Anda Batak Ya..! Harus Baca Ini!
Mencoba mengupdate goresan pena usang yang berasal dari sahabat sewaktu SMA, seorang dokter muda yang berbakat namanya Elisabeth Situmeang. Tulisannya sedikit kontroversial, tapi yang niscaya saya suka dengan tulisannya alasannya ialah alasan yang sederhana yaitu mengangkat realita. Mari kita simak goresan pena dan pesan yang tersimpan didalamnya.
Aku ialah seorang gadis batak asli. Emang dari kecil saya hidup dalam keluarga yang turun temurun suku Batak. Tapi saya tu gak pernah terjun eksklusif mengikuti budaya Batak secara langsung, ntah itu moral atau ikut pesta. Kalo pun menghadiri pesta nikah sahabat ato pun sodara biasanya saya ibarat juga kebanyakan orang niscaya menentukan di daerah resepsi nasional ato daerah kumpulnya anak muda plus seruan nasional [non batak] maksudnya. Selain alasannya ialah saya merasa disanalah komunitasku yang sebenarnya, saya juga merasa emang niscaya lebih asyik aza.
Namun semenjak saya PTT, saya tidak sanggup lagi menentukan daerah ibarat itu jikalau ada pesta. Kenapa tidak? Karena emang di lingkunganku kini hidup, yang namanya pesta itu, semua seruan ya digabung. Gak ada namanya seruan cowok ato nasional. Kalo pun ada yang non Batak [non Katolik lebih tepatnya] tetap kumpul bareng, hanya saja mungkin daerah mereka akan diberikan masakan yang namanya untuk ‘parsubang’.
Akhirnya mau gak mau, saya ya harus mengikuti budaya disini. Apalagi profesi ku menuntut saya tu harus berbaur dengan masyarakat sekitar. Kalo ada keluarga pasien ato pun tetangga ato staf puskesmas ato siapa aja lah penduduk disini pesta, kemungkinan besar saya akan diundang. Nah, disinilah saya sering bgt terjun eksklusif dan ikut bergabung bersama.
Aku tu benar2 kaget, jengkel, ato mungkin stress dengan apa yang kulihat, terutama kalo saatnya makan tiba. Banyak orang yang bawa 3 orang anak. Masing-masing anak tu niscaya pegang 1 piring dengan porsi yang sama banyanya dengan porsi orang tua. Nah, itu saja belum cukup. Para ibu2 biasanya lengkap dengan peralatan perang [kantongan plastik] masing2, ato kadang dimasukkan ke daerah ia membawa beras, yang dinamakan ‘tandok’. Kalo ada pelayan [parhobas] datang, mereka akan selalu bilang ‘dison dope dang adong indahan dohot jagal’ [disini belum ada sanggup nasi dan daging]. Padahal saya tu da lihat dah berulang2 ia terima nasi dan lauk nya. Nah, sehabis ia terima eksklusif dimasukin ke plastik yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Itu sanggup berulang2, apalagi kalo pelayan yang tiba bergantian. Boleh jadi kalo 10 orang pelayannya, 10 kali juga lah ia minta.
Semakin usang saya gres menyadari ternyata gak hanya di daerah ku ini aja yang ada kebiasaan ibarat itu. Karena ketika saya pergi ke daerah lain, tapi tetap dalam konteks ‘pesta batak’, kebiasaan serupa juga terjadi disana. Bahkan terakhir saya pergi pesta ke Tarutung, yang kata orang itu sudah termasuk modern alasannya ialah ibukota kabupaten, tapi hal serupa kutemui juga. Waktu itu saya gabung di daerah ‘rekan kerja’ yang berpesta, padahal judulnya nech ‘rekan kerja’. Sekilas, mungkin kita berpikir, yah pastilah sudah orang yang terpelajar. Entah itu mutlak benar ato tidak, saya juga tidak tahu. Karena saya juga menemui hal yang sama di daerah itu. Ada seorang ibu yang duduk berkelompok dengan teman2 nya [berkisar 8 orang]. Setiap ada pelayan tiba membawa makanan, ia akan menyambut dengan semangat dan eksklusif mengambil beberapa piring. Aku tu gak tahu ntah dah berapa kali hal itu ia lakukan setiap kali ada pelayan masuk. Aku hanya menatap dengan kesal sekaligus gak habis pikir. Padahal dah jelas2 dalam ruangan itu masih banyak bgt yang belum sanggup makanan.
Menatap insiden ibarat itu, selera makan ku pun udah hilang lenyap. Kesal bukan hanya alasannya ialah gak sanggup makan, tapi terlebih besar lagi ‘malu’. Inilah yang mendarah daging jadi kebiasaan suku ku tercinta.
Waktu saya hanya terdiam, ternyata staf [sudah ibu2] yang bekerja 1 instansi denganku berkata ‘kenapa dok, ntar kalo dah ada tiba masakan cepat2 ambil, ntar gak kebagian’. Oalah, kupikir daripada harus berebut ibarat orang yang gak pernah makan, mending saya gak usah makan sekaligus.
Nah, semakin hari saya juga saya sering mendengar kalo ada pesta ato ada perkumpulan ‘bungkuslah, untuk anak di rumah’. Aku sering bilang, makan disini sepuasnya, hingga sekenyang2 nya, tapi jangan bawa pulang, apalagi kalo masih ada sahabat ato orang lain di daerah ini yang gak kebagian. Kalo pun mau bawa pulang, harus semua orang disini dulu sanggup bagian. Trus jawabannya malah buat saya makin jengkel ‘yah alasannya ialah dokter belum jadi mama2 dan punya anak aja, maka gak lakuin hal yang sama ibarat kami. Itu sudah jadi budaya batak dok, harus memikirkan anak’.
Sejujurnya saya tidak pernah aib mengaku saya ‘suku Batak’. Tapi aib bgt dengar statement tadi ‘budaya batak mengambil porsi orang lain untuk anak’. Oh, betapa memalukannya sebenarnya. Kalo sudah jadi budaya batak memikirkan anak2, ok kita mungkin gembira dengar hal itu, sesuai dengan yg ada di lagu ‘anakonki do hamoraon di au’ [anakku ialah kekayaan bagiku]. Tapi kalo, budaya batak ‘merebut masakan sebanyak2 nya untuk dibawa ke anak di rumah’. Menurutku ini bukan lah sayang anak, tapi ‘tamak’. Sungguh memalukan.
Untuk teman2 [mungkin terutama untuk perempuan terlebih2 lagi kaum ibu :-]. yang baca blog ini dan termasuk dalam komunitas ‘suku Batak’, mungkin kita dilarang menutup mata dengan tradisi ini. Kita sanggup memulai dari lingkungan kita sendiri dimanapun kita berada, pertama jangan pernah ikut kebiasaan itu, kita harus jadi contoh. Atau mungkin, jikalau ada ide2 lain, boleh memperlihatkan saran melalui blog ini. Demi mencapai ‘suku batak yang bermoral tinggi’.. Thnx.
Mari kita lihat belum dewasa SD kreatif ini coba memperlihatakan bagaimana kehidupan sehari-hari kita dalam sebuah fragmen;
0 Response to "Anda Batak Ya..! Harus Baca Ini!"
Posting Komentar