Kisah Inspiratif : Hadi Susanto Doktor Matematika Muda Yang Cemerlang Di Dunia Internasional
Kisah Inspiratif ini saya dapatkan ketika browsing perihal matematika. Silahkan dibaca pelan-pelan kisah kesuksesan "Hadi Susanto". Semoga bisa menjadi ide dan motivasi bagi kita semua. Amiin..
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di bawah ini yaitu salah satu wawancara paling inspiratif yang pernah saya lakukan sebagai wartawan. Jangan dilihat profesi Hadi Susanto sebagai doktor matematika muda yang cemerlang di dunia internasional sekarang. Tapi bagaimana perjuangannya dalam mewujudkan mimpi itu yang berdasarkan saya luar biasa. Betul-betul tak gampang dijalani, menderita lahir batin, tetapi semua dijalaninya dengan tekun.
Mungkin tak terbayang jikalau melihat para muridnya ketika ini (yang sebagian besar mahasiswa pascasarjana Eropa) hanya beberapa tahun lalu, Hadi pernah menyambung hidup dengan mendatangi banyak resepsi perkawinan orang yang tak dikenalnya setiap Sabtu-Minggu, hanya supaya bisa makan. Atau bagaimana alasannya yaitu tak punya uang untuk naik kereta api kelas ekonomi, dia tak keberatan duduk di kereta barang dengan gerbong sesak penumpang tanpa lampu antara Lumajang-Bandung demi mengejar impiannya. Subhanallah.
Salam,
Akmal Nasery Basral
Koran Tempo, Minggu, 18 Mei 2008
Hadi Susanto: Kebangkitan Nasional Harus Dilakukan Setiap Hari
Tak banyak yang mengenal nama ini: Hadi Susanto. Ia tak beredar di Tanah Air semenjak awal milenium baru, hampir sepertiga dari umurnya yang gres 29 tahun. Apalagi untuk mendengar reputasinya sebagai salah seorang matematikawan muda yang sedang memahat nama di jajaran legenda pakar matematika dunia.
Bahkan para pembaca novel superlaris Ayat-ayat Cintakarya Habiburrahman El-Shirazy pun tak akan menduga bahwa Hadi Susanto yang menulis kata pengantar menarik di novel itu yaitu Hadi yang di umur 27 tahun meraih gelar doktor matematika dari Universiteit Twente, Belanda, dan kini mengajar di Nottingham, Inggris.
Lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Hadi mencecap pendidikan di SDN Kunir Lor 1, SMPN Kunir, dan SMAN 2 Lumajang. Saat di kursi SD, ia selalu terpilih sebagai wakil sekolah dalam lomba cerdas cermat di tingkat kabupaten. Anehnya, begitu bertanding nilainya hampir selalu nol. "Saya selalu grogi melihat anak dari sekolah lain yang selalu tampak keren dan bergaya," katanya.
Kini dunia berbalik. Banyak yang "grogi" melihat prestasi mahasiswa terbaik ITB tahun 2000 yang juga aktif berkiprah di
dunia sastra itu. "It is impossible to be a mathematician without being a poet in soul," ujarnya mengutip Sofia Vasilyevna Kovalevskaya (1850-1891), matematikawan- cum-penyair Rusia perumus teorema Cauchy-Kovalevsky.
Saat dikontak harian ini sebagai calon rubrik "Tamu" berkaitan dengan Hari Kebangkitan Nasional 2008, pada awalnya Hadi menolak. "Saya membaca wawancara Koran Tempodengan Pak Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina– Red.) lewat kiriman e-mailseorang teman. Saya tak sebanding dengan Pak Anies untuk menjadi `Tamu'," katanya dengan bunyi lembut di ujung kanal telepon internasional.
Akhirnya, Kamis lalu, calon ayah yang sedang menunggu kelahiran anak pertamanya pada Juli depan ini bersedia juga diwawancarai wartawan Tempo Akmal Nasery Basral setelah berkorespondensi lewat surat elektronik dalam beberapa kesempatan sebelumnya.
Mengapa berdasarkan matematikawan muda yang 26 karya ilmiahnya sudah muncul di sejumlah jurnal internasional itu kebangkitan nasional tak akan terjadi jikalau hanya muncul dari perayaan yang timbul setahun sekali?
Petikannya:
Anda menuntaskan kuliah dalam tiga tahun dan terpilih sebagai Mahasiswa Terbaik ITB tahun 2000. Bagaimana ceritanya?
Sebetulnya masa kuliah saya hampir empat tahun. Yang kuliah saja memang tiga tahun, tapi memasuki tahun keempat saya menerima kesempatan mengunjungi Belanda selama delapan bulan untuk mengerjakan TA (tugas akhir–Red.) di Universiteit Twente (UT). Begitu diwisuda, saya diumumkan terpilih sebagai akseptor Ganesha Prize, Mahasiswa Berprestasi Utama ITB, dengan hadiah mengunjungi Belanda lagi selama tiga bulan. Oleh UT saya ditawari melanjutkan
kuliah di sana. Maka mulai Agustus 2001 saya mengambil kegiatan kombinasi MSc/PhD untuk periode empat tahun.
Tapi, selesai PhD Anda tidak kembali ke Indonesia. Mengapa?
Selesai dari Twente saya melanjutkan studi post doctoral di Massachusetts, Amerika Serikat. Saya mendapat visiting assistant professorship selama tiga tahun di University of Massachusetts (UMass), Amherst. Kewajiban saya mengajar dua kelas per semester selain kiprah melaksanakan riset. Menjelang selesai di UMass, saya kirimkan sejumlah aplikasi ke universitas di Amerika Serikat dan Eropa.
Akhirnya, semenjak Januari 2008 saya menjadi dosen di University of Nottingham, Inggris. Mengapa saya tidak segera
kembali ke Indonesia, alasannya yaitu saya ingin memperdalam dulu bidang ini. Apalagi kini istri saya sudah di sini. Juli mendatang, insya Allah, anak pertama kami lahir.
Anda terlihat begitu gampang meniti karier. Berpindah-pindah dari Belanda, Amerika Serikat, Inggris, sebagai doktor matematika, padahal usia Anda belum lagi 30 tahun. Apakah semua ini memang
semudah yang terlihat?
Tidak. Dua tahun pertama saya kuliah di ITB, kondisi saya sulit sekali. Saya tak bisa hidup hanya dari beasiswa, harus kerja juga. Uang kerja dan beasiswa yang saya dapatkan dibagi tiga:
untuk kebutuhan saya di Bandung, keperluan orang renta di Lumajang, dan biaya kuliah adik.
Tiap Sabtu-Minggu saya keliling hotel dan gedung resepsi di Bandung bermodal pakaian rapi. Tanpa tahu siapa
yang punya hajat, saya masuk saja ke pesta orang-orang kaya, yang penting bisa makan. Pernah juga sesudah libur Lebaran, ketika kembali ke Bandung saya tak punya cukup uang untuk membeli karcis kereta ekonomi. Akhirnya, saya naik kereta barang, duduk di lantai gerbong bersama sekitar 100-an orang. Perjalanan sekitar 12 jam itu berlangsung malam hari dan tanpa lampu di gerbong saya. Gelap sekali. Mungkin kalau dituliskan bisa jadi Laskar Pelangi (judul novel karya Andrea Hirata–Red. ) versi orang Jawa (tertawa kecil). Itu beberapa rujukan besar. Kalau penderitaan lainnya banyak sekali.
Bagaimana Anda melewati masa-masa sulit itu untuk bersinar di ITB?
Berkat pertolongan dan doa banyak orang. Ketika dosen kuliah agama Islam saya, Ustad Asep Zaenal Ausof, akan berangkat umrah, saya datangi dia dan minta didoakan khusus. Saat itu kehidupan saya sedang di bawah sekali. Usaha orang renta saya yang berjualan kain dan baju di pasar melarat total.
Kami terjebak rentenir sehingga harus jual sawah, dan kesannya satu-satunya rumah yang kami punya persis menjelang saya lulus SMA. Begitu lulus SMA, saya sudah tetapkan untuk tidak kuliah, tapi keluarga saya, terutama ibu,
tidak setuju. Saya harus terus kuliah. Alhamdulillah, saya lulus UMPTN dan diterima di ITB, tapi untuk membayar uang masuk yang beberapa ratus ribu saja kami tak mampu. Akhirnya, saya putuskan lagi untuk tidak mendaftar. Tapi ibu saya berjuang terus hingga detik terakhir. Akhirnya ketika saya bisa berangkat ke Bandung, dalam hati saya cuma ada satu tekad untuk berhasil dan membahagiakan keluarga.
Apa yang mengakibatkan Anda begitu tertarik untuk mendalami matematika?
Sejak SD saya suka mengamati bagaimana angka-angka bisa dimainkan dengan operasi-operasi yang saling berhubungan. Di Sekolah Menengah Pertama saya mulai menyadari bahwa dasar dari fenomena alam di sekitar kita bisa dirumuskan melalui matematika. Ketika sesuatu sudah dituliskan ke dalam persamaan dan rumus, sesuatu itu menjadi berada di tangan
kita yang bisa kita main-mainkan.
Tapi pencerahan saya yang sesungguhnya terjadi di ITB ketika mengikuti ceramah agama yang disampaikan dosen astronomi Pak Mudji Raharto. Beliau salah seorang astronom yang hingga ketika ini selalu menjadi rujukan dalam penentuan awal dan selesai bulan Ramadan. Ada satu bab dari ceramahnya yang menciptakan saya terpana, bahwa alam semesta ini juga bisa dirumuskan dalam formulasi matematika. Saat itu saya berkata dalam hati, "Tuhan niscaya hebat matematika!" Sejak itu pula saya melihat dunia ini ibarat tersusun dari angka-angka. Mungkin ibarat film The Matrix.
Tetapi mengapa bagi sebagian besar siswa Indonesia, matematika jauh dari pengalaman yang menyenangkan ibarat yang Anda alami?
Matematika menjadi sesuatu yang seram bagi lebih banyak didominasi siswa Indonesia alasannya yaitu pesan dari matematika itu sering tidak sampai. Jika kita berguru matematika sebagai sebuah hafalan, maka matematika menjadi tidak seci lagi. Mempelajarinya menjadi sesuatu yang memberatkan. Tapi jikalau kita tahu bahwa yang dipelajari itu adalah, dan tidak lebih dari, "perumuman" dari persoalan sehari-hari yang sudah kita kenal, maka matematika akan menjadi sangat menyenangkan. Di Indonesia ada beberapa matematikawan yang menguasai betul bagaimana menciptakan matematika menjadi menarik, contohnya almarhum Profesor Andi Hakim Nasution yang dulu rutin mengisi kolom di harian Republika dan almarhum Profesor Ahmad Arifin dari ITB.
Anda dikenal juga punya minat yang besar dalam sastra, contohnya dengan menulis kata pengantar novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang kini merupakan film terlaris di
Tanah Air dari jumlah penonton. Puisi-puisi Anda muncul di banyak antologi bersama. Bagaimana korelasi antara matematika dan sastra ini berkelindan dalam kehidupan Anda?
Sebetulnya saya kenal Ustad Abik (nama panggilan Habiburrahman El-Shirazy– Red.) lewat internet. Saya waktu itu di Belanda, ia di Mesir. Kami bertemu di pesantrenvirtual. com. Dari situ sering berdiskusi sastra. Menurut saya korelasi matematika dengan sastra sangat dekat. Untuk bisa menikmati keindahan matematika tidak hanya diharapkan logika, tapi juga perasaan, ibarat halnya seni. Einstein mengatakan, "Pure mathematics is, in its way, the poetry of logical ideas."
Jadi seorang matematikawan intinya seorang penyair?
Kurang lebih. Dan itu bukan cuma pendapat Einstein. Sofia Kovalevskaya, perempuan pertama yang menerima pendidikan formal PhD di Eropa yang terkenal dengan teorema Cauchy-Kovalevsky, juga seorang penyair. Dia bilang, "
It is impossible to be a mathematician without being a poet in soul."
Karl Weierstrass, peletak dasar analisis matematika modern yang juga mentor Sofia, membenarkan ungkapan muridnya dan menambahkan, " It is true that a mathematician who is not also something of a poet will never be a
perfect mathematician. " Kalau kita percaya dengan ucapan Weierstrass ini, maka saya paling tidak penggemar sastra, alasannya yaitu belum bisa disebut sastrawan (tertawa).
Contoh-contoh yang Anda sebut itu dalam konteks apresiasi, bukan? Bagaimana dalam konteks kreasi atau penciptaan karya sastra?
Saya kira contohnya juga banyak. Bahkan Hadiah Nobel di bidang sastra pun ada matematikawan yang memenangkannya. Pada 1904, Hadiah Nobel untuk sastra diberikan kepada dramawan dan matematikawan Spanyol Jose Echegara y. Pada 1950, Nobel Sastra juga diberikan kepada seorang matematikawan, Bertrand Russell.
Dua orang ini disebut matematikawan alasannya yaitu mereka memang profesor matematika. Saya mendengar rumor bahwa pada 1999 seorang matematikawan, associate professor di University of New Mexico,
Gallup, juga sempat dinominasikan sebagai kandidat akseptor Hadiah Nobel sastra.
Apakah korelasi yang dekat antara matematika dan sastra itu juga terlihat di dunia Islam?
Ada, contohnya Omar Khayyam yang terkenal dengan Rubaiyyat-nya itu. Selain sebagai penyair, Omar Khayyam juga terkenal sebagai hebat matematika geometri yang mengoreksi postulat Euklid. Dan saya kira tema-tema ibarat ini harus sering diperbincangkan.
Mengapa?
Saya lihat dunia anak muda di Indonesia terlalu banyak dijejali dengan tayangan infotainment, seolah-olah menjadi artis yaitu satu-satunya jalan yang harus ditempuh semoga bisa sukses dan terkenal. Ditambah dengan program-program pencari talenta yang menunjukkan ketenaran instan yang tanpa disadari sering kali menipu.
Padahal dunia sains juga menunjukkan gaya selebritasnya sendiri, contohnya sesudah buku Sylvia Nasar A Beautiful Mindterbit, publik jadi mengidolakan matematikawan John Nash Jr. (A Beautiful Mind sudah difilmkan dengan judul sama, dibintangi oleh aktor Russell Crowe sebagai John Nash Jr.– Red.) Bahan-bahan ibarat ini cukup banyak. Saya sendiri terinspirasi untuk menulis polemik antara Sylvia Nasar dan Prof. Shing-Tung Yau, salah seorang jenius matematika ketika ini yang juga aktif menulis puisi-puisi Cina. Konflik mereka sangat menarik di dunia matematika, tak kalah hebohnya dengan kisruh Maia-Dhani di televisi Indonesia (tertawa).
Seperti apa sih kalau selebritas matematika berseteru?
Konflik mereka dimulai ketika Nasar menulis artikel di The New Yorker yang menuduh Shing-Tung Yau hendak mencuri kredit atas usaha Grigori Perelman yang berhasil memecahkan satu dari Millennium Prize Problems, yang untuk satu solusi dari masing-masing problem berhadiah satu juta dolar. Dari sini cerita
yang menggemparkan dunia permatematikaan internasional ini bergulir. Kisah ini, berdasarkan saya, menarik untuk dibaca belum dewasa muda di Indonesia, selain buku-buku matematika terkenal yang ditulis oleh mendiang Prof. Hans Wospakrik. Intinya semoga generasi muda kita tahu bahwa pengertian idola dan selebritas itu bukan hanya dari kalangan artis.
Jadi, Anda mengharapkan ada semacam kebangkitan nasional, dari generasi muda khususnya, dalam memaknai masa depan?
Ketika kuliah di Bandung, saya melihat kebangkitan nasional itu hanya motto belaka bagi kawan-kawan yang berasal dari kalangan berada. Dan mustahil perubahan besar yang diharapkan dari kebangkitan nasional itu akan muncul jikalau hanya dihasilkan oleh kesadaran yang muncul setahun sekali. Menurut saya, kebangkitan nasional harus dilakukan setiap hari, yaitu bangun untuk bisa bermanfaat bagi orang banyak, minimal orang-orang yang bisa saya jangkau dengan kedua tangan saya, dengan menciptakan mereka bermanfaat pula bagi orang-orang di sekitar mereka. Dengan saling
menularkan kebangkitan ibarat ini, saya kira, arti kebangkitan nasional itu gres menemukan maknanya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia matematika di Indonesia sekarang?
Profesor Achmad Arifin pernah bilang, "Matematikawan, khususnya aljabar, Indonesia masih berada pada taraf memahami pekerjaan orang lain, belum pada tahap mengembangkan. " Saya kira pendapat ini benar. Lihatlah bagaimana guru besar yang seharusnya menjadi ujung tombak dan tolok ukur kualitas penelitian justru sering kali minim kontribusinya di jurnal-jurnal internasional. Namun, sebagai orang yang semenjak lulus S1 hingga ketika ini belum pernah
tinggal di Indonesia, saya merasa tidak punya hak lebih untuk menyampaikan saran. Mesti begitu, saya tahu niscaya ada banyak dosen dan periset di Indonesia yang terus memegang idealismenya. Mereka orang-orang yang sangat militan di tengah segala keterbatasan dalam melaksanakan penelitian. Pemerintah dan media massa harus membantu mereka.
Ada kisah-kisah yang lucu sebagai dosen matematika di luar negeri?
Aksen bahasa Inggris di Nottingham ini kan berbeda dengan di Massachusetts, jadi saya harus mengikuti keadaan lagi ketika mengajar. Nah, kadang kala begitu ada mahasiswa saya yang bertanya, saya masih belum menangkap inti pertanyaannya, jadi saya bilang, "Coba ulangi lagi?"
Eh, mereka bilang nggak jadi. Mungkin mereka pikir dosennya ini ngetes apakah mereka yakin dengan pertanyaan sendiri
atau tidak (tertawa).
* * *
Nama: Hadi Susanto
Tanggal lahir: Lumajang, 27 Januari 1979
Istri: dr. Nurismawati Maghfira
Pekerjaan:Dosen matematika di University of Nottingham, Inggris
Pendidikan:
* MSc dan PhD dari Universiteit Twente, Belanda
* Sarjana Matematika ITB, Bandung
Penghargaan:
Ganesha Prize (Mahasiswa Terbaik ITB) 2000
Karya Sastra:
Puisi
* Graffiti Gratitude (YMS/Angkasa Bandung, 2001)
* Les Cyberletters: antologi puisi cyberpunk (YMS, 2005)
* Dian Sastro for President #3 (On/Off Book & Insist Press,
2005)
Cerpen
* Merah di Jenin (FBA Press, 2002)
* Jika Cinta (Senayan Abadi, 2004)
* Dari Negeri Asing (Syaamil, 2001)
* Graffiti Imaji (YMS, 2002)
+++++++++++++++++++++++++++
BAGAIMANA MENURUT SAHABAT ? silahkan beri komentar terbaiknya...
AGAR Catatan Inspiratif ini lebih BERMANFAAT, SILAHKAN DI share ke sahabat2 lainnya dengan menekan tombol "share/Bagikan" dibawah catatan ini, SEMOGA menjadi amal jariyah bagi kita semua...:-)
0 Response to "Kisah Inspiratif : Hadi Susanto Doktor Matematika Muda Yang Cemerlang Di Dunia Internasional"
Posting Komentar