iklan

Zuhud Sosial

Sebagaimana telah kita ketahui dalam pandangan kaum sufi, dunia dan segala isinya yaitu merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang sanggup menjauhkannya dari Tuhan. Karena hasrat, cita-cita dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menimbulkan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidupnya, sehingga memalingkannya dari Tuhan. Oleh sebab itu, maka seorang sufi dituntut untuk terlebih dahulu memalingkan seluruh aktifitas jasmani dan ruhaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian segala apa yang dilakukannya dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan. Perilaku inilah yang dalam terminologi sufi disebut zuhud.[1]
Perilaku/sikap zuhud dalam kalangan sufi sangat diutamakan dan benar-benar ditampakkan dalam perilaku dan tingkah laris para sufi dalam kehidupan sehari-hari. Zuhud ini pada hakikatnya yaitu membelakangkan semua mata benda dunia. Dengan kata lain zuhud yaitu tidak terlalu menghiraukan dunia.[2] 

Pengertian Zuhud 

Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan maqam yang sangat menentukan. Sehingga hampir seluruh andal tasawuf selalu menyebutkan zuhud sebagai salah satu maqam-nya. Hanya saja masing-masing dengan urutan yang berbeda, dan diantara yang disebut strukturnya oleh para andal tasawuf, zuhud merupakan sebutan dari salah satu maqam yang selalu ada di dalamnya. Dapat dikatakan pula bahwa pengertian zuhud yang diungkapkan oleh para andal hampir mirip pengertian-pengertian maqam-maqam yang lainnya, bahkan lebih dari itu, seluruh maqam yang disebut oleh para sufi merupakan pengejawantahan dari zuhud. Hal ini sanggup dilihat dari ungkapan para andal tasawuf wacana zuhud.
Al-Junaidi menyatakan bahwa, zuhud yaitu kosongnya tangan dari pemilikan dan kosongnya hati dari pencarian. Sufyan Tsuri menyampaikan zuhud terhadap dunia yaitu membatasi memakan masakan kasar, atau menggunakan jubah dengan kain kasar.[3]
Sikap zuhud dalam kalangan sufi sangat diutamakan dan benar-benar ditampakkan dalam perilaku dan tingkah laris para sufi dalam kehidupan sehari-hari. Zuhud ini pada hakikatnya yaitu membelakangkan semua mata benda dunia, dengan kata lain zuhud yaitu tidak terlalu menghiraukan dunia. Dalam hal ini khalifah Ali bin Abi Thalib ra pernah ditanya wacana zuhud, ia menjawab: "Zuhud ialah hendaklah kau tidak terpengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap keduniawian, baik dari orang mukmin atau dari orang kafir".
Syaikh Abdul Qasim al-Junaidi al-Baghdadi memperlihatkan pengertian: "Zuhud yaitu bersifat bahagia memberi dari harta yang dimiliki sehingga tak mempunyai harta, serta tidak mempunyai sifat serakah".
Menurut tokoh sufi lainnya, Masruq mengemukakan pandangannya, bahwa zuhud yaitu seseorang yang mempunyai sifat selalu tidak mempunyai sebuah kecuali sebab kemurahan dari Allah". Sedangkan secara sederhana Yahya memperlihatkan pandangan pula: "Yang dimaksud dengan zuhud yaitu meninggalkan sifat-sifat kikir".
Sebagian ulama yang lain berkata: "seorang zahid yang sesungguhnya ialah orang yang tidak pernah mencela dunia dan tidak pernah memujinya, jikalau dunia datang, ia tidak bergembira ria dan jikalau dunia pergi darinya ia tidak perlu berduka cita".[4]
Dalam aliran tasawuf dijelaskan bahwa Allah Ta'ala telah merendahkan kedudukan dunia dan telah menamakannya dengan aneka macam nama yang belum pernah dinamakan oleh orang. Allah SWT berfirman: 
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ 
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, aksesori dan bermegah-megah antara kau serta berbangga-banggaan wacana banyaknya harta dan anak.(Q.S al-Hadid : 77).[5] 
Secara etimologi zuhud berarti raqobi ansya'in watarakuhu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya, zahaba di al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Sedangkan secara terminologi arti zuhud tidak bisa dilepaskan dari dua hal yang pertama, zuhud sebagai cuilan yang tidak terpisahkan dari tasawuf, kedua zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes.
Ketika tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi eksklusif antara insan dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan. Maka zuhud merupakan suatu stasiun (makam menuju tercapainya "perjumpaan" atau "makrifat kepada-Nya").[6]
Pengertian lain dari zuhud perilaku menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia seorang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak menjadikannya sebagai tujuan, hanya sarana untuk mencapai derajat ketaqwaan yang merupakan bekal untuk akhirat.[7]
Allah berfirman dalam surat an-Nisa [4]: 77 yang artinya : "Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan alam abadi itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa". 

Tahapan-tahapan Zuhud 

Kutipan suatu versi wacana makna zuhud atau asketisisme yang inklusif dalam kehidupan ini berasal dari ibn Qayyim al-Jauzi (t.th : 12) yang mengutip dari pendapat Imam Ahmad bin Hambal, ia menyebutkan tiga tahapan yang harus dilalui dalam zuhud. 
1.      Meninggalkan segala yang haram (zuhud orang awam) 
2.      Meninggalkan hal-hal yang berlebihan dalam kasus yang halal (zuhud orang kawwash) 
3.      Meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah (zuhud orang arifin).
Bila definisi Ibn Qayyim al-Jauziyah saja yang kita pegang, maka setidaknya kita bisa menjabarkan beberapa nilai derivative dari makna zuhud ini, untuk usaha-usaha perbaikan hidup.
Meninggalkan hal-hal yang haram menuntut seseorang untuk mencari penghasilan secara nrimo lewat kerja keras, menghindari hal-hal yang merugikan orang lain, dan membuat pekerjaan yang mempunyai nilai sosial yang tinggi.
Menghindari hal-hal yang berlebihan, walaupun halal, memperlihatkan perilaku hemat, sederhana, menghindari perilaku berlebihan, kemewahannya.[8] 

Zuhud Abad Modern 

Dengan memegangi al-Qur'an dan hadits sedikit berbeda dengan paradigma sufisme awal yang sering menjerumuskan orang ke dalam posivitas hidup, neo-sufisme sebaliknya duduk kasus menekankan kembali perilaku positif kepada dunia.
Tokoh-tokoh neo-sufisme mirip al-Qashash 9w.1071/1693) – guru dari Abd Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Makassari – tidak hanya menekankan pentingnya aktivitisme intelektual, tetapi juga menekankan pentingnya aktivisme dalam bentuk-bentuk yang lebih praktis. Seperti al-Qashash pernah menghimbau kaum muslimin semoga meninggalkan waktu untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Dia menekankan semoga kaum muslimin menjalankan tugas-tugas keduniawian untuk mencapai pemenuhan spiritual. Menurutnya, sufi yang sesungguhnya bukanlah sufi yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, membantu orang sakit dan miskin dan membebaskan mereka yang tertindas, sufi yang sesungguhnya yaitu sufi yang bisa melaksanakan ta'awun dengan muslim lain dan sesama insan untuk kemajuan masyarakat. Inilah bererapa pola yang dilakukan oleh setiap sufi yang berharap sanggup menjadi insan yang tepat (insan kamil).
Dari uraian dan kutipan kutipan di atas nampak terang bahwa neo-sufisme yaitu esolerisme atau penghayatan keagamaan batin yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam kerja-kerja kemasyarakatan. Sesekali menyingkirkan diri untuk uzlah mungkin ada baiknya tetapi hal ini dilakukan untuk mendengarkan kembali wawasan dan pandangan, yang kemudian dijadikan titik tolak untuk pelibatan diri dan aktivitas, maka hal tersebut perlu dipikirkan lebih lanjut.[9]

Kesimpulan
Zuhud secara etimologis, zuhud berarti raghaba' ansyaiin watarakuhu artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat wacana faktor-faktor zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh pitagoras yang mengharuskan kehidupan bahan dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah yang menghipnotis timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh aliran protenus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian ruh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, imbas Budha dengan paham nirwananya, bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki kontemplasi. Kelima, imbas aliran Hindu yang juga mencorong insan dan mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk mencapai persatuan Adman dengan Brahman.



DAFTAR PUSTAKA
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Moh. Saifullah al-Aziz Sehali, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Terbit Terang, 1998.
al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag RI, 2004.
M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 1997.
M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
M. Amin Syukur, dan Abdul Muhayya, Tasawuf dan Krisis, Walisongo Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 2001.

[1] Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 34-35
[2] Moh. Saifullah al-Aziz Sehali, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Terbit Terang, 1998, hlm. 228
[3] Hasyim Muhammad, op.cit., hlm. 34-36
[4] Moh. Saifullah al-Aziz Sehali, op.cit., hlm.129
[5] al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag RI, 2004
[6] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 1997, hlm. 1
[7] M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 14
[8] M. Amin Syukur, dan Abdul Muhayya, Tasawuf dan Krisis, Walisongo Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 2001, hlm. 43-45
[9] Ibid., hlm. 38-45

Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Zuhud Sosial"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel