iklan

Memarahi Anak Dengan Kasih Sayang

MEMARAHI ANAK DENGAN KASIH SAYANG
Abstrak
Sri Sumarni
yik59unsri@yahoo.co.id

Semua orang tua sayang dengan anaknya, namun dalam keseharian anak sering berperilaku yang menjengkelkan, sehingga membuat orang tuanya marah. Acap kali orang renta tidak sanggup mengendalikan emosi hingga memukul atau melaksanakan kekerasan fisik pada anak.  Kadang kala orang renta menegur anak bukan ingin meluruskan kesalahan, tetapi justru meluapkan amarah. Sebagai orang renta perlu berguru secara terus-menerus untuk meredakan emosi dikala menghadapi anak. Jika tidak, teguran seseorang akan tidak efektif. Bahkan, justru semakin memperlihatkan "kenakalannya". Ancaman yang diberikan  tidak menghentikan kenakalan anak, justru membuat anak berontak dan menentang. Anak merasa orang renta tidak menyayanginya lagi. Selain itu, seseorang sering lupa memperlihatkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala seseorang asyik melontarkan ancaman. Orang renta murka kepada anak merupakan teguran sehingga anak berperilaku yang baik. Perlu seseorang lakukan duduk tolong-menolong anak dalam suasana yang mesra untuk berbicara perihal berperilaku yang baik, dan membangun komunikasi antara orang renta dan anak terutama pada anak usia dini.



Kata kunci; memarahi, kasih sayang


Pendahuluan

            Setiap anak mempunyai potensi yang ada dalam dirinya yang harus dioptimalkan sehingga menjadi kekuatan, pendorong untuk mencapai cita-citanya. Untuk mengoptimalkan potensi tersebut hendaknya digali semenjak anak usia dini dengan demikian akan terwujud. Kadang kala yang mengetahui pertama kali anak mempunyai potensi di bidang olah raga, seni, sains dan sebagainya bukanlah orang tua, tetapi justru gurunya. Padahal anak merupakan aset keluarga, bangsa dan negara. Seharusnya orang renta lebih dulu mengetahui potensi yang dimiliki anaknya. Makara tugas orang renta sangat kuat di dalam mewujudkan potensi anak sehingga anak sanggup tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Salah satu ciri khas anak usia dini yaitu sang peniru ulung. Meniru seseorang dalam hal orang renta yang ia anggap menjadi model utamanya. Dimulai dari perkataan seseorang, cara berbicaranya, tingkah lakunya, hingga hal-hal detail yang tidak luput dari kelima indera anak. Sesuatu yang dilihat, didengar, dirasa, diraba, dan diciumnya akan membuahkan informasi, sehingga semua informasi tersebut akan diproses di otak. Informasi yang unik bagi anak, akan dengan praktis menjadi ingatan jangka panjang, begitupun sebaliknya. Untuk itu dikala orang renta memperlihatkan respon unik terhadap perkataan maupun sikap anak, maka respon unik tersebut akan praktis diingat anak dan praktis ditiru anak. Begitu juga dengan cara orang renta memarahi anak. Saat seorang anak berkata kotor, orang tuanya memperlihatkan respon unik dengan berteriak dan pribadi mengomeli anaknya dengan perkataan berangasan pula. Tentunya, respon orang renta tersebut akan praktis diingat anak, dan dikala anak berada dalam kondisi lain anak juga cenderung menjiplak respon orang tuanya dengan berteriak dan berkata kasar.
Terkadang orang renta kurang menyadari akan kiprahnya sebagai modeling bagi anak. Seharusnya orang renta berguru untuk memahami karakteristik anak sebagai sang peniru ulung. Hal ini dikarenakan bahwa anak bukanlah orang cukup umur yang berbentuk mini. Anak yaitu makhluk yang ingin ditauladani, dihargai, disayang, dan diperlakukan dengan baik oleh lingkungannya terutama orang renta dalam hal ini ibu.
Bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, sebagian orang renta kurang memahami karakteristik anak sebagai sang peniru ulung, menganggap bahwa bahan merupakan satu-satunya hal yang paling anak butuhkan dan menyerahkan pendidikan anak pada sekolah sepenuhnya, sehingga anak, kurang dihargai, kurang disayang, diabaikan kebutuhan-kebutuhan primernya, kurang diperlakukan dengan baik oleh orang renta dan lingkungannya. Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saman (Tesis: 2002) penolakan sahabat pada masa kanak-kanak menjadi salah satu faktor yang akan menghambat prestasi akademik, tumbuhnya duduk kasus emosi dan mengakibatkan resiko kenakakalan remaja.  
Pada dikala menghadapi sikap anak yang kurang menyenangkan, orang tua  cenderung pribadi murka dengan penuh emosi seolah-olah anak tersebut yaitu musuhnya. Bahkan anak menjadi korban lantaran amarah orang renta menyerupai yang  saksikan di media masa maupun elektronik. Orang renta tak segan-segan memukul anaknya yang masih kecil sehingga ada beberapa kasus seorang anak harus kehilangan anggota tubuhnya dan cacat seumur hidup. Selain itu, sering terjadi orang renta memarahi anaknya untuk mengikuti keinginannya, jikalau tidak anak diberikan ganjaran atau hukuman. Kadang-kadang eksekusi yang diberikan tidak didasarkan pada kesalahan, dan usia anak.
Penyebab lain lantaran orang renta tidak punya banyak waktu untuk anaknya. Untuk itu orang renta rela mengeluarkan dana yang cukup besar untuk pendidikan anaknya. Orang renta tidak menyadari dampak negatif bila hal tersebut terjadi pada anak. Kebutuhan primer anak bukan hanya bahan semata, melainkan mendapatkan kasih sayang, belaian, perhatian yang cukup, tauladan dari kedua orang tua, mempunyai waktu bermain bersama, menjalin keakraban, kekerabatan emosional yang erat  antara orang renta dengan anak. Setelah orang renta mencari nafkah dan pulang ke rumah, mereka lelah dengan acara seharian dan mengabaikan waktu untuk bermain dengan anak, lambat laun kekerabatan yang seharusnya terjalin dengan serasi usang kelamaan bermetamorfosis kurang harmonis. Anak cenderung meminta perhatian lebih sehingga anak memperlihatkan sikap yang bisa membuat orang renta murka tugas orang renta teramat vital.
Berdasarkan hal tersebut, Bredekamp (1987:1) menyarankan orang renta  penting memahami fase perkembangan anak sesuai dengan DAP (Developmentally Appropriate Practice). Orang renta yang paham karakteristik anak sebagai sang peniru ulung, akan berhati-hati dalam bertutur kata, bertingkah laku, dan bertindak dikala anaknya melaksanakan kesalahan. Sebaiknya dalam memarahi anak diadaptasi dengan tingkat usia, serta kesalahan anak, lantaran akan berdampak jelek pada perkembangan kepribadian anak. Orang renta memarahi anak dengan cara yang tidak baik semenjak kecil akan ditiru dan akan membekas hingga cukup umur nanti. Penulis ingin mengetahui lebih dalam perihal hal tersebut, ada beberapa cara yang sempurna memarahi anak dengan sapaan yang sopan, lemah lembut dan tidak menyakitinya baik fisik maupun nonfisik, sehingga anak sanggup berkembang secara optimal. Orang renta harus menyadari kiprahnya dalam mendidik anak dan berguru mendapatkan anak apa adanya, sabar menghadapi anak, perlu melaksanakan pendekatan secara psikologis, memperlihatkan kebutuhan primer anak lainnya menyerupai menjadi tauladan, menghargai, memperlihatkan kasih sayang, memperlakukan dengan baik sehingga anak sanggup berkembang menjadi pribadi yang baik sesuai dengan pencapaian kurikulum 2013.  

Permasalahan
            Adapun yang menjadi permasalahan dalam makalah ini yaitu hal-hal apa yang perlu diperhatikan orang tua, guru dalam memarahi anak? 

Tujuan
Untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memarahi anak terutama bagi orang tua, guru.

Manfaat
Hasil goresan pena ini diharapkan sanggup bermanfaaf baik bagi orang tua, guru sebagai berikut:
(1)  Orang tua: sebagai masukan dikala memarahi anak dengan penuh kasih sayang, kelembutan sehingga  anak tidak merasa disudutkan, hal ini akan membantu tumbuhkembang anak secara optimal.
(2)  Guru pendidikan anak usia dini: akan menerapkan ilmu yang dimiliki sebagai masukan dalam menghadapi duduk kasus anak di kelas sehingga menjadi teladan, sanggup membuat suasana serasi antara guru dengan anak dengan demikian anak merasa aman, nyaman dan betah berada di sekolah.  



Pembahasan
Kajian Teori
Pengertian Memarahi, Kasih Sayang
 Siapa yang tidak pernah marah? tentunya semua orang renta pernah marah, namun murka dalam artian mendidik bukan membalas dendam apalagi kepada anak usia dini yang belum mengerti apa-apa. Hansten dan Washburn yang diterjemahkan oleh Tjandrasa (2001:94) beropini bahwa marah yaitu “Harapan yang tidak terpenuhi”. Terkait dengan harapan orang renta kepada anaknya yang tidak terpenuhi, hal inilah yang menjadi dorongan kuat orang renta untuk murka pada anaknya.
Berger (2004:63) menyatakan bahwa “Nagging and scolding are common manifestation of a sense of victimhood. The one on the receiving end feels like a victim too.There is a kind of closeness, finally, since then everybody feels bad, but there is no real comunication, sharing, or intimacy. Mencermati pendapat di atas bermakna bahwa mengomel dan memarahi yaitu perwujudan dari perasaan seseorang yang merasa dirinya sebagai korban. Orang yang dimarahi juga merasa dirinya sebagai korban. Pada awalnya ada semacam keakraban kedua belah pihak. Namun semenjak dikala itu kedua belah pihak merasa hubungannya tidak baik, lantaran belum adanya komunikasi, dan rasa untuk menyebarkan atau keintiman yang terjadi dikala keduanya berselisih. Pandangan berbeda dari pendapat sebelumnya yang lebih menekankan alasan seseorang untuk marah, pendapat ini lebih menekankan pada perasaan atau kekerabatan dari kedua belah pihak yang terlibat.
Wiryono (2008:37) Memarahi yaitu cara mendidik yang paling buruk. Pada dikala memarahi anak, kita tidak sedang mendidik, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan orang renta lantaran tidak bisa mengatasi duduk kasus dengan baik.  Untuk itu memarahi anak dengan cara yang tidak mendidik harus dihindari. Hal ini bukannya membuat anak memahami apa kesalahannya, malah memperlihatkan dampak negatif terhadap perkembangannya.
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, yang dimaksud memarahi merupakan perwujudan dari perasaan orang renta yang merasa dirinya sebagai korban dalam melampiaskan setumpuk kekesalannya sebagai bentuk kekecewaan atas ketidaksesuaian harapannya terhadap anak.
Kasih sayang mempunyai tugas penting untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Ditinjau dari definisi kasih sayang menurut Floyd and Morman dalam Floyd (2008:47) “Reasoned that, if affection is a resource that contributes to long term viability and fertility, then parents ought to give more affection to their biological children. Pendapat ini bermakna bahwa Floyd dan Morman beralasan bahwa, jika kasih sayang adalah sumber daya yang memperlihatkan bantuan untuk kelangsungan hidup jangka panjang dan kesuburan, maka orang tua harus memberikan lebih banyak kasih sayang kepada anak-anaknya.
Sudut pandang berbeda dari Twardosz, Schwartz, Fox, and Cunningham dalam Floyd (2008:29) yang menyatakan bahwa “Affection coding scheme emphasized both active (e.g. Hugging, kissing, patting) and pasive (e.g. Smiling, sitting on another’s lap) nonverbal expressions of affection, as well as verbal statements expressing love, praise or friendship. Memaknai pendapat tersebut bahwa perilaku kasih sayang ditandai dengan cara aktif maupun pasif. Aktif (misalnya memeluk, mencium, menepuk-nepuk) sedangkan secara pasif (misalnya tersenyum, duduk di pangkuan) ekspresi non verbal kasih sayang, serta keterangan lisan mengungkapkan cinta, pujian atau persahabatan. Pendapat ini lebih menekankan pada bentuk-bentuk kasih sayang baik secara verbal maupun nonlisan. Ungkapan kasih sayang pada anak banyak caranya. Tinggal orang tualah yang bijak untuk menentukan wujud kasih sayang yang tepat, dan diadaptasi dengan kondisi anak.
Bowlby dalam Waele (2010:314) “John Bowbly and other psychologist like him, for example, reminded us that children need affection in the early years of their lives and that affection comes in the form of attachment and bonding with the people in the child’s immediate enviroment-parents and immediate family being the first candidates. Mencermati pendapat ini, berarti bahwa Bowlby dan psikolog lain seperti dia, mengingatkan kita bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang pada tahun-tahun awal kehidupan mereka. Kasih sayang dalam bentuk kelekatan dan ikatan di lingkungan-orang renta anak dan keluarga dekat menjadi hal yang paling utama. Pendapat ini menegaskan pentingnya kasih sayang diberikan pada anak usia dini yang diwujudkan dalam sebuah kekerabatan emosional yang serasi antara orang renta dan anak.
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, yang dimaksud dengan kasih sayang yaitu adalah sumber daya yang memperlihatkan bantuan untuk kelangsungan hidup anak usia dini yang sanggup orang renta wujudkan dalam bentuk aktif maupun pasif, sehingga terciptanya kelekatan dan ikatan emosional yang serasi antara orang renta dan anak.
Orang renta sebagai model bagi anak. Apa yang dilakukan orang renta akan ditiru oleh anak. Untuk itu orang renta harus memperlihatkan referensi yang baik kepada anaknya sehingga menempel hingga dewasa. Terkadang orang renta harus memarahi anak. Ini bukan berarti seseorang meninggalkan kelembutan, lantaran memarahi dan sikap lemah-lembut bukanlah dua hal yang bertentangan.  Saat memarahi anak orang renta memperlihatkan senyuman.  Lemah-lembut merupakan kualitas sikap, sebagai sifat dari apa yang orang renta lakukan. Sedangkan memarahi bukan murka merupakan tindakan untuk memperbaiki sikap anak.
Gunakan teknik bonding atau kontak fisik antara orang renta dan anak  sebagai serpihan yang penting dalam proses pertumbuhan. Dekapan untuk merangkul anak, duduk bersama di dingklik kemudian memeluknya. Melalui bahasa tubuh, anak tahu bahwa orang renta mengawasinya. Senada apa yang dikemukakan oleh Lighter (1999:80-81) kadang-kadang teknik bonding ini, anak  masih mengabaikan orang tua. Dalam hal ini orang renta terus menggunakannya dengan sabar hingga anak menghentikan kebiasaan buruknya.
Orang renta acapkali  tidak bisa meredakan emosi pada dikala menghadapi sikap anak yang menjengkelkan. Orang renta menegur anak bukan lantaran ingin meluruskan kesalahan, tetapi lantaran ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak praktis memang, tetapi orang renta perlu terus-menerus berguru meredakan emosi atau mengontrol emosi dikala menghadapi sikap anak. Sesuai yang dikemukakan oleh Strongman (1996:231) kontrol emosional sebagai kemampuan untuk mengontrol proses mental dan banyak sekali tindakan diri dalam insiden tertentu.  Artinya seseorang yang mengontol emosinya ketika menghadapi sesuatu duduk kasus dengan baik, lebih lanjut dikatakan Goleman (1996:45) bahwa seseorang sanggup menguasai diri sendiri, seleranya, nafsunya, supaya bertindak benar terhadap orang lain.   
Berdasarkan pendapat di atas seseorang akan sanggup mengatur suasana hati dengan menjaga supaya beban yang dihadapi dalam menghadapi anak tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, dan selalu berempati apapun yang dihadapi. Tunjukkan kelembutan dan kasih sayang dikala menegur anak sehingga mereka merasa tidak takut. Betapa pun sulit dan masih sering gagal, seseorang perlu berusaha terus untuk menenangkan emosi dikala menghadapi anak. Ada beberapa catatan yang sanggup perhatikan: Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan Ancaman.
Anak-anak berguru dari orang tua. Mereka suka mengancam lantaran orang renta sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka melihat bahwa dengan cara mengancam, apa yang diinginkannya sanggup tercapai. Dari seseorang, mereka juga berguru meluapkan kemarahannya untuk memperlihatkan "keakuannya".
Tidak dipungkiri, banyak imbas luar yang bisa mengubah sikap anak. Teman-teman sebaya, khususnya yang sangat erat dengan anak, sanggup menghipnotis anak. Ia menjiplak temannya dari cara bicara, bertindak, mengekspresi-kan kemarahan, hingga dengan kata-kata yang diucapkan. Kadang anak memahami apa yang dikatakan, tetapi terkadang anak tidak tahu apa maksudnya. Anak hanya menirukan apa yang didengar.
Ancaman tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau sikap yang membuat seseorang marah. Sebaliknya, bahaya justru membuat anak berguru berontak dan menentang. Salah satu sebabnya, anak merasa orang tua tidak mencintai ketika  orang renta meneriakkan bahaya di indera pendengaran mereka. Selain itu, orang renta sering lupa memperlihatkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala orang renta asyik melontarkan ancaman.

Hal-hal yang harus diperhatikan orang renta dalam memarahi anak
1. Hindari Bertindak Kasar Pada Anak
  Orang renta sebaiknya memperlihatkan klarifikasi mengenai kesalahan anak. Sediakan waktu yang baik untuk berbicara dengan anak dengan memupuk suasana yang mesra, lembut, penuh kasih sayang dengan anak untuk berbicara perihal berperilaku yang baik. Selain orang  tua, guru di sekolah berperan penting untuk memupuk berperilaku baik, menyerupai yang dikemukakan oleh Read and Patterson (1980:68) guru/orang tua harus memperlihatkan rasa aman. Guru/orang renta perlu mempunyai kestabilan emosi supaya lebih praktis menerapkan apa yang diharapkan.
Jadi jelaslah guru dan orang renta sanggup mengenali anak, apapun yang terjadi dengan anak, sebaiknya berikan klarifikasi terlebih dahulu tidak pribadi bertindak kasar. Karena kedua figur ini harus bekerja secara sinergik sehingga suasana serasi tercipta saling menyayangi, penuh kesabaran, dan penuh perhatian di mana pun berada.



2. Membuat Kesepakatan Bersama Anak
Membuat kesepakatan bersama. Misalnya, mintalah kepada anak supaya anak tenang ketika ibu sedang bekerja. Sampaikan keinginan kepada orang tua dengan cara yang baik bila anak menginginkan sesuatu, dan bersabar bila belum terpenuhi. Adanya komitmen dengan anak orang renta sanggup membicarakan konsekuensi apa yang diterima bila anak mengamuk di dikala ibu bekerja. Sampaikan konsekuensi ini dengan nada yang akrab. Hindari ancaman yang membuat anak tertekan. Beri kebebasan kepada anak untuk melaksanakan sesuai dengan keinginannya. Senada yang dikemukakan Gilmore dalam Ringer (1990:35) bahwa kebebasan mengerjakan sesuatu tanpa mengharapkan orang lain. Bila anak melaksanakan hal-hal yang tidak diinginkan, orang renta bisa mengingatkan kembali kepada anak dan dengan nada baik, penuh kelembutan. Orang renta acapkali praktis kehilangan kendali, tetapi jangan lupa untuk konsisten.

3. Berbicara dengan sopan dari hati ke hati
Perilaku yang menjengkelkan memang praktis diingat, lebih membekas dan cenderung orang renta untuk segera bertindak. Sebaliknya sikap positif cenderung kurang sanggup mendorong orang renta untuk memberi komentar, kecuali jikalau sikap tersebut benar-benar sangat mengesankan. Orang renta praktis ingat sikap negatif anak, sementara anak mungkin tidak bisa melupakan tindakan orang renta yang menyakitkan hatinya. Biasakan memperlihatkan model yang baik kepada anak ketika berbicara atau meminta sesuatu, sehingga keluarga yaitu daerah yang nyaman              menyenangkan anak. Keluarga merupakan daerah strategis untuk memotivasi anak mewujudkan prestasi, menyerupai yang dikemukakan oleh Woolfolk (2002:350-351) keluarga daerah membina dan memberi penguatan, beri kesempatan anak memecahkan permasalahannya sendiri. Keluarga, merupakan daerah untuk memotivasi anak bukan melemahkan gambaran diri anak, menyerupai gambaran berikut ini. Salah satu kebiasaan umum orang renta berbicara dengan kata yang kurang baik tidak pada tempatnya sehingga  melemahkan gambaran dirinya, "Ibu sudah berkali-kali bilang, tapi Anggi tidak mau mendengar." Ungkapan tersebut memang efektif untuk membuat anak membisu sesaat lantaran harga dirinya jatuh, tetapi bukan lantaran menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan mempunyai konsep diri dan harga diri (self esteem) lemah. Anak memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa kebaikan dan keunggulan yang dimilikinya.
 Jadi jelaslah keluarga dalam hal ini orang renta menjaga kesantunan berbahasa kepada anaknya dikala marah, orang renta akan selalu menjaga dengan baik kata- kata yang kurang lezat didengar harus dikikis dari sekarang, sehingga akan membantu mengoptimalisasi perkembangannya.   

4. Biasakan Memberikan Kata-kata Positif
Setiap orang renta berhak memperlihatkan kehangatan, kasih sayang, perhatian serta pinjaman sehingga dikala anak berada di rumah ia merasa nyaman, kondusif tanpa gangguan apa pun. Untuk itu orang renta harus mengerti kebutuhannya. Apa yang dilakukan orang renta terhadap anak seharusnya disampaikan dengan kata-kata yang positif, tidak mempermalukan. Ada satu gambaran sebagai berikut; hari minggu, jam 14.00 wib Thorif terbangun dari tidur siangnya ia melihat adiknya tertidur pulas. Kemudian Thorif mengajak adiknya berumur satu setengah tahun bercanda, padahal adiknya gres saja tertidur sebelumnya adiknya gres tenang.
Dari kejadian itu, ibunya sempat murka hampir tidak sanggup mengendalikan emosi, tetapi segera tersadar bahwa yang dilakukan oleh anaknya, ini salah satu bentuk dari rasa sayang kepada adiknya. Nah, apa yang terjadi jikalau orang renta mencela anak? Apalagi hingga menghardiknya, itikad baik itu bisa bermetamorfosis kemarahan sehingga anak justru mengembangkan permusuhan kepada adiknya. Secara tidak pribadi Ia sanggup berguru membenci adiknya. Ini merupakan salah satu referensi yang dilakukan oleh anak. Tidak jarang anak menampakkan sikap "negatif", padahal ia tidak bermaksud demikian, lantaran anak tersebut belum mengerti apa yang dilakukannya.
Berdasarkan gambaran di atas maka orang renta anak tersebut mempunyai kecerdasan emosional. Salovey dalam Goleman (1995:43-44) merumuskan lima dimensi kecerdasan emosional (1) kemampuan untuk mengenali diri sendiri, (2) Mengelola dan mengekspresikan diri sendiri dengan tepat, (3) Memotivasi diri sendiri, (4) Mengenali orang lain, (5) Membina kekerabatan baik dengan orang lain. Artinya dari kutipan di atas orang renta harus menjaga, mengatur emosi seseorang supaya tidak menimbulkan stres dikala menghadapi anak. Tentunya akan menjadi perhatian orang tua, hendaknya hindari murka dengan penuh emosi yang tinggi, mencela anak merupakan hal yang kurang baik sehingga akan membuat seseorang tidak sanggup mengontrol emosi dengan baik. Apalagi anak kadang-kadang tidak mengerti apa yang barusan diucapkannya.
Seseorang terkadang keliru menangkap maksud anak, praktis terjebak dengan apa yang dilihat. Karenanya orang renta perlu berguru untuk lebih terkendali dalam menilai anak, padahal anak punya maksud baik, tetapi justru orang renta berpikir negatif terhadap anak sehingga justru mematikan inisiatif-insiatif positifnya. Bahkan andaikan ia memang melaksanakan tindakan yang negatif, dan ia tahu tindakannya kurang baik, yang dibutuhkan yaitu memperlihatkan  seharusnya bertindak positif. Orang renta meluruskan sikap anak, dengan memberikan kata-kata yang positif. Orang renta sibuk mencela anak, ia lupa untuk bertanya, "Kenapa anak saya berbuat demikian?" Di samping itu, perkataan negatif akan melemahkan gambaran diri, harga diri dan percaya diri anak. Kadang kala orang renta tidak merasa melontarkan kata yang tidak sopan kepada anak, padahal menyudutkan anak. Misalnya, “Andi kenapa tidak mau mendengar nasehat bapak? Andi selalu saja keras kepala." Andi tidak mendengarkan hikmah orang tua. Pada hal orang tua  dalam hal ini bukan mencela anak, tetapi memberi  perlindungan.
Sauri dan Hufad (2007:71) menyampaikan bahwa di keluargalah pertama kali anak mendapat pendidikan sehingga keluarga turut menghipnotis tumbuh kembang anak, menyerupai penanaman nilai moral, kesopanan, kecerdasan, dan budaya. Dari pendapat di atas di keluarga anak diajarkan nilai-nilai yang baik, anak yaitu sahabat bagi orang renta dengan demikian akan termotivasi untuk mengembangkan kepribadian yang diharapkan.
Lebih lanjut hasil penelitian yang dilakukan Sulastri (2002) tugas orang renta yaitu untuk, memotivasi, mengawasi dan menjadi kawan bermain bagi anak http://digilib.HG.ac.id/gdl.php?mod=browse&op+rend&id=junfumm-gdl-sI2001-sri5496-2002, diakses tanggal 20maret 2014.
Jadi dari pendapat tersebut bahwa keluarga daerah menanamkan kebiasaan yang baik, mendorong anak, menjadi sahabat bermain anak, menjadi daerah curahan hati sehingga sanggup mengurangi kenakalan yang tidak diinginkan.

5. Jangan Katakan "Jangan"
Sering   terdengar pembicaraan orang renta dengan anaknya, "Ayo, jangan main pasir di teras, nanti mama pukul." Ayo jangan main kotor lagi lantaran mama sudah membersihkan badanmu. Banyak lagi gambaran yang seseorang dengar bersifat negatif. Kata yang lebih sering diucapkan oleh orang renta pada anak melebihi kata "jangan". Orang renta memakai kata "jangan" begitu melihat anak melaksanakan tindakan yang kurang disukai. Orang renta juga memakai kata "jangan", bahkan di dikala orang renta mengharapkan anak melaksanakan yang lain. Padahal kata "jangan" tidak membuat anak praktis mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Akibatnya, anak sulit memenuhi harapan orang tua, sementara orang renta semakin jengkel lantaran merasa nasehatnya tidak didengar. Orang renta sebaiknya mengajak anak untuk bermain. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Davida (2004) menstimulasi anak usia prasekolah sanggup dilakukan dengan bermain. Bermain secara tidak pribadi akan membuat anak mengembangkan kemampuan fisik motorik, sosial, emosional dan kognisinya (Jurnal vol 3 Surabaya Prodi Ilmu keperawatan FKIP Unair). Berdasarkan pendapat di atas orang renta sanggup meluangkan waktu walaupun sibuk dengan mengajak anak bermain sehingga sanggup mengembangkan semua aspek perkembangan.
Pada usia dini anak dikatakan masa keemasan, berdasarkan Campbell & Dickinson (1996:16) pada usia ini anak sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Dari pendapat di atas, maka apa yang didengar maupun yang dilihat anak akan cepat ditiru, cara orang renta memarahinya, dan bisa melakukan, mempunyai kreativitas  tanpa kita diduga sebelumnya. Sesuai dengan pendapat Erikson dalam Carol and Nita (1998:35) anak pada tahap ini berada pada tahap inisiative versus guilt, yang ditandai bisa melaksanakan dan merencanakan kreativitasnya sendiri berhubungan dengan bawah umur lain. Makara jelaslah berdasarkan kajian di atas orang renta sebaiknya memperhatikan perkembangan anak tidak menuntut terlalu banyak dari anak. Kadang-kadang tanpa disadari masih ada sebagian orang renta yang memperlihatkan larangan, serta aturan-aturan yang mengikat anak, padahal anak sanggup melaksanakan hal-hal yang bisa diraihnya. Makara dari pendapat di atas keadaan ini akan menjadikan anak merasa bersalah atau menjadikan satu kegagalan. Anak pada tahap ini dihadapkan dengan insiden unik dan menuntut penyesuaian diri.
Penyesuaian diri sangat dibutuhkan anak ketika ia berada di lingkungan anak yang lain, Maxim (1993:83) menyampaikan bahwa anak mengalami stres dan ketegangan dalam perjuangan untuk mencocokkan tingkah laris dengan tuntutan seseorang. Makara dari pendapat di atas anak sanggup mengikuti keadaan dengan lingkungan tentu perlu bimbingan terutama orang renta sehingga untuk menumbuhkan kepercayaan diri sesuai dengan perkembangannya untuk meraih sukses.   
Orang renta sanggup menumbuhkan kepercayaan diri pada anak secara baik. Jangan katakan "jangan" pada dikala ia sedang melaksanakan kesalahan. Tunjukkanlah apa yang seharusnya dilakukan. Bersabarlah hingga ia menuntaskan maksudnya. Kalau orang renta tidak mau anaknya bermain pasir di teras, katakanlah, "Sayang, anak ibu main pasirnya di teras saja, ya?" Singkat, padat, terang dan positif dengan nada bunyi lemah lembut dan santun. Anak niscaya bahagia mendengarnya karenanya ia mau melaksanakan apa  yang diinginkan.   
Kapan sebaiknya orang renta sampaikan larangan? Saat terbaik yaitu ketika anak sedang erat dengan orang tua. Dalam suasana netral, larangan yang diberikan pada anak akan lebih efektif. Anak lebih praktis memahami. Mereka sanggup menerimanya. Bukan menganggapnya sebagai serangan kepada dirinya. Pujian perlu diberikan ketika anak berhasil melaksanakan suatu tindakan dengan baik, asal kebanggaan diberikan dengan tidak berlebihan. Kesabaran,  ketenangan, kelembutan menghadapi bawah umur ketika marah, dengan memakai cara yang sempurna sehingga tidak menghipnotis perkembangannya.


Kesimpulan

           Orang renta merupakan model bagi anak, semua tingkah laris orang renta akan praktis ditiru, lantaran pada usia dini ini termasuk masa golden age. Untuk itu dalam memarahi anak orang renta sebaiknya harus bisa berusaha untuk mempunyai rasa tenggang rasa pada anak memperlihatkan referensi dengan tutur kata yang penuh kelembutan serta penuh kasih sayang. Ada berberapa hal yang harus diperhatikan orang renta dalam memarahi anak supaya anak tidak merasa disudutkan, (1) Hindari bertindak berangasan pada anak, (2) Membuat kesepakatan bersama anak, (3) Berbicara dengan hati ke hati, (4) Cukup perilakunya saja yang dicela, (5) Berikan kata-kata yang positif yang dibutuhkan yaitu memperlihatkan bahwa ia seharusnya bertindak positif dengan nada bunyi lemah lembut dan santun. Anak niscaya bahagia mendengarnya karenanya ia mau melaksanakan apa  yang diinginkan.   
                                                       




Kepustakaan


Bredekamp, Sue. 1987. Developmentally Appropriate Practice. Washington: NAEYC.

Berger, Elizabeth. 2004. Raising Kids with Character: Developing Trust and Personal Integrity in Children. USA: Rowman & Litttlefield Publisher, Inc.

Carol, Seefedt dan Barbour Nita. 1998. Early Childhood Education an Introduction Columbus: Prentice-Hill Inc.

Davida. 2004. Permainan yang Mengasah Keterampilan Nurse. Jurnal Vol.3. Surabaya Program Studi Ilmu Keperawatan FKIP UNAIR.

Campbell, Linda., Bruce Campbell& Dee Dickinson.1996. Teaching And Learning Through Multiple Intelegence. USA: Allyn & Bacon.

Floyd, Kory. 2008. Comunicating Affection: Interpersonal Behavior and Social Contex Cambridge UK: Cambridge University Press.

Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intellegence. Boston: Books Published.

_______________ 1996.  Emotional Intelligence pada Anak, Alih Bahasa T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hansten, Ruth I. & Washburn,  Marilynn J. 2001. Kecakapan Pendelegasian Klinis. Alih Bahasa: Meitasari. Alih Bahasa: Tjandrasa. Jakarta: EGC Medical Publisher.

Lighter, Dawn. 1999. 50 Cara Efektif Menanamkan Tingkah  Laku Positif  pada  Anak, Alih Bahasa  Caterine Wicaksono. Yogyakarta: Kanisius.

Maxim, George W. 1993. The Very Young Guilding Children From Infancy Through the Early Years. New York: Macmillan Publishing Company.

Read, Katherine dan June Patterson. 1980. The Nursery School and Kindergarden. New York: Holt Rinehart and Witson.

Ringer, Robert.1990. Habits of Hihhly Successful People: Powerfull Strategies for Personal Triumph, Malaysia: Wyn Wood Press.
Saman, A. 2002. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Penyesuaian Sosial Remaja (Studi pada Siswa SMU Negeri se Kota Makassar. Tesis Bandung: PPS Universitas Padjajaran.
Sauri, Sofayan dan Hufad,  Achmad dalam Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Pendidikan Disiplin Ilmu Bagian 3. Bandung: IMTIMA.
Strongman, K T. 1996. The Psychology of Emotion: Theories of Emotion in Perspective (4th ed). Chichester, England: Wiley & Sons Ltd.

Sulastri, Sri. 2002. Pengaruh Peran Orang Tua pada Kegiatan Bermain Bagi Anak Balita Terhadap Proses Tumbuhkembang di RW III Kelurahan Bendogerit Kecamatan Sanan Wetan Blitar, Bandung:http://digilib.HG.ac.id/gdl.php?mod                                  +browse&op=rend&id=juntumm-gdl-sI2001-sri5496-2002 diakses tanggal 20 maret 2014.

Waele, Martin De. 2010. Governing the World: The Ethical Imperative. USA: Trafford.

Wiryono, Edy. 2008. Ayah Edi: Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Sulit Diatur? 37 Kebiasaan Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk Anak. Jakarta: Grasindo.

Woolfolk, Anita E. 2002. Education Psychology. Boston: Allyn dan Bacon.

Sumber http://dykaandrian.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Memarahi Anak Dengan Kasih Sayang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel