iklan

Pola Iktikad Masyarakat Terhadap Perhitungan Jawa Dalam Acara Perkawinan


Pola Keyakinan Masyarakat Terhadap Perhitungan Jawa Dalam Kegiatan Perkawinan di Desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung

Nila Robiatun Nur *

Abstrak: Kemampuan orang Jawa dalam membaca gejala jaman diwariskan secara turun temurun. Ramalan, petungan, dan keberuntungan nasib insan mengacu kepada perubahan musim, siklus alam, bunyi hati dan bisikan gaib. Bagi masyarakat Jawa, kelahiran, kematian,jodoh, dan rejeki yaitu takdir Tuhan. Namun demikian insan tetap diberi kewenangan untuk berikhtiar.Penelitian ini bertujuan unruk mendeskripsikan: 1) dasar keyakinan masyarakat memakai perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan, 2) faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan, 3) pihak-pihak yang berkompeten dalam hal perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di masyarakat Desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung, 4) cara perhitungan jawa dalam kegiatan perkawinan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, penelitian ini dilakukan pada Masyarakat desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Wawancara dan Dokumentasi. Dalam penelitian ini data yang didapatkan eksklusif dari penelitian yaitu data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari buku-buku atau materi pustaka, dokumen yang menggambarkan keadaan masyarakat desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung (monografi). Temuan penelitian memperlihatkan bahwa dasar keyakinan masyarakat memakai perhitungan jawa dalam kegiatan perkawinan di desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung yaitu sebagai berikut: (1) Alasan incest (larangan kawin); (2) Alasan Tidak Melangggar Ajaran Agama; (3) Alasan Kekurang Sempurnaan Kegiatan Perkawinan; (4) Alasan panggilan adat; (5) Alasan Kewajiban dan Pertimbangan Neptu; (6) Alasan Keselamatan; (7) Alasan Peristiwa yang Pernah Terjadi; (8) Alasan Sekedar Mengikuti; (9) Alasan Pelestarian ke Generasi; (10) Alasan Kecermatan Bertindak. Dari kesepuluh alasan tersebut yang paling lebih banyak didominasi menjadi dasar keyakinan masyarakat memakai pergitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan yaitu bantalan an keselamatan dan alasan Faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di masyarakat desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung antara lain adalah: (1) Pengalaman Terdahulu; (2) Kepercayaan  Kepada Tuhan YME; (3) Adat Istiadat yang Berlaku di Masyarakat; (4) Ketaatan Kepada  Pemuka Masyarakat/Orang Tua. ada dua pihak yang berkompeten dalam perhitungan jawa dalam kegiatan perkawinan dua pihak tersebut yaitu dukun manten dan tokoh masyarakat. Faktor yang paling mempengaruhi keyakinan masyarakat terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan yaitu faktor pengalaman terdahulu. Terdapat dua pihak yang berkompeten dalam hal perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di desa Samir, pihak tersebut yaitu dukun manten dan tokoh masyarakat. Perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di desa Samir meliputi: perhitungan perjodohan, penentuan hari baik dalam pelaksanaan perkawinan, meramalkan letak rumah kedua calon pengantin, dan penyelesaian masalah. Perhitungan tersebut bisa jadi berbeda antara tempat satu dengan tempat lainnya. Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada:  1) Masyarakat untuk melestarikan perhitungan Jawa sebagai warisan budaya dengan menggunaan perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan layak dipergunakan sebagai materi untuk memilih hari baik dalam pelaksanaan kegiatan perkawinan, 2) Bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam perhitungan jawa Agar penentuan hari pelaksanaan kegiatan perkawinan dan perjodohan bisa sempurna maka harus benar-benar teliti dalam melaksanakan perhitungan.

Kata Kunci : pola keyakinan masyarakat, perhitungan jawa, perkawinan


            Jawa, sebuah pulau yang kaya akan tradisi dan budaya. Dari hal yang paling kecil hingga yang besar mempunyai filosofi. Salah satunya yaitu mempunyai tradisi perhitungan hari dan pasaran dalam melaksanakan aktifitas kehidupan, khususnya dalam kegiatan perkawinan. Paradigma Jawa tersebut yaitu salah satu kebudayan Jawa yang merupakan penggalan dari khazanah Jawa. Meskipun masih dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat Jawa akan tetapi hal tersebut sudah mulai ditinggalkan masyarakat Jawa yang merupakan peninggalan leluhurnya, jawaban dari imbas kebudayaan modern.
Sudah semenjak zaman dahulu, kemampuan orang Jawa dalam melihat perubahan alam dan kehidupan. Bahkan hingga kini peninggalan para leluhur berupa hitungan-hitungan, prediksi, tata cara dan perlambang masih digunakan oleh masyarakat umum. Kepekaan yang disertai dengan ketajaman spiritual bisa memperlihatkan sebuah makna pada pergantian hari, bulan, tahun, dan windu.  Kicauan burung dan sikap binatang pun bisa memperlihatkan sebuah pertanda, alasannya yaitu masyarakat Jawa menyadari bahwa alam merupakan tempat perlambang kehidupan.
            Pemberian makna dan arti tidak dimaksudkan untuk mendahului takdir, melainkan sebagai bentuk perjuangan kita semoga lebih berhati-hati dalam menjalani hidup.  Inilah nilai-nilai hidup yang perlu kita junjung tinggi sebagai rujukan dalam memaknai segala insiden hidup.
            Kemampuan orang Jawa dalam membaca tanda-tandan jaman diwariskan secara turun termurun. Ramalan, petungan, dan keberuntungan nasib insan mengacu kepada perubahan musim, siklus alam, bunyi hati dan bisikan gaib. Bagi masyarakat Jawa, kelahiran, kematian,jodoh, dan rejeki yaitu takdir Tuhan. Namun demikian insan tetap diberi kewenangan untuk berikhtiar.
            Begitu pedulinya terhadap kehidupan yang aman, tenteram lahir batin, maka para sesepuh, pinisepuh Jawa akan memberi makna pada segala insiden yang terjadi. Kepekaan perasaan yang disertai ketajaman spiritual mendominasi indra keenamnya. Pergantian hari, bulan, tahun dan windu niscaya mengandung maksud.
Walaupun demikian, segala kemampuan insan itu tidak merupakan bawaan dari alam (yang juga dinamakan “naluri”, alasannya yaitu sudah terprogram di dalam gennya, menyerupai halnya pada hewan), tetapi harus dikuasainya dengan mencar ilmu (Koentjaraningrat, 2005:16).
Lebih lanjut Koentjaraningrat (1985:20) kebudayaan yaitu keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan mencar ilmu secara keseluruhan dari hasil kecerdikan dan karyanya itu, atau kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa dan cipta manusia/masyarakat. Karya berarti menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendayaan (jasmaniah) atau material yang diharapkan insan untuk menguasai alam; Rasa mencakup jiwa manusia, mewujudkan kaedah-kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan untuk pengaturan masalah-masalah masyarakat, agama dan lain-lain; Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan untuk diamalkan pada masyarakat.
Selain itu berdasarkan Soekanto (dalam Wisadirana, 2004:23) kebudayaan yaitu keseluruhan dari pernyataan pikiran dan perasaan insan material dan immaterial untuk beradaptasi kapada lingkungan dan meningkatkan taraf hidupnya atau merupakan cara hidup yang dibina oleh suatu masyarakat guna memenuhi kebutuhan pokoknya (untuk kebutuhan hidup dan kelangsungan hidup). Kebudayaan juga sanggup disebut sebagai akumulasi dari semua obyek material pada organisasi kemasyarakatan, cara tingkah laku, pengetahuan, kepercayaan dan aktifitas-aktifitas lain yang dikembangkan dalam pergaulan manusia.
Masyarakat desa yang pada umumnya masih menjaga tradisi yang ada dimasyarakatnya  masih memakai perhitungannya jawa dalam sendi-sendi kehidupannya. Misalnya saja dalam melaksanakan hajat perkawinan, mendirikan rumah, bepergian, perjodohan, mencari pekerjaan/rejeki, menetukan sifat insan dan lain sebagainya. Namun seiring dengan berkembangnya jaman tradisi-tradisi tersebut mulai mengalami perubahan dan pengembangan.
            Menurut Wisadirana masyarakat pedesaan yaitu masyarakat yang bersifat homogeny, tertib dan tentram dalam kehidupan sosialnya, mendapatkan keadaan dan hidup tanpa ada persilihan serta menolak segala bentuk pembaharuan, meskipun dalam kenyatannya anggapan-anggapan tersebut tidak selalu benar (Wisadirana, 2004:41).
            Hal mendasar dalam pembangunan desa sampaumur ini yaitu bagaimana merubah sistem nilai budaya masyarakat semoga cocok dengan perubahan sosial yang diharapkan. Hal ini sangat terkait dengan sistem nilai budaya masyarakat desa. Sebagai faktor mental sistem nilai budaya (cultural value sistem) dan sikap (attitude) mengakibatkan pola pikir tertentu yang kuat pada tindakan seseorang baik dalam kehidupan sehari-hari atau keputusan yang penting dalam hidupnya, Sayogjo (dalam Yuliati, 2003:52).
Seperti halnya pada masyarakat di desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung pada umumnya mereka masih memakai perhitungan Jawa tersebut dalam banyak sekali kegiatan utamanya dalam kegiatan perkawinan. Pada awalnya mencari kecocokan calon pengantin dengan memakai perhitungan neptu (perhitungan jumlah hari dan pasaran) dari kedua calon pengantin, kemudian mencari hari baik untuk pelaksanaan perkawinan tersebut. Apabila perhitungan dari kedua calon pengantin tidak cocok maka perkawinan tersebut terancam gagal. Masyarakat masih mempunyai keyakinan terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan, apabila dilaksanakan sesuai dengan perhitungan yang ada akan berdampak dengan kehidupan selanjutnya.
Oleh alasannya yaitu itu penulis merasa layak dan perlu untuk mengetahui bagaimana pola keyakinan masyarakat terhadap  perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di Desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung.

METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ”penelitian kualitatif” yang bersifat deskriptif.
Kirk dan Miller (dalam Moleong, 1990:2) mendefinisikan bahwa penelitaian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam penelitian sosial yang secara mendasar tergantung pada insan dan pengawasannya sendiri dan bekerjasama dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya. Sejalan dengan metode ini maka peneliti mengadakan pengamatan secara eksklusif ke lokasi penelitian.
Metode kualitatif digunakan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode penelitian kualitatif lebih gampang apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajkan secara eksklusif hakikat kekerabatan antara peneliti dengan responden; ketiga, metode ini lebih peka dan sanggup beradaptasi dengan banyak penajaman imbas bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan fenomenologis, sebagaimana penuturan Moleong (1990:9) bahwa ”pendekatan fenomonologis berusaha memahami arti insiden dengan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu, jadi pendekatan fenomonogis dimaksud untuk mendapatkan citra secara mendalam mengenai masalah-masalah yang ada berusaha melukiskan kondisi yang ada di dalam situasi dalam penelitian ini yaitu mengenai pola keyakinan masyarakat desa samir kecamatan ngunut Kabupaten Tulungagung terhadap perhitungan jawa dalam kegiatan perkawinan.
Dalam penelitian kualitatif kehadiran peneliti merupakan konsekuensi dari kedudukannya sebagai instrumen penelitian. Dalam penelitian ini peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama. Moleong (1991:14) menyatakan bahwa hanya insan sebagai alat sajalah yang sanggup bekerjasama dengan responden atau dengan obyek lainnya dan hanya manusialah yang bisa mengerti kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Posisi peneliti dalam penelitian ini bertindak sebagai instrumen kunci sekaligus sebagai alat pengumpul data.
Peneliti mengambil obyek penelitian pada masyarakat Desa Samir, sebuah masyarakat desa yang masih kental dengan tradisi-tradisi Jawa. Penelitian ini dilaksanakan di desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung. Masyarakat desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung masih banyak yang memakai perhitungan Jawa pada banyak sekali kegiatan khususnya dalam kegiatan perkawinan.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Wawancara, Dalam penelitian ini peneliti berposisi sebagai pewawancara dan target wawancara terdiri dari banyak sekali pihak antara lain perangkat desa Samir, Masyarakat desa Samir, orang-orang yang berkompeten dalam hal perhitungan Jawa khususnya perhitungan Jawa pada kegitan perkawinan. (2) Dokumentasi,  Untuk memperkuat penelitian ini, maka diharapkan dokumentasi sehingga berkhasiat untuk melengkapi hasil penelitian. Teknik ini dilakukan dengan cara menelaah dokumen-dokumen resmi, arsip, hasil penelitian, laporan dan literatur penting yang berkaitan dengan problem penelitian. Dimana hal ini berkhasiat sebagai bukti untuk suatu pengujian dan sanggup digunakan untuk mengecek keabsahan atau kesesuaian data.  Pada teknik ini peneliti memakai dokumen monografi sebagai materi untuk mengetahui kondisi masyarakat desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung.

HASIL
            Dasar keyakinan masyarakat memakai perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di Desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung yaitu sebagai berikut:
a.  Alasan incest (larangan kawin)
b. Alasan Tidak Melangggar Ajaran Agama
c. Alasan Kekurang Sempurnaan Kegiatan Perkawinan
d. Alasan Panggilan Adat
e. Alasan Kewajiban dan Pertimbangan Neptu
f. Alasan Keselamatan 
g. Alasan Peristiwa yang Pernah Terjadi
h. Alasan Sekedar Mengikuti
i.  Alasan Kecermatan Bertindak
j.  Alasan Pelestarian ke Generasi
            Faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di Desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung
a.  Pengalaman Terdahulu
b. Kepercayaan  Kepada Tuhan YME
c.  Adat Istiadat yang Berlaku di Masyarakat
d.  Ketaatan Kepada  Pemuka Masyarakat/Orang Tua
Pihak-Pihak Yang Berkompeten Dalam Hal Perhitungan Jawa Dalam Kegiatan Perkawinan di masyarakat Desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung
a. Dukun Manten
Berdasarkan penelitian di desa Samir ada dua orang yang berkompeten dalam hal Perhitungan Jawa khususnya dalam kegiatan perkawinan, atau yang lebih sering disebut dengan istilah dukun manten. Dua orang tersebut yaitu Mbah Marji dan Mbah Semo.
b. Tokoh Masyarakat
Di desa Samir selain dukun manten juga terdapat orang-orang yang andal dalam perhitungan Jawa. Orang tersebut diantaranya yaitu Bapak Parman.
Perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di masyarakat desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung
a.  Perhitungan Perjodohan
Dalam masyarakat desa Samir perhitungan perjodohan tidak begitu digunakan. Perhitungan perjodohan yang manis apabila antara neptu laki-laki dan perempuan sehabis dijumlah menghasilkan angka 27. Perjodohan yang tidak baik apabila neptu  laki-laki dan perempuan apabila dijumlah menghasilkan 24 atau 14, apalagi bila neptu antara laki-laki dan perempuan sama-sama 12 ini malah tidak baik. Apabila jumlah neptu antara kedua calon pengantin berjumlah 24 atau 14 jarang orang yang berani melanjutkan. Yang tidak baik juga itu antara pasaran Wage dan Pahing disebut Geyeng.
b. Menentukan Hari yang baik dalam pelaksanaan kegiatan perkawinan       
Untuk memilih hari yang sempurna untuk perkawinan itu dengan menjumlahkan neptu dari laki-laki dan perempuan, kemudian mecarikan hari yang baik yang kemudian jumlah hari dan neptu keduanya dibagi tiga-tiga yang bisa menyisakan angka 2 atau habis tidak baloh menyisakan 1. Kalau bisa sisa 2 itu malah lebih bagus. Misalnya saja laki-laki lahir pada hari Ahad Wage neptunya 9, perempuannya lahir pada hari Rabu Wage neptunya 11, 9+11=20. Kemudian mencarikan hari yang dua belasan yaitu Senin Kliwon=12. 9+11+12=32 dibagi tiga terus menyisakan dua hari itu bisa dipakai.

PEMBAHASAN
Pada masyarakat desa Samir perhitungan Jawa merupakan suatu hal yang harus digunakan dalam kegiatan perkawinan. Sehingga perhitungan Jawa tersebut menjadi sopan santun yang mendarah daging dalam masyarakat. Meskipun ada yang tidak meyakini perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan namun mereka mengakui akan tetap memakai perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan mereka dengan alasan panggilan sopan santun yang masih berlaku dalam masyarakat. Warga masyarakat yang memakai perayaan perkawinan modern pun tidak melupakan perhitungan Jawa dari kegiatan perkawinan. Hal ini sangatlah sulit diubah meskipun jaman kini sudah semakin maju. Karena kekerabatan antara masyarakat satu dengan lainnya sangatlah erat oleh alasannya yaitu itu mereka harus melaksanakan apa yang pada umumnya menjadi kebiasaan dalam masyarakat, dan apabila ada warga yang tidak memakai apa yang pada umunya dilakukan oleh masyarakat maka sudah barang tentu akan menjadi materi pembicaraan. Sifat masyarakat desa Samir yang demikian menyerupai halnya sifat masyarakat yang dijelaskan oleh Wisadirana bahwa masyarakat pedesaan yaitu masyarakat yang bersifat homogeny, tertib dan tenteram dalam kehidupan sosialnya, mendapatkan keadaan tanpa ada perselisihan serta menolak segala bentuk pembaharuan (Wisadirana, 2004:41).  masyarakat memakai perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, alasannya yaitu sudah terbukti ada masyarakat yang melanggar atau tidak memakai perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan dan jadinya mereka menerima celaka. Karena hal tersebutlah masyarakat meyakini adanya perhitungan Jawa dan menggunakannya dalam kegiatan perkawinannya. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Suriasumantri bahwa Satu karakteristik dari suatu keyakinan yaitu bahwa ia mempunyai pertalian dengan dunia luar (tidak hanya pada pengalaman kini dari individu tetapi juga pada keseluruhan pengalamannya). Suatu keyakinan sanggup dikatakan sebagai sekumpulan keadaan suatu organisme yang terikat bersama alasannya yaitu memperoleh pertalian dengan dunia luar, sebagian atau seluruhnya (Suriasumantri, 2001:72).
Karena banyaknya pengalaman dari masyarakat yang tidak memakai atau melanggar perhitungan Jawa dan terbukti mereka mendapatkan tragedi alam hal itu juga menjadi salah satu faktor yang mendorong warga desa Samir untuk memakai perhitungan Jawa dalam pelaksanaan kegiatan perkawinan. baik itu dari pengalaman pribadi, orang lain maupun dari dongeng yang pernah mereka dengar. Untuk menghindarkan insiden yang tidak diinginkan maka digunakan perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan dan sebisa mungkin harus menghindari larangan-larangan yang ada dalam perhitungan Jawa alasannya yaitu menikah itu digunakan untuk selamanya semoga semuanya menerima keselamatan. Menurut keterangan dari beberapa informan banyak masyarakat desa Samir yang tidak memakai perhitungan Jawa/melanggar larangan dari perhitungan Jawa dan jadinya meraka mendapatkan musibah. Pengalaman terdahulu inilah yang menjadi faktor yang paling mempengaruhi keyakinan masyarakat desa Samir terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan. pengalaman terdahulu yang menjadi faktor yang mendorong keyakinan masyarakat desa Samir terhadap perhitungan Jawa ini senada dengan klarifikasi Plato yang menyatakan bahwa untuk mendukung suatu keyakinan didukung olah tiga persyaratan:
a.       Hal itu memang benar dan sesuai dengan faktanya
b.      Dia yakin bahwa hal itu benar
c.       Terdapat bukti-bukti yang mendukung keyakinannya. (Plato dalam Sjamsuri, 1989:5).
Perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan sudah menjadi sopan santun istiadat dalam diri masyarakat desa Samir. Adat yang berlaku dalam masyarakat sedikit banyak juga mempunyai imbas terhadap keyakinan masyarakat terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan. Karena perkawinan demikian pentingnya dalam kehidupan maka padanya berlaku majemuk hukum yang kemudian menjadi tradisi. Bagi orang yang memegang adat, tujuan utamanya yaitu untuk memenuhi sopan santun itu sendiri dan demi mendapatkan keselamatan baik itu waktu pelaksanaan kegiatan perkawinan maupun untuk kehidupan kedepannya. Adat istiadat itu secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya,  pengetahuan dan keyakinan yang dijadikan pemikiran atau pola dalam pola kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Perkawinan merupakan problem yang tidak sanggup dipisahkan dengan kehidupan insan dalam masyarakat. Oleh alasannya yaitu itu perkawinan sifatnya individu tetapi sosial. Perkawinan tidak menyangkut individu yang mau kawin saja, tetapi juga menyangkut kerabat. Seperti tujuan perkawinan dari segi sopan santun juga mnyebutkan oleh Hadikusumo yaitu: (1) kelengkapan pemeliharaan; (2) kekerabatan tetap utuh; (3) memelihara derajat hubungan; (4) memelihara wujud warisan supaya harta warisan sanggup dipergunakan anak cucunya dengan baik (Hadikusumo, 1990:10).
Masyarakat desa Samir pada umumnya begitu taat dan menuruti apa yang diusulkan oleh pihak-pihak yang berkompeten tersebut. Hal tersebut sebagaimana sifat masyarakat desa yang diungkapkan oleh Wisadirana yang menjelaskan bahwa masyarakat desa sebagai masyarakat paternalistik yaitu suatu masyarakat dimana anggota-anggotanya mempunyai sifat pasrah diri terhadap atasan atau orang yang dianggap kedudukannya lebih tinggi (pemuka adat/masyarakat dan atau pamong desa). Mereka dianggap sebagai bapak yang sanggup melindungi dan harus dihormati serta dipatuhi. Makara masyarakat ini sifatnya membapakan pada atasan dan biasanya pada desa yang semakin terpencil, maka sifat  tersebut akan semakin aktual (Wisadirana, 2004:49).
Digunakannya perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan bertujuan semoga pelaksanaan kegiatan perkawinan tidak ada halangan suatu apapun, semuanya selamat dan untuk kehidupan pengantin ke depannya. Perhitungan Jawa yang salah dalam kegiatan perkawinan bisa mengakibatkan tragedi alam baik pada ketika itu juga atau di masa yang akan datang.
Penggunaan perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan yang terpenting yaitu untuk memilih hari baik pelaksanaan ijab qabul sedangkan untuk aktivitas temu manten atau perayaan mengikuti ketika ijabnya. Oleh alasannya yaitu itu mengetahui neptu/ weton kedua calon pengantin sangatlah penting untuk mencari hari baik dalam pelaksanaan perkawinannya. juga untuk mengetahui apakah jumlah neptu keduanya sempurna atau tidak, juga harus memperhatikan asal seruan dari calon pengantinnya. Weton yaitu perhitungan hari lahir kedua calon mempelai (Hariwijaya, 2005:7). Koentjaraningrat (1999:38) menyebutkan bahwa weton adalah perhitungan hari kelahiran kedua calon pengantin, berdasarkan kombinasi warna system perhitungan tanggal masehi dengan perhitungan tanggal sepasaran (mingguan orang Jawa). Weton dimaksudkan sebagai ramalan nasib masa depan kedua mempelai apabila jatuh kepada kebaikan, itulah doa yang diharapkan oleh kedua orang tua. Namun apabila jatuh kepada hal yang kurang beruntung, diharapkan kedua mempelai berdoa dan bertawakan kepada Tuhan YME semoga selamat dunia akhirat. Pada masyarakat desa Samir tidak terlalu memakai perhitungan perjodohan yang rumit. Berikut yaitu perhitungan perjodohan yang berlaku di masyarakat desa Samir: Perhitungan perjodohan yang manis apabila antara neptu laki-laki dan perempuan sehabis dijumlah menghasilkan angka 27. Perjodohan yang tidak baik apabila neptu  laki-laki dan perempuan apabila dijumlah menghasilkan 24 atau 14, apalagi bila neptu antara laki-laki dan perempuan sama-sama 12 ini malah tidak baik. Apabila jumlah neptu antara kedua calon pengantin berjumlah 24 atau 14 jarang orang yang berani melanjutkan. Hal ini diberi istilah ngungkurne. Yang tidak baik juga itu antara pasaran Wage dan Pahing disebut Geyeng alasannya yaitu bisa kalah salah satu pihak. Perhitungan ini bisa jadi berbeda anatara tempat satu dengan tempat lainnya. Di masyarakat desa Samir mencari hari baik dalam melaksanakan kegiatan perkawinan merupakan suatu hal yang tak bisa dielakkan lagi. Untuk memilih hari baik dalam pelaksanaan kegiatan perkawinan di masyarakat desa Samir memakai sistem ponco sudo.
Berdasarkan temuan penelitian untuk memilih hari yang sempurna untuk perkawinan itu dengan menjumlahkan neptu dari laki-laki dan perempuan, kemudian mecarikan hari yang baik yang kemudian jumlah hari dan neptu keduanya dibagi tiga-tiga yang bisa menyisakan angka 2 atau habis tidak baloh menyisakan 1. Kalau bisa sisa 2 itu malah lebih bagus. Misalnya saja laki-laki lahir pada hari Ahad Wage neptunya 9, perempuannya lahir pada hari Rabu Wage neptunya 11, 9+11=20. Kemudian mencarikan hari yang dua belasan yaitu Senin Kliwon=12. 9+11+12=32 dibagi tiga terus menyisakan dua hari itulah yang  bisa digunakan. Wuku, bulan, tahun dan windu  juga harus diperhatikan. hari-hari yang dihentikan untuk melaksanakan kegiatan perkawinan adalah:
1.        Hari meninggalnya orang bau tanah baik orang bau tanah laki-laki maupun orang bau tanah perempuan
2.        naas pengantin laki-laki dan perempuan
3.        Akad Pahing, Selasa Wage, Rabo Legi, Kamis Pon, Sabtu Kliwon, hari-hari itu tidak ada dalam tanggalan maksudnya hari satu Suro tidak pernah dan tidak akan pernah jatuh pada hari-hari itu
4.         Sementara bulan-bulan yang tidak boleh itu bulan tanggal 1 Suro ini lahirnya tahun, bulan selo bulan ini tidak baik untuk pelaksanaan kegiatan perkawinan namun baik untuk mbeguru (mencari ilmu), bulan pahala tapi bulan ini masih bisa untuk dipakai
5.        Wuku yang tidak boleh untuk digunakan itu Sinto, Rigan, Langker, Tambir, Bolo wuku-wuku ini was kamis ringkel (pangapesane jalma manungso) itu tidak boleh digunakan untuk hajat apapun.
Cara mencari hari naas itu habisnya hari kelahiran contohnya saja lahir pada hari kemis legi neptu 13 jadi harinya dihitung hingga tiga belas itu jatuh di hari Rabu pasarannya juga dihitung hingga tiga belas jatuh di pasaran Wage jadi hari naasnya jatuh di hari Rabo Wage Hari-hari yang manis yang bisa digunakan untuk melaksanakan kegiatan perkawinan ada di Rabo Wage, Ahad  Pon, Jumat Pon, Selasa Pahing, Sabtu Legi, Kamis Legi, Kamis Legi, Senin Kliwon, Jumat Wage.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan sanggup dirumuskan kesimpulan penelitian sebagai berikut:
1.    Dasar keyakinan masyarakat desa Samir memakai perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan yaitu sebagai berikut: (1) Alasan incest (larangan kawin); (2) Alasan Tidak Melangggar Ajaran Agama; (3) Alasan Kekurang Sempurnaan Kegiatan Perkawinan; (4) Alasan panggilan adat; (5) Alasan Kewajiban dan Pertimbangan Neptu; (6) Alasan Keselamatan; (7) Alasan Peristiwa yang Pernah Terjadi; (8) Alasan Sekedar Mengikuti; (9) Alasan Pelestarian ke Generasi; (10) Alasan Kecermatan Bertindak. Dari kesepuluh alasan tersebut alasan yang paling lebih banyak didominasi menjadi dasar keyakinan masyarakat desa Samir memakai perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan yaitu alasan keselamatan. Jarang sekali bahkan bisa dikatakan tidak ada warga masyarakat desa Samir yang tidak memakai perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan alasannya yaitu mereka takut akan bala/musibah yang akan didapat, selain itu perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan sudah menjadi sopan santun yang mendarah daging pada masyarakat desa Samir.
2.    Faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di masyarakat desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung antara lain adalah: (1) Pengalaman Terdahulu; (2) Kepercayaan  Kepada Tuhan YME; (3) Adat Istiadat yang Berlaku di Masyarakat; (4) Ketaatan Kepada  Pemuka Masyarakat/Orang Tua. Dari keempat faktor tersebut faktor yang paling lebih banyak didominasi yang mendorong masyarakat untuk meyakini perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan yaitu faktor pengalaman terdahulu. Mereka meyakini perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan alasannya yaitu sudah banyak terbukti orang yang melanggar/tidak memakai perhitungan Jawa banyak menerima musibah.
3.    Pihak-pihak yang berkompeten dalam hal perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan di masyarakat desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung ada dua pihak yaitu dukun manten dan tokoh masyarakat. Di desa Samir ada dua orang yang dikenal sebagai dukun manten orang tersebut yaitu Mbah Marji dan Mbah Semo. Mbah Marji dikenal lebih modern daripada Mbah Semo, Mbah Semo masih memakai sopan santun Jawa kental. Sedangkan tokoh masyarakat yang berkompeten diantaranya yaitu Bapak Parman. Meskipun dia bukan berfrofesi sebagai dukun manten tapi banyak warga yang meminta tolong untuk mencarikan hari baik untuk pelaksanaan kegiatan perkawinan mereka.
4.    Perhitungan Jawa Dalam Kegiatan Perkawinan di Masayarakat Desa Samir Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung meliputi: (1) Perhitungan Perjodohan, Perhitungan perjodohan yang manis apabila antara neptu laki-laki dan perempuan sehabis dijumlah menghasilkan angka 27. Perjodohan yang tidak baik apabila neptu  laki-laki dan perempuan apabila dijumlah menghasilkan 24 atau 14, apalagi bila neptu antara laki-laki dan perempuan sama-sama 12 ini malah tidak baik. Apabila jumlah neptu antara kedua calon pengantin berjumlah 24 atau 14 jarang orang yang berani melanjutkan. Yang tidak baik juga itu antara pasaran Wage dan Pahing disebut Geyeng alasannya yaitu bisa kalah salah satu pihak.(2) Menentukan Hari yang baik dalam pelaksanaan kegiatan perkawinan, Untuk memilih hari yang sempurna untuk perkawinan itu dengan menjumlahkan neptu dari laki-laki dan perempuan, kemudian mecarikan hari yang baik yang kemudian jumlah hari dan neptu keduanya dibagi tiga-tiga yang bisa menyisakan angka 2 atau habis tidak baloh menyisakan 1. Kalau bisa sisa 2 itu malah lebih bagus. Misalnya saja laki-laki lahir pada hari Ahad Wage neptunya 9, perempuannya lahir pada hari Rabu Wage neptunya 11, 9+11=20. Kemudian mencarikan hari yang dua belasan yaitu Senin Kliwon=12. 9+11+12=32 dibagi tiga terus menyisakan dua hari itulah yang  bisa digunakan. Wuku, bulan, tahun dan windu  juga harus diperhatikan (3) Meramalkan Letak Rumah Kedua Calon Pengantin, Berikut ini arah rumah serta yang tidak diperbolehkan untuk menikah di masyarakat desa Samir: Nyigar kupat (beradu pojok), sunduk waton (berada dalam satu deret dua atau tiga rumah tetangga bersahabat baik itu sebelah kanan atau kiri), segoro getih (ngangkah dalan siji, menyeberang satu jalan) baik itu utara selatan atau timur barat, turun telu (turun tiga, satu saudara buyut), pancer wali (tunggal bapak, anak saudara laki-laki), mumah murep, masih saudara (saudara laki-laki dengan saudara perempuan. Menurut sopan santun yang berlaku masyarakat desa Samir tidak diperbolehkan untuk menikah dengan orang-orang yang berada pada desa-desa tertentu, desa-desa tersebut antara lain: Karangsono, Salakkembang, Selorejo, Desa yang karakter awalnya berawal sama yaitu S contohnya saja dengan orang desa Sumberjo, Sumberingin, Salakkembang, atau disebut dengan sautan desa. Ada beberapa warga yang gagal menikah dikarenakan terhalang problem larangan tersebut. Dan apabila ada warga yang harus melaksanakan perkawinan dengan larangan-larangan tersebut maka kepadanya berlaku beberapa hukum yang harus dilaksanakan. Perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan bisa berlainan antara di tempat satu dengan tempat lainnya.
Saran

1.    Bagi Masyarakat

Untuk melestarikan perhitungan Jawa sebagai warisan budaya, maka penggunaan perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan layak dipergunakan sebagai materi untuk memilih hari baik dalam pelaksanaan kegiatan perkawinan serta memilih baik buruknya perjodohan. Pada dasarnya maksud dari perhitungan Jawa pada kegiatan perkawinan intinya baik namun masyarakat diharapkan harus lebih bijak dalam menyikapi perhitungan Jawa tersebut. Masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan bukan semata-mata alasannya yaitu kesalahan dari perhitungan Jawanya namun ada banyak faktor yang mendasari hal tersebut. Selain untuk melestarikan sopan santun yang ada dalam masyarakat hal itu juga bertujuan semoga kegiatan perkawinan yang dilaksanakan bisa berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.
2.    Bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam perhitungan Jawa
Agar penentuan hari pelaksanaan kegiatan perkawinan dan perjodohan bisa sempurna maka harus benar-benar teliti dalam melaksanakan perhitungan. Memperhatikan neptu dari kedua calon pengantin, hari, pasaran, bulan, wuku, tahun, windu serta hari-hari yang dihentikan untuk melaksanakan kegiatan perkawinan.
3.    Bagi peneliti selanjutnya
Kepada peneliti selanjutnya hendaknya melaksanakan penelitian dengan subyek yang lebih luas sehingga sanggup melengkapi penelitian sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa penelitian ini memakai subyek masyarakat dalam  satu desa, tidak dikenakan pada maysarakat pada satu kecamatan, atau memakai subyek pada masyarakat lain. Agar membahas hal yang belum diletiliti tidak hanya pola keyakinan masyarakat terhadap perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan tetapi bisa memakai persepsi masyarakat, dampak terhadap kehidupan perkawinan, kekerabatan perhitungan Jawa dengan keharmonisan rumah tangga dan lain sebagainya.

DAFTAR RUJUKAN

Abizar. 1988. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Dipdikbut Dirjen Dikti
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Beretha, I Nyoman. 1982. Desa, Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa. Jakarta: Ghalia Indonesia
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju
Hariwijaya. 2004. Perkawinan Adat Jawa. Jogyakarta: Hanggar Kreator
Hasansulama & Mahmudin, E & Sugarda, Tarya. 1983. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Irwanto,2002. Psikologi Umum. Jakarta: PT. Prehalindo
Koentjaranibgrat. 2005. Pengantar Anthropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ma’arat. 1988. Psikologi sikap insan perkembangan serta pengukurannya. Bandung: Ghalia Indonesia
Miles. M. B, dan Huberman, A M. 1992. Analisis data kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Diterjemahkan oleh T. Rohidi. Jakarta: Penertbit Universitas Indonesia
Moleong, Lexi. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosadakarya
Purwadi & Maziyah, Siti. 2009. Horoskop Jawa. Yogyakarta: Media Abadi
Rahmat, Jalaludin. 1988. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Karya
Sanapiah, Faisal. 1980. Metode Penelitian Kualltatif; Dasar-Dasar dan Aplikasinya. Malang: YA3
Sjamsuri. 1989. Pengantar Teori Pengetahuan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sukonco, lambang hadi. 1 Agustus 2008. Sistem Penanggalan Jawa. (aciknadzirah.blogspot.com/search?q=ciri-ciri-masyarakat-desa, diakses Tanggal 20 April 2010)
 Sumarji.__________Ukon-Ukon Ilmu Jawi Alip Klawu.Samir,Ngunut,Tulungagung
Suriasumantri, Jujun S. 2001. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tjakraningrat, Harya. 2005. Kitab Primbon Berajemur Adammakna. Yogyakarta: CV. Buana Raya
Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks
Wisadirana, Darsono. 2004. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM Pers
Yuliati, Yayuk. 2003. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Lappera Pustaka Media
. _____________(aciknadzirah.blogspot.com/search?q=ciri-ciri-masyarakat-desa, diakses tanggal 11 Mei 2010)


Sumber http://dykaandrian.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pola Iktikad Masyarakat Terhadap Perhitungan Jawa Dalam Acara Perkawinan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel