iklan

Nikah Mut’Ah Dalam Perspektif Islam

Problema secual merupakan sebuah realitas yang betul-betul terjadi. Manusia apapun mustahil sanggup mengabaikannya dan menganggap cukup bahayanya. Hal ini merupakan sebuah problema yang terjadi sepanjang sejarah. Sejak insan lahir, tumbuh, dan bermetamorfosis remaja telah di beri oleh Allah SWT nafsu secual demi kebaikan dan kemaslahatan semua umat manusia. Akan tetapi, pada zaman kita kini ini, problema secual telah semakin parah bahayanya dan makin rumit, berbeda dengan zaman sebelumnya, karena adanya pergaulan bebas yang tidak mengenal batas antara dua jenis kelamin pada pelbagai tempat.
Masalah kawin mut’ah ialah topik yang banyak diperbincangkan di antara kita, mulai dari zaman Nabi hingga kini ini. Salah satu yang terkandung dalam perkawinan mut’ah ialah memudahkan kehidupan free sec yang tidak terikat dengan ikatan apapun, dan terlepas dari tanggung jawab perkawinan.[1]
Dalam literatur yang ada ternyata nikah mut’ah di kenal dikalangan syi’ah, selain faham syi’ah tidak membenarkan berlakunya nikah mut’ah setelah ditanya larangan dari Nabi Saw, dalam hadits shahihnya.

Pengertian Nikah Mut’ah

Menurut philology bahasa dikatakan, bahwa ini bertema dengan rumpun kata kawan, yang berarti teman, sahabat, sehingga kawin mengandung arti yang sama. Perbedaannya hanya kawin dengan “A” dan pada kawin dengan “I”. ini memberi arti yang sedikit berbeda dan membawa arti yang lebih mendalam. Dalam Islam, bergotong-royong kawin hendaklah mengetahui calon pasangannya sekalipun tanpa persahabatan. Dan harus berdasarkan suka sama suka tidak ada paksaan dari siapapun.  Tidak pula boleh di sebabkan oleh sesuatu problema sebelumnya yang menyebabkan perkawinan itu terpaksa di lakukan.
Perkawinan Islam bukan semata hubungan jasmani untuk kemaslahatan hawa nafsu dan bersifat sementara di waktu diharapkan belaka. Selain itu bahwa perkawinan ialah melestarikan hidup duniawi dengan melahirkan keturunan yang menyusul untuk menjayakan bumi Allah.
Perkawinan dalam Islam dinamakan “Zawaj” atau “Nikah”, artinya pasangan dalam arti dua mahkluk di jadikan pasangan hidup. Ada juga yang mengartikan bahwa nikah ialah komitmen yang mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang menghalalkan dua jenis insan untuk hidup secara halal dalam hubungan yang sah secara mendalam dimana mendapat persetubuhan yang menjaga hawa nafsu, mata dan fikiran dari perilaku yang menjerumuskan dan membahayakan.[2]Kata mut’ah di artikan kesenangan atau hiburan. Dilihat dari arti bahasa ini, maka mut’ah artinya ijab kabul semata-mata untuk tujuan hiburan, memuaskan syahwat. Dalam arti istilah mut’ah ialah perkawinan sementara dengan tujuan semata-mata mencari kepuasan secual bagi pihak pria dan pihak wanita. Bagi pihak perempuan boleh jadi bisa di jadikan perkawinannya. Setelah masa perkawinannya usai, dengan sendirinya ikatan itupun terputus, pihak perempuan mendapat upah.[3]
Kaprikornus nikah mut’ah ialah nikah yang di lakukan seseorang dengan tujuan semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah tersebut dihentikan karena di lakukan untuk waktu yang terbatas dan tujuannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang di syari’atkan.[4]

Syarat Mut’ah

Ketika Islam belum turun, nikah mut’ah ternyata sudah membudaya di masyarakat. Pada ketika itu syariat Islam belum melarangnya. Hikmahnya ialah agar aqidah Islam meresap dahulu, gres setelah pemahaman aqidah meresap larangan mut’ah diberlakukan.
Seluruh kaun muslimin setuju bahwa Islam telah menghalalkan ijab kabul mut’ah selama beberapa hari pada insiden penaklukan kota Makkah yaitu selama tiga hari saja (Nabi yang Agung dan selalu menjaga kemaluan menghalalkan ijab kabul mut’ah kepada para sahabatnya untuk bermut’ah), yang terjadi pada tahun ke-5 H.[5] Sesuai sabda Rasul :
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعٍ رَضِيَ اللهُ قَـالَ : رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. مَـامَ اَوْطَاسٍ فِىالْمُتْعَةِ ثَلاَثَةَ أَيَّـامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
Dari Salamah bin al-Akwa, r.a, ia berkata: Pernah Rasulullah S.a.w membolehkan perkawinan mut’ah pada hari (peperangan) authas selama tiga hari, kemudian setelah itu Ia larang”. (H.R. Muslim)
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَـالَ : إِنَّـمَاكَانَتِ الْمُتْعَةُ فِىاَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَنَّهُ يُقِيْمُ فَنَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَتُصْلِحُ لَهُ سَاءْ نَهُ (رواه الترمذى)
“Dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adakah kawin mut’ah pada awal Islam, ialah seorang pria masuk ke satu negeri yang tidak ada baginya di jalin kenalan, kemudian ia kawin kepada seorang perempuan sekedar masa yang ia rasa, bahwa ia akan tinggal di sana, maka perempuan itu pelihara barang-barangnya dan mengurus keperluannya”. (H.R. Tirmidzi)[6]
Melihat dari sejarah di atas, maka Golongan syi’ah mengartikan dan menyimpulkan bahwa nikah mut’ah itu boleh di lakukan bagi umat Islam, sesuai apa yang telah diperbolehkan tanpa memahami setelah itu Rasul melarangnya. Di sini akan dibahas sedikit di kalangan Syi’ah ihwal nikah mut’ah. 

Nikah Mut’ah Halal di Kalangan Syi’ah

Menurut syi’ah, mut’ah tidak boleh di lakukan kembali oleh orang yang mengetahui dengan benar. Maksudnya percaya dengan riwayat-riwayat bohong yang mengatas-namakan ucapan andal bait dan yang mengetahui kebebasan sec. Jika ia percaya pada hal itu, halal baginya nikah mut’ah. Sementara terhadap orang yang tidak mengetahuinya haram.
Nikah mut’ah yang berlaku di kalangan syi’ah ialah dengan batas waktu yang terang dan dengan imbalan upah yang terang pula. Ketentuan ini secara otomatis batal setelah masa yang telah ditentukan itu berakhir. Adapun mengenai sighad (akad) nikah mut’ah ialah menyerupai yang diriwayatkan dari Abban bin Thaghlib, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu Abdullah : “Apa yang akan saya katakan kepada perempuan bila saya bersunyi-sunyian dengannya? Ia menjawab : kau menyampaikan : Aku menikahimu secara mut’ah atas dasar Kitabullah dan sunnah Nabi, tidak waris-mewarisi, selama sekian hari dan kalau kau menghendaki, untuk sekian tahun, dengan imbalan sekian dirham. Kamu sebutkan imbalannya berdasarkan yang telah disepakati, sedikit atau banyak. Jika ia menyampaikan ya, berarti dia rela dan ia telah menjadi istrimu.[7]

Hukum Nikah Mut’ah

Menurut sumber terang sekali, aturan nikah mut’ah itu haram, lain lagi dengan faham syi’ah. Mereka membolehkan nikah mut’ah sebagaimana pendapat umum mengetahuinya. Tentu saja mereka beralasan pula, bahkan memakai ayat dan hadits sebagai alasannya.
Pembenaran pemahaman mut’ah didasarkan atas tafsir keliru, yaitu penggunaan ke-24 dari surat an-Nisa’, yang artinya : “Kalau kau melaksanakan nikah mut’ah, maka bayarlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban”. Ayat ini sengaja dipenggal agar maknanya tidak sama dengan tafsiran jumhur ulama Sunni. Padahal ayat ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan nikah mut’ah, akan tetapi membicarakan soal mahar bagi istri yang sah di nikahi.
Imam al-Qurthubi, seorang ulama Sunni menulis dalam tafsirnya bahwa Q.S. an-Nisa’ : 24, dipahami oleh lebih banyak didominasi ulama sebagai izin melaksanakan nikah mut’ah, tetapi itu pada awal masa Islam dan izin tersebut telah di cabut atau dibatalkan. Memang sekian banyak hadits sahih yang menunjukan bahwa nikah mut’ah pernah di lakukan oleh para sahabat Nabi dan dia tidak melarangnya, namun kemudian dibatalkan.[8]

Hukum Nikah Mut’ah yang terdapat dalam Nas al-Qur’an

1)      Q.S. al-Baqarah [2] : 241
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ  (البقراة : 241)
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah berdasarkan yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Q.S. al-Baqarah : 24).[9]
2)      Q.S. an-Nisa’ [4] : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا مَلَـكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَـكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلـِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِـكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُـوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (النـساء : 24)
“Dan (diharamkan juga kau mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kau miliki*b (Allah telah memutuskan aturan itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kau selain yang demikian*c (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kau nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kau terhadap sesuatu yang kau telah saling merelakannya, setelah memilih mahar itu.*d Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. an-Nisa : 24)[10]
3)      Q.S. al-Mu’minun [23] : 5-6
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.[11]
Dalam surat al-Mu’minun: 5-6, tidak disebut mut’ah, sehingga dengan demikian ayat ini melarangnya atau dengan kata lain nikah mut’ah tidak menjadi sebagai salah satu cara yang dibenarkan untuk menyalurkan nafsu secual.
1)      H.R Hasan, Thabrani
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْرٍ السَّـاعِدِى قَالَ : إِنَّمَـا رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فيِ الْمُتْعَةِ لِحَاجَةٍ كَانَتْ بِالـنَّاسِ شَرِيْرَةٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَابَعْرُ (رواه حسن الطبرا نى)
Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran ihwal mut’ah itu melainkan karena satu keperluan yang sangat mengenai orang-orang, kemudian setelah itu Nabi larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)
2)      H.R Thabrani
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ غَزِيَّةَ قَـالَ : سَمِعْتُ النَّبِيُّ ص.م. يَـوْمَ فَتْحُ مَكَّةَ يَقُوْلُ مُتْعَـةُ النـِّسَاءِ حَرَامٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (رواه الطبرانى)
Dari Harits bin Ghaziyah, ia berkata : Aku dengar Nabi S.a.w berkata pada hari menaklukkan Makkah, kawin mut’ah dengan perempuan haram (Beliau berkata begitu) tiga kali” (H.R. Thabrani)
3)      H.R Ahmad dan Muslim
عَنْ سُبْرَةَ الْجُهَنِيِّ أَنَّـهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص.م. فقال: يَـاآيُّـهَاالنَّـاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِىاْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ وَلاَ تَـاءْ خُرُوْ مِمَّااَتَيْتُمُوْ هُنَّ شَيْئًا (رواه احمد ومسلم)
Dari Saburah al-Juhani bahwa ia pernah berpegang bersama Rasulullah S.a.w dalam menaklukkan Mekkah, Rasulullah kemudian bersabda : Saudara-saudara sekalian! Sesungguhnya Aku dahulu mengizinkan kalian melaksanakan nikah mut’ah. Ingatlah! Sesungguhnya (mulai hari ini) Allah telah melarangnya hingga hari tamat zaman nanti, karena itu barang siapa yang ada padanya perempuan nikah mut’ah, hendaklah ceraikan dia dan janganlah kau ambil satu pun dari apa-apa yang kau telah berikan kepada mereka.” (H.R. Ahmad dan Muslim)[12]

Pendapat para ulama ihwal Nikah Mut’ah

1)      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Dalam kitabnya Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, menyatakan tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang membolehkan ijab kabul mut’ah. Kaum Sunni tidak saja mengikuti pendapat Umar bin Khattab, tapi juga seluruh Khulafaur Rasyidin termasuk sahabat Ali r.a yang oleh kalangan syi’ah dimuluskan (tidak sepengetahuan sahabat Ali r.a itu sendiri). Anehnya, kaum Syi’ah justru membolehkannya, padahal Ali r.a melarangnya, tidak menyetujui.
2)      Ulama Sunni
Ulama Sunni menilai walaupun terdapat perbedaan ihwal problem dibatalkannya, namun yang terang bahwa keseluruhan riwayat tersebut setuju menyatakan dilarangnya nikah mut’ah, dengan demikian tidak perlu dipersoalkan lagi ihwal waktu pelarangannya, yang penting ialah larangannya.[13]

ANALISIS
Dari pembahasan ihwal nikah mut’ah ini, pemakalah sanggup mengambil sebuah kesimpulan, pada awalnya Rasulullah S.a.w memang memperbolehkan nikah mut’ah, demi kebaikan umat Islam itu sendiri. Akan tetapi setelah itu Rasul melarang keras nikah tersebut, karena di pandang tidak sesuai dengan tuntunan Islam itu sendiri yang mana bahwa Islam ialah “Rahmatan lil alamin
Dengan diharamkannya nikah mut’ah, ketika direnungi ternyata berbagai pesan yang tersirat yang terkandung di dalamnya, antara lain :
  1. Menjauhkan muslimin dari tujuan perkawinan yang rendah, yang mana perkawinan dalam Islam diletakkan dalam kedudukan yang suci, mulia dan agung
  2. Menghindarkan kaum mukminah dari perbuatan rendah menjual diri hanya untuk kepentingan syahwat
  3. Membebaskan dari tujuan jelek menelantarkan keturunan (anak-anak) yang mungkin lahir dari nikah mut’ah
  4. Menjauhkan pandangan merendahkan syariat nikah, karena dengan nikah mut’ah sebuah perkawinan tidak punya arti. Wanita dalam hinaan dan derajat yang sangat rendah.
Menanggapi ihwal problem perzinaan, pemakalah menyimpulkan walaupun ulama bermadzhab Sunni menegaskan keharaman nikah mut’ah, kita tidak bisa mempersamakannya secara sempurna. Bahwa zina secara niscaya dan tegas diharamkan dalam al-Qur’an, yang mana kalau mendekati saja tidak boleh apalagi melakukannya. Ketika terbukti ada yang melaksanakan perzinaan dan di saksikan oleh empat orang atau mengakui sendiri ihwal perbuatannya, sanggup dijatuhi eksekusi dera atau rajam. Ini telah disepakati oleh seluruh umat Islam, sedangkan mut’ah ada yang membolehkannya.
Oleh karena itu, sanggup kami simpulkan bahwa nikah mut’ah tidak sanggup di terima dalam keadaan apapun, oleh siapapun dan haram hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Amili, Ja’far Murtadho, Nikah Mut’ah Dalam Islam, Jakarta: as-Sajjad, 1992.
Al-Muslimun “Majalah Hukum dan Pengetahuan Agama Islam”, Jakarta : Yayasan al-Muslimun, 1997.
Fachruddin, Fuad Mohd., Dr., Kawin Mut’ah (Dalam Pandangan Islam), Jakarta: Ilmu Jaya, 1992.
Hussan, A., dkk., Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, CV. Diponegoro, Bandung, , cet.IX 1985.
Malullah, Muhammad, Menyikap Kebobrokan Nikah Mut’ah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997.
Rifa’i, Moh., Drs. H., Mutiara Fiqih, jilid II, Semarang: CV. Wicaksana, 1998.
Rochman, Fatchur, AR, 160 Ayat-ayat Hukum al-Qur’an, Apollo, Surabaya, 1993.
Shihab, M. Quraish, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama, Mizan, Bandung, 1999.
Soenarjo, Prof. R.H.A, SH., al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta,  1971.
Subhani, Ja’far, Yang Hangat dan Kontroversial Dalam Fiqih, Jakarta: Lentera, cet. II, 2002.


[1] Ja’far Murtadho al-Amili, Nikah Mut’ah Dalam Islam, Jakarta : as-Sajjad, 1992, hlm. 7
[2] Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah (Dalam Pandangan Islam), Jakarta: Ilmu Jaya, 1992, hlm. 13
[3] Al-Muslimun “Majalah Hukum dan Pengetahuan Agama Islam”, Jakarta: Yayasan al-Muslimun, 1997, hlm. 65
[4] Drs. H. Moh. Rifa’i, Mutiara Fiqih, jilid II, Semarang: CV. Wicaksana, 1998, hlm. 862
[5] Ja’far Subhani, Yang Hangat dan Kontroversial Dalam Fiqih, Jakarta: Lentera, cet. II, 2002, hlm. 142
[6] A. Hussan, dkk., Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, cet.IX
[7] Muhammad Malullah, Menyikap Kebobrokan Nikah Mut’ah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997, cet.I, hlm. 129-132
[8] M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 130
Mut’ah (pemberian) ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya sebagai penghibur, selain nafkah sesuai dengan kemampuannya.
[9] Drs. Fatchur Rochman, AR, 160 Ayat-ayat Hukum al-Qur’an, Apollo, Surabaya, 1993
*b Maksudnya  : Budak-budak di miliki suaminya tidak ikut tertawan bersamanya.
*c ialah selain dari malam-malam perempuan yang tersebut dalam ayat 23 dan 24 surat an-Nisa’
*d ialah menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali mas kawin yang telah ditetapkan.
[10] Prof. R.H.A Soenarjo, SH., al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta,  1971, hlm. 120-121
[11] Ibid., hlm. 326
[12] A. Hasan, dkk., op.cit.,
[13] M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 132

Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Nikah Mut’Ah Dalam Perspektif Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel