katakanlah, film peraih Best Picture sanggup dengan gampang termasuk film berkualitas daripada film biasa yang tidak pernah mendapat penghargaan apapun. Dewan panel AMPAS pastilah bukan sekumpulan orang yang kurang akil dalam pengetahuan film untuk sanggup tetapkan sebuah film layak mendapat sebuah predikat di ajang sekelas Academy Awards. Dan saya yakin pula tidak sembarang film bisa masuk dalam nominasi Academy Awards.
Kalau ditanya, apakah saya selalu menyandarkan pilihan saya terhadap film-film Academy Awards? Saya akan jawab tidak selalu. Jujur, walaupun saya menghormati film-film Academy Awards namun saya lebih suka film-film hasil saringan dari dewan juri Cannes Film Festival di Perancis. Bagi saya Cannes lebih baik daripada Academy Awards dari segi kualitas film yang dilombakan. Film-film Cannes biasanya ialah film-film dari negara-negara Eropa ataupun diluar Eropa yang mempunyai keunikan tersendiri baik dari segi jalan dongeng maupun temanya. Itulah sebabnya kalau saya melihat sebuah film yang dicovernya ada lambang Cannes walaupun hanya official selection maka tak ragu saya akan menontonnya.
Dan sebagai citra ibarat apa perwujudan dari film-film berkualitas ibarat kategori diatas maka saya sertakan juga 10 judul film favorit saya hingga dikala ini (karena mungkin akan berubah dikemudian hari kalau saya menonton film berkualitas yang gres lagi), film tersebut yakni, The Third Man, The Elephant Man, What’s Eating Gilbert Grape, Memento, The Boondock Saints, Eternal Sunshine of The Spotless Minds, The Three Burials of Melquiades Estrada, Lock Stock and Two Smoking Barrels, Into The Wild, Adaptation, dan Amadeus.
Keempat kategori yang saya tulis diatas mungkin akan sangat berbeda dengan orang lain lantaran saya yakin setiap orang mempunyai selera filmnya masing-masing. Saya bukanlah orang yang terpukau dengan banyaknya film yang pernah ditonton sesorang lantaran bagi saya kualitas paling penting daripada kualitas. Lebih baik menonton 10 film terbaik sepanjang masa daripada menonton 100 film “tipikal”.
Penonton film yang baik ditentukan oleh judul yang ia tonton bukan dari banyaknya film. Dan mulailah menjadi penonton film yang sanggup bersikap kritis dan jangan hanya menjadi sapi perahan dari para pembuat film yang tidak bertanggung jawab.
Sumber https://dionbarus.comm
0 Response to "√ Bagaimana Memilih Film Yang Berkualitas"
Posting Komentar