iklan

Ajaran Pokok Mu'tazilah (4): Al-Amru Bil Ma’Ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar

Prinsip ini bersahabat hubungannya dengan duduk kasus amaliyah, sebagai manifestasi daripada kepercayaan yang ada di dalam hati. Di dalam Al-Qur’an banyak disebutkan wacana perintah ini, antara lain: Surat ali Imran ayat 104, surat Lukman ayat 17 dan sebagainya.
“Dan hendaklah di antara kau segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran: 104).
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah insan mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, bersama-sama yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan” (Luqman: 17)
Dari prinsip ini menawarkan bahwa Mu'tazilah memandang sama pentingnya antara aqidah dan amaliyah, antara kepercayaan dan amal. Oleh alasannya itu perlu orang diseru untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhkan perbuatan jahat. Pelaksanaan prinsip ini bila perlu dengan kekerasan, alasannya Mu'tazilah berkeyakinan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dipandang sesat dan perlu diluruskan.
Sejarah mencatat, Mu'tazilah pernah menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni Ahmad ibn Hambal terpaksa masuk penjara lantaran berbeda pendapatnya mengenai status Al-Qur’an, dalam tragedi “Mihnah”, semacam ujian monoloyalitas bagi pejabat-pejabat negara.
Pendirian Mu'tazilah yang membawa konsekuensi jelek yaitu yang menyatakan bahwa Al-Qur’an yaitu makhluk. Hal ini lantaran faham mereka yang menafikan sifat bagi Tuhan, sedang Al-Qur’an disebut sebagai Kalamullah. Apakah Tuhan berkata sebagai halnya manusia? Mu'tazilah melihat Al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdiri dari susunan karakter dan bunyi, dengan demikian yaitu baharu bukan qodim. Kalam yaitu bukan sifat zat, tetapi sifat perbuatan (sifat aktiva), oleh lantaran itu Al-Qur’an yaitu makhluk, dengan makhluk ini Tuhan menerangkan kehendak-Nya, sebagaimana juga makhluk yang lain yaitu tidak abadi, yang awet yaitu Tuhan semata. Mereka menurut alasan:
  • Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri yang menawarkan ketidak-qodimnya, menyerupai antara lain :
“Sesungguhnya Kami mengakibatkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kau memahaminya”. (Az-Zuhruf:3).
      Selanjutnya dalam ayat lain Tuhan berfirman:
   "Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Al-Qur’an dengan bahasa Arab, supaya kau memahaminya. (Yusuf: 2)
  • Akal pikiran tidak sanggup mendapatkan apabila perintah-perintah dalam Al-Qur’an itu qodim. Apalah artinya lantaran insan yang diperintah lahirnya kemudian. Maka perintah itu akan sia-sia, Maha suci Tuhan daripada hal yang semacam itu.[1]
Mu'tazilah beropini bahwa kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada isinya, bukan dalam bahasanya. Sebab mungkin sekali seseorang sanggup menyusun bahasa yang lebih baik dari Al-Qur’an, tetapi mengenai kandungan isinya tak mungkin seseorang sanggup mencapainya. Dengan isinya, Al-Qur’an mengambarkan kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Pendirian Mu'tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an yaitu makhluk, sebagai analogi logis bahwa zat dan sifat Tuhan yang tidak sanggup dibagi, tidak sanggup berubah, yang ada hanya Keesaan mutlak sebagaimana dijelaskan di atas. Bagaimana memahami ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 136:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah dan Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Maka bersama-sama orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa: 136)
“Dan jikalau di antara orang-orang musyrikin itu meminta pinjaman kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, lalu antarkanlah ia ke daerah yang kondusif baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (At-Taubah: 6)
Untuk memperkuat pendiriannya, bahwa Al-Qur’an yaitu makhluk sebagaimana sanggup dipahami dari kedua ayat tersebut di atas, maka dikemukakan argumentasi sebagai berikut:
  1. Bahwa Al-Qur’an di dalamnya terdapat perintah dan larangan, kesepakatan dan ancaman, isu dan lain sebagainya. Maka andaikata Al-Qur’an itu kalam yang azali, dipandang tiada guna perintah dan larangan itu, alasannya pada dikala itu belum ada yang diperintah dan firman itu ditujukan kepada siapa.
  2. Firman Tuhan kepada Nabi Musa yaitu bukan yang kepada Muhammad, lantaran pada hakekatnya pembicaraan kepada rasul-rasul itu berbeda, menyerupai cerita mengenal dua umat yaitu berbeda lantaran perbedaan umat itu sendiri. Maka apabila berbeda, sudah barang tentu yaitu tidak mungkin kalam itu sebagai sifat-Nya yang Esa dalam sifat dan zat-nya yang tidak terjadi perbedaan di dalamnya.
  3. Umat Islam telah setuju bahwa Al-Qur’an yaitu kalam Tuhan yang terdiri dari surat, ayat dan karakter yang sanggup diindera, yaitu tidak mungkin kalam itu sebagai sifat-Nya yaitu terlepas dari semua itu.
Sebagai dasar naqli dari pendapatnya, dikemukakan pula dalil antara lain:
  1. Ayat 30 surat Al-Baqarah yaitu mengandung pengertian masa, sedang yang di dalam masa yaitu baru.
  2. Surat Hud ayat 1 menawarkan adanya susunan, sedangkan yang tersusun yaitu baru.
  3. Surat At-Taubah ayat 6 menawarkan bahwa firman itu sanggup didengar, sedang yang didengar harus terdiri dari karakter dan suara.
  4. Surat Ad-Dukhan ayat 3, menawarkan Al-Qur’an diturunkan berarti baru.
  5. Al-Baqarah ayat 156 wacana nasih dan mansuh, menawarkan adanya penghapusan.
Dengan demikian maka Al-Qur’an yaitu makhluk yang terdiri dari karakter dan bunyi sebagaimana firman-Nya yang lain yang disampaikan kepada para nabi. Pengertian daripada Allah yang bersifat kalam (Mutakallimun) adalah Dia membuat dan melaksanakan pembicaraan yang sanggup menawarkan terhadap obyek, terhadap apa yang dikehendakinya, sedang yang diciptakan yaitu makhluk.
Secara panjang lebar, Ahmad Amin mengurai wacana Mihnah, sebagai berikut: pendapat wacana kemakhlukan Al-Qur’an nampak pada tamat pemerintahan Umayyah dari Al-Ja’du bin Dirham, guru Marwan bin Muhammad di tamat khalifah Bani Umayyah, yang berkata bahwa orang yang pertama menyampaikan wacana kemakhlukan Al-Qur’an dari Damsyik, lalu melarikan diri yang jadinya berdiam di Kufah. Disana Jaham bin Sofwan berguru kepadanya. Al-Ja’du telah dibunuh oleh Kholid bin Abdullah pada hari qurban di Kufah, hal ini lantaran Al-Ja’du menyampaikan bahwa Allah telah berbicara dengan Musa dan tidaklah Allah mengambil pada Ibrahim sebagai khalifah.
Demikian pula Jaham bin Sofwan dibunuh oleh Salim bin Ahwaz tahun 128 H, lantaran Jaham meniadakan sifat. Dan karenanya meniadakan kalam serta pendapat kemakhlukan Al-Qur’an. Kemudian Bisry Al-Maryisi yang asalnya seorang Yahudi juga beropini wacana kemakhlukan Al-Qur’an pada masa Ar-Rasyid yang mendakwahkan pendapatnya sekitar 40 tahun serta disusun dalam sebuah kitab.
Mu'tazilah telah mewarisi pendapat tersebut dari Al-Ja’du dan Jaham, sehingga mereka (kaum Mu'tazilah) beropini menyerupai itu, menambah pembahasan duduk kasus itu dengan mendetail dan meluaskan argumen.  Dapat kita saksikan menyerupai Al-Murdar seorang tokoh Mu'tazilah yang meluaskan pendapat tersebut dan mengkafirkan orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an yaitu qodim.

[1] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Alih Bahasa Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Karib, Logos Publissing House Jakarta 1996, 185.

Sumber http://makalah-ibnu.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Ajaran Pokok Mu'tazilah (4): Al-Amru Bil Ma’Ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel