iklan

Zuhud Dan Urgensinya Di Zaman Modern

Perjalanan hidup insan sebagai hamba Allah untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki yakni untuk selalu akrab dengan Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Tingkat kesucian dan kesempurnaan seorang hamba sangat bervariasi mulai dari yang awam hingga yang ma’rifatullah. Untuk itu jiwa seseorang memerlukan training dan pendidikan mental yang panjang, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat batin.
Dalam dunia tasawuf, seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya, harus melaksanakan perjalanan (suluk) dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhannya, yaitu dunia materi. Dalam tasawuf sikap ini disebut zuhud. Adapun posisi zuhud dalam tasawuf yaitu sebagai maqam (stasion-stasion yang harus dilalui dan diusahakan oleh seseorang dalam pencapaian tujuan tasawufnya). 

Pengertian Zuhud

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyaiin watarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunyâ, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk beribadah.[1] Orang yang melaksanakan zuhud disebut zâhid, zuhhâd, atau zâhidûn artinya kecil atau sedikit.[2]
Harun Nasution menyampaikan bahwa zuhud yaitu meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[3] Zuhud juga berarti tidak merasa gembira atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih alasannya yaitu hilangnya kemewahan itu dari tangannya, sebagaimana firman Allah:
(Kami jelaskan yang demikian itu) agar kau jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan agar kau jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Al-Hadid : 23).
Ibnu Abbas r.a berkata:
“Zuhud terdiri dari tiga huruf, yaitu: Zay, Ha dan Dal. Zay (zad) yaitu bekal untuk hari kemudian, Ha (huda) yaitu petunjuk agama dan Dal (Dawam) yaitu awet dalam menekuni, melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT”.
Dalam kesempatan lain Ibnu Abbas r.a berkata ihwal zuhud:
“Zuhud itu terdiri dari Zay (Zinatun = keindahan), dalam arti meninggalkan keindahan (sehingga tidak duduk terpukau), Ha (Hawa =  hawa nafsu) dalam arti meninggalkan hawa nafsu (sehingga tidak tertipu oleh foya-foya dan melaksanakan maksiat lainnya), dan Dal (dunya) dalam arti menjauhi keduniawian (artinya memanfaatkan keduniawian di jalan Allah SWT)”.[4] 

Faktor Zuhud 

Para sarjana, baik dari kalangan orientalis, maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat ihwal faktor yang mempengaruhi munculnya zuhud. Meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan aneka macam fatwa filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya fatwa filsafat maupun fatwa agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, dan sebaliknya banyak dijumpai nas agama yang memberi motif berinfak demi memperoleh pahala alam abadi dan terselamatkan dari siksa api neraka. Allah menggambarkan kehidupan dunia dalam surat al-Hadid : 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, pelengkap dan bermegah-megah antara kau serta berbangga-banggaan ihwal banyaknya harta dan anak, menyerupai hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian flora itu menjadi kering dan kau lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di alam abadi (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS. Al-Hadid : 20).
Sementara ada ayat yang memperlihatkan bahwa kehidupan di alam abadi lebih baik dari pada kehidupan di dunia:
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang kini (permulaan)”. (QS. Ad-Dhuha : 4)
 …Dan sesungguhnya alam abadi itulah yang bekerjsama kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (QS. Al-‘Ankabut : 64)
Selanjutnya Allah SWT menegaskan bahwa dengan adanya dua alternatif tersebut, insan dipersilahkan menentukan yang mana, diantara dua pilihan tersebut: 
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah daerah tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhan-Nya dan menahan diri dari harapan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah daerah tinggal(nya)”. (QS. An-Nazi’at : 37-41).[5]
Rasulullah juga bersabda: 
“Orang yang senang memberi itu akrab dengan Allah, akrab dengan manusia, dan akrab dengan surga. Sedangkan orang bakhil jauh dari Allah, jauh dari insan dan akrab dengan neraka”. (H.R Tirmidzi).
Kebakhilan merupaka©n buah dari kecintaan terhadap dunia, sedangkan kedermawanan itu merupakan buah dari sikap zuhud.
Rasulullah bersabda pula:
“Berzuhudlah kau di dunia, pasti Allah akan menyukaimu. Dan berzuhudlah kau terhadap apa yang ada di tangan orang lain, pasti orang banyak akan menyukaimu”. (HR. Hakim).
Sebenarnya masih banyak sekali dalil-dalil yang mengajarkan ihwal zuhud. Dan dari ayat-ayat di atas sanggup disimpulkan bahwa zuhud yaitu keberpalingan dari semua bab kehidupan dunia yang dicenderungi oleh hawa nafsu, kepada segala sesuatu yang lebih baik daripadanya. Dengan pengetahuan dan anggapan bahwa apa yang ditinggalkannya itu yaitu sesuatu yang rendah dan hina dibanding apa yang diambilnya.
Zuhud tidak sekedar sikap tidak mempedulikan harta, akan tetapi yang bekerjsama yaitu suatu sikap yang terpateri di dalam jiwa (batin) dan merupakan bab dari jiwa itu sendiri. 

Zahid 

Seorang zahid hendaklah memperhatikan tiga perkara berikut ini di dalam batinnya: 
  1. Jangan merasa senang atas adanya sesuatu, dan jangan merasa susah atas tiadanya sesuatu. 
  2. Hendaklah sama perasaannya dalam menghadapi kebanggaan dan celaan 
  3. Hendaklah kesenangannya semata-mata alasannya yaitu Allah, dan hendaklah hatinya dikuasai oleh manisnya ketaatan.[6] 
Seseorang yang menyibukkan diri dengan mengedepankan segala hal yang mubah, itu bertentangan dengan zuhud yang disyariatkan. Maka, kalau dia sibuk dengan segala hal yang mubah sehingga mengabaikan perbuatan yang wajib dia telah berbuat maksiat. Apabila tidak demikian, dia berkurang tingkatannya dari orang-orang yang akrab kepada Allah dan termasuk dalam tingkatan orang-orang muqtashid (pertengahan).[7]
Ibrahim Ibnu Adham pernah ditanya : “Dengan cara bagaimana tuan mencapai derajat zahid (orang yang zuhud)?” Jawab beliau: “Aku mencapai derajat zuhud dengan tiga hal: 
“Mengingat kubur (mati), hatiku menjadi hampa, sedang padaku tidak ada yang sanggup menenteramkan hatiku (karenanya saya selalu mengingat Allah SWT). Aku memandang bahwa perjalanan (menuju alam abadi itu) amat jauh, sedangkan saya tidak memiliki bekal (karenanya saya persiapkan kepentingan dunia ini untuk bekal di akhirat). Aku yakin bahwa Allah SWT yaitu Hakim Yang Maha Perkasa, sedangkan saya tidak memiliki alasan untuk menolak Putusan-Nya (karenanya saya berusaha menjauhi segala larangan-Nya dan berusaha melaksanakan segala perintah-Nya).[8] 

Perspektif Para Sufi ihwal Zuhud

Hasan Bashri (632-721) dianggap oleh golongan sufi sebagai orang pertama yang membicarakan dan mengajarkan ihwal tasawuf. Diantara fatwa dia ihwal zuhud, dia beropini bahwa dunia yaitu negeri daerah beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dalam rasa benci kepadanya atau zuhud, akan berbahagia, dan memperoleh faedah. Tetapi barangsiapa yang tinggal dalam dunia, kemudian hatinya rindu dan perasaannya tersangkut kepadanya, karenanya dia akan sengsara.
Kemudian Abdul Qadir Jailani, tokoh sufi dan tarekat dari Baghdad berkenaan dengan duduk perkara zuhud ini, berpijak pada firman Allah SWT surat Thaaha : 131. 
Dan janganlah kau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kau yaitu lebih baik dan lebih kekal”.
Tetapi tokoh sufi yang berbicara ihwal zuhud secara panjang lebar tidak lain ialah al-Ghazali. Ia menyatakan bahwa zuhud secara keseluruhan berarti benci kepada yang disukai dan berpaling kepada yang lebih disukai. Orang yang tidak menginginkan kepada sesuatu selain Allah SWT hingga nirwana sekalipun diabaikan, maka orang semacam inilah yang disebut zuhud mutlak. Orang yang tidak menginginkan setiap keberuntungan di dunia tetapi tidak zuhud pada keberuntungan di alam abadi menyerupai bidadari, istana, sungai-sungai yang mengalir, dan buah-buahan maka dia juga orang zuhud, tetapi derajatnya kurang dari pada zuhud mutlak. Orang yang meninggalkan keberuntungan dunia sebagian dan mendapatkan sebagian menyerupai orang yang menolak harta benda tetapi mendapatkan kemegahan, maka berdasarkan andal zuhud orang yang menyerupai ini derajatnya sama dengan orang yang bertaubat dari sebagian perbuatan maksiat.
Sikap zuhud yang dilakukan golongan sufi merupakan suatu sikap yang berlebih-lebihan. Untuk ini Muhammad Rasyid Ridha menyatakan bahwa Islam melarang insan berlebih-lebihan dalam agama dan memberantas ajaran-ajaran penyiksaan diri demi agama. Hal ini disyaratkan dalam firman Allah SWT: 
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan”. (QS. Al-A’raf : 31). 
Kemudian di dalam penciptaan alam semesta terdapat kebaikan, keindahan, keharmonisan, segala sesuatu di dalam alam semesta telah diciptakan untuk dimanfaatkan dan dinikmati manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT : 
Dia-lah Allah, yang menimbulkan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah : 29).[9] 

Urgensi Zuhud di Zaman Modern

Sebagai tanggapan modernisasi dan industrialisasi, kadang kala insan mengalami degradasi susila yang sanggup menjatuhkan harkat dan martabatnya, meluncur bagaikan binatang, bahkan lebih hina dari padanya.
Kehidupan modern menyerupai kini ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi bahan gemerlap ini. Antara lain sifat at-Tama’, yaitu sifat loba dan sifat al-Hirs, yaitu sifat harapan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat-sifat menyerupai inilah yang pada karenanya menumbuhkan sikap menyimpang menyerupai korupsi dan manipulasi.[10]
Dalam kaitannya dengan problem masyarakat modern, maka secara mudah tasawuf memiliki potensi besar alasannya yaitu bisa menyampaikan pembebasan spiritual, ia mengajak insan mengenal dirinya sendiri, dan karenanya mengenal Tuhannya. Tasawuf sanggup memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka tanggapan pendewaan mereka terhadap Tuhan, menyerupai bahan dan sebagainya.[11] 

KESIMPULAN
Sebenarnya tidak diharapkan ilmu lebih jauh untuk memahami pengertian zuhud, yaitu bahwa alam abadi lebih baik dan lebih kekal. Karena kadang kala mereka yang tidak mau meninggalkan dunia juga mengetahui hal-hal yang demikian, tetapi alasannya yaitu lemah ilmu dan keyakinan, atau alasannya yaitu dikuasai oleh hawa nafsunya, atau alasannya yaitu dipaksa oleh tangan-tangan setan, maka pada karenanya ia tertipu, sementara simpulan hidup menjemputnya.
Sikap insan terhadap dunia, sebagaimana yang telah diharapkan dan dituntun oleh al-Qur’an, memiliki nilai-nilai yang sangat positif dan merupakan senjata yang ampuh bagi insan dalam menghadapi kehidupan, khususnya di kurun modern ini yang sarat dengan problema, baik psikis, ekonomis, dan etis. Zuhud sanggup dijalankan sebagai benteng membangun diri dalam menghadapi gemerlapnya materi.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warsun Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Ibnu Hajar al-Asqolani, Nasihat dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia, CV. Diponegoro, Bandung, 1993.
Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Abu Ridho, Terjemah Mau’idhotul Mukminin, Asy-Syifa’, Semarang, 1993.
Ibnu Taimiyah, Mengenali Gerak Gerik Kalbu, Pustaka Hidayah, Bandung, 2001.
Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

[1] Ahmad Warsun Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984, hlm. 626.
[2] Ibid., hlm. 308.
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 56.
[4] Ibnu Hajar al-Asqolani, Nasihat dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia, CV. Diponegoro, Bandung, 1993, hlm. 41.
[5] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 7-9.
[6] Abu Ridho, Terjemah Mau’idhotul Mukminin, Asy-Syifa’, Semarang, 1993, hlm. 750.
[7] Ibnu Taimiyah, Mengenali Gerak Gerik Kalbu, Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, hlm. 35.
[8] Ibnu Hajar al-Asqolani, op.cit., hlm. 40.
[9] Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 125-127.
[10] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., op.cit., hlm. 181.
[11] Ibid., hlm. 179.

Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Zuhud Dan Urgensinya Di Zaman Modern"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel