iklan

Cinta Bersujud Di Mihrab Taat

Cinta Bersujud di Mihrab Taat
Oleh: Salim A. Fillah 

JULAIBIB, begitu dia biasa dipanggil. Sebutan ini sendiri mungkin sudah mengatakan ciri jasmani serta kedudukannya di antara manusia; kerdil dan rendahan.
Julaibib. Nama yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan dia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu, atau tak mau tahu wacana nasab Julaibib. Tak dikenal pula, termasuk suku apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku yakni cacat kemasyarakatan yang tak terampunkan.
Julaibib yang tersisih. Tampilan jasmani dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya insan berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang buruk terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh.
Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari bak umum yang diciduk dengan tangkupan telapak. Abu Barzah, seorang pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata wacana Julaibib, ”Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara kalian! Demi Allah bila dia berani begitu, saya akan melaksanakan hal yang mengerikan padanya!”
Demikianlah Julaibib.
Namun bila Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satu makhlukpun bisa menghalangi. Julaibib berbinar mendapatkan hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah dia tiada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
”Ya Julaibib”, begitu lembut dia memanggil, ”Tidakkah engkau menikah?”
”Siapakah orangnya Ya Rasulallah”, kata Julaibib, ”Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”
Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan meratapi diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, saat bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. ”Wahai Julaibib, tidakkah engkau menikah?” Dan Julaibib menjawab dengan balasan yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib kemudian membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. ”Aku ingin”, kata Rasulullah pada si empunya rumah,
”Menikahkan puteri kalian.”
”Betapa indahnya dan betapa berkahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, menerka bahwa Sang Nabi lah calon menantunya. ”Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram dari rumah kami.”
”Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah. ”Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”
”Julaibib?”,  nyaris terpekik ayah sang gadis.
”Ya. Untuk Julaibib.”
”Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. ”Saya harus meminta pertimbangan isteri saya wacana hal ini.”
”Dengan Julaibib?”, isterinya berseru. ”Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib. Padahal kita telah menolak banyak sekali lamaran..”
Perdebatan itu tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun. ”Siapakah yang meminta?”
Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.
”Apakah kalian hendak menolak seruan Rasulullah? Demi Allah, kirim saya padanya. Dan demi Allah, alasannya yakni Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Sang gadis shalihah kemudian membaca ayat ini;
Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain wacana urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al Ahzab [33]: 36)
Dan Sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, ”Allahumma shubba ‘alaihima khairan shabban.. Wa la taj’al ‘aisyahuma kaddan kadda.. Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”
Doa yang indah.
Sungguh kita berguru dari Julaibib untuk tak merutuki diri, untuk tak menyalahkan takdir, untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak gampang menjadi orang ibarat Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Kita juga berguru lebih banyak dari gadis yang dipilihkan Rasulullah untuk Julaibib. Belajar semoga cinta kita berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tak suka. Karena kita tahu, mentaati Allah dalam hal yang tak kita suka yakni peluang bagi gelimang pahala. Karena kita tahu, seringkali ketidaksukaan kita hanyalah terjemah kecil ketidaktahuan. Ia yakni bab dari kebodohan kita.
Isteri Julaibib mensujudkan cintanya di mihrab taat. Ketika taat, dia tak merisaukan kemampuannya.
Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi bila kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Ia takkan membebani kita melebihinya. Isteri Julaibib telah taat kepada Allah dan RasulNya. Allah Maha Tahu. Dan Rasulullah telah berdoa. Mari kita ngiangkan kembali doa itu di telinga. ”Ya Allah”, lirih Sang Nabi, ”Limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”
Alangkah agungnya! Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertaqwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita. Urusan kita yakni taat kepada Allah. Lain tidak. Maka sang gadis menyanggupi ijab kabul yang nyaris tak pernah diimpikan gadis manapun itu. Juga tak pernah terbayang dalam angannya. Karena ia taat pada Allah dan RasulNya.
Tetapi bagaimanapun ada keterbatasan daya dan upaya pada dirinya. Ada tekanan-tekanan yang terlalu berat bagi seorang wanita. Dan agungnya, meski saat taat ia tak mempertimbangkan kemampuannya, ia yakin Allah akan bukakan jalan keluar bila ia menabrak dinding karang kesulitan. Ia taat. Ia bertindak tanpa gubris. Ia yakin bahwa pintu kebaikan akan selalu terbuka bagi sesiapa yang mentaatiNya.
Maka benarlah doa Sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar yang indah bagi semuanya. Maka kebersamaan di dunia itu tak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang isteri shalihah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib lebih dihajatkan langit meski tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni nirwana daripada dunia yang bersikap tak terlalu dekat kepadanya. Adapun isterinya, kata Anas ibn Malik, tak satupun perempuan Madinah yang shadaqahnya melampaui dia, hingga kelak para lelaki utama meminangnya.
Saat Julaibib syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi dia akan mengajarkan sesuatu kepada para shahabatnya. Maka Sang Nabi bertanya di final pertempuran, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak Ya Rasulallah!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, dia Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.
“Tidak Ya Rasullallah!” Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.
Rasulullah menghela nafasnya. “Tetapi saya kehilangan Julaibib”, kata beliau.
Para shahabat tersadar.
“Carilah Julaibib!”
Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputaran menjelempah tujuh jasad musuh yang telah dia bunuh.
Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menshalatkannya secara pribadi. Ketika kuburnya digali, Rasulullah duduk dan memangku jasad Julaibib, mengalasinya dengan kedua lengan dia yang mulia. Bahkan pula dia ikut turun ke lahatnya untuk membaringkan Julaibib. Saat itulah, kalimat Sang Nabi untuk si mayyit akan menciptakan iri semua makhluq hingga hari berbangkit. “Ya Allah, dia yakni bab dari diriku. Dan saya yakni bab dari dirinya.”
Ya. Pada kalimat itu; tidakkah kita cemburu? 

Sumber http://rizalsuhardieksakta.blogspot.com

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cinta Bersujud Di Mihrab Taat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel