iklan

Filologi Dan Cara Kerja Penelitian Filologi Oleh : Edwar Djamaris


            Filologi ialah suatu ilmu yang obyek penelitiannya naskah-naskah lama. Sebelum kita membicarakan pokok-pokok pengertian wacana filologi ini lebih lanjut, oke kita jelaskan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan naskah ini. Yang dimaksudkan dengan naskah di sini, ialah semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Tulisan tangan pada kertas itu biasanya digunakan pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa; lontar bnyak digunakan pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali dan kulit kayu dan rotan biasa digunakan pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris naskah-naskah ini disebut “manuscript” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “handschrift”. Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan peninggalan tertulis pada batu. Batu yang mempunyai goresan pena itu biasa disebut piagam, kerikil bersurat, atau inskripsi. Dan ilmu dalam bidang goresan pena kerikil itu disebut epigrafi.

            Mengingat materi naskah ibarat tersebut di atas, jelaslah, bahwa naskah it tidak sanggup bertahan beratus-ratus tahun tanpa pemeliharaan yang cermat dan perawatan yang khusus, sebagaimana sanggup kita jumpai di luar negeri. Pemeliharaan naskah biar tidak cepat rusak, antara lain : mengatur suhu udara daerah naskah itu disimpan, sehingga tidak cepat lapuk;  melapisi kertas-kertas yang sudah lapuk dengan kertas yang khusus untuk itu, sehingga besar lengan berkuasa kembali; dan menyemprot naskah-naskah itu dalam jangka waktu tertentu dengan materi kimia yang sanggup membunuh bubuk-bubuk yang memakan kertas itu. Demikian antara lain pemeliharaan khusus terhadap naskah-naskah itu, tetapi tinta yang memecah dan kertas yang cepat menguning atau dengan kata lain kualitas tinta dan kertas yang kurang baik sukar diatasi.
            Dapatlah dibayangkan, bahwa apabila naskah-naskah tidak dirawat dengan cermat akan cepat sekali hancur dan tidak bernilai lagi sebagai warisan budaya nenek moyang. Naskah bukanlah komplemen yang sanggup dibanggakan dengan mempertontonkannya saja. Naskah itu gres berhar, apabila masih sanggup dibaca dan dipahami.
            Semua naskah itu dianggap sebagai hasil sastra usang dan isi naskah itu bermacam-macam. Ada yang bersama-sama tidak sanggup digolongkan dalam karya sastra, ibarat undang-undang, adat-istiadat, cara-cara membuat obat, dan cara membuat rumah. Sebagian besar sanggup digolongkan dalam karya sastra, dalam pengertian khusus, ibarat cerita-cerita dongeng, hikayat, dongeng binatang, pantun, syair, gurindam, dsb. Ituah sebabnya pengertian filologi diidentikkan dengan sastra lama.
            Sebagai teladan keragaman isi naskah itu sanggup kita lihat padanaskah-naskah Melayu yang tersimpan di Museum Pusat Jakarta, berdasarkan Katalogus Koleksi Naskah Melayu. Dalam katalogus itu naskah sanggup digolongkan dalam beberapa golongan yaitu :
                                     I.      Hikayat                                   : 243 judul
                                  II.      Cerita kenabian                       : 138 judul
                               III.      Cerita sejarah                          :   58 judul
                               IV.      Hukum dan adat                      :   50 judul
                                  V.      Puisi                                        :   99 judul
                               VI.      Pustaka agama Islam              : 273 judul
                            VII.      Aneka ragam                           :   92 judul
            Demikianlah sala satu teladan keragaman isi naskah itu.
            Hasil sastra pada naskah ini sanggup dikatakan sebagai periode atau tahap kedua dalam kehidupan sastra pada umumnya. Tahap pertama kehidupan sastra itu muncul secara lisan, sebelum orang mengenal tulisan. Sebagaimana diketahui sastra verbal tidak merupakan obyek penelitian filologi. Hasil sastra pada naskah ini sanggup pula dianggap sebagai periode pertama kehidupan sastra sehabis orang mengenal tulisan.
            Sekarang kita kembali membicarakan apa yang dimaksud dengan filologi itu. Filologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata philos dan logos. Philos artinya cinta dan logos artinya kata (logos berarti juga ilmu). Kaprikornus filologi itu secara harfiah berarti cinta pada kata-kata. Itulah sebabnya filologi selalu asyik dengan kata-kata. Kata-kata dipertimbangkan, dibetulkan, diperbandingkan, dijelaskan asal-usulnya dan sebagainya, sehingga terang bentuk dan artinya.
            Pengertian filologi ini kemudian berkembang; dari pengertian cinta pada kata-kata menjadi cinta pada ilmu. Filologi tidak hanya sibuk dengan kritik teks, serta komentar penjelasannya, tetapi juga ilmu yang menyidik kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah. Obyeknya tetap sama, yaitu naskah. Dari penelitian filologi, kita sanggup mengetahui latar belakang kebudayaan yang menghasilkan karya sastra itu, ibarat kepercayaan, adat-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa.
            Memang pekerjaan utama dalam penelitian filologi itu, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Haryati Soebadio, ialah mendapat kembali naskah yang higienis dari kesalahan, yang berarti memperlihatkan pengertian yang sebaik-baiknya dan yang sanggup dipertanggungjawabkan, sehingga kita sanggup mengetahui naskah yang paling akrab pada aslinya, lantaran naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan untuk kesekian kalinya; serta cocok pula dengan kebudayaan yang melahirkannya, sehingga perlu dibersihkan dari tambahan yang diterakan dalam zaman kemudian yang dilakukan waktu penyalinannya. Hal ini penting, supaya isi naskah tidak diinterpretasikan secara salah.
            Jelaslah, suatu naskah harus terlebih dahulu diteliti secara cermat, diperbandingkan, sehabis itu barulah sanggup dipergunakan untuk penelitian lain, ibarat sejarah, undang-undang, agama dan sosiologi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui, apakah isi naskah itu tidak salah atau disadur orang lain; apakah isinya tidak berbeda antara satu naskah dengan naskah lain. Kalau terdapat perbedaan, apakah perbedaan itu disebabkan salah tulis, salah baca, kelupaan, terlampaui menulisnya, sehingga akan menjadikan salah tafsir. Suatu naskah gres boleh dibahas isinya, kalau naskah yang bersangkutan sudah diteliti sedalam-dalamnya secara filologi, ibarat tersebut di atas. Sebelum studi filologi dilakukan, kesudahannya belum sanggup dipastikan. Boleh dikatakan kesudahannya gres bersifat sementara, alasannya yaitu tidak sanggup ditutup kemungkinan, bahwa teks yang digunakan disalahartikan oleh andal sejarah, andal sosiologi, andal hukum, dsb.
            Suatu dongeng tertulis dalam satu atau lebih naskah dan pada umumnya lebih dari satu naskah; ada yang lebih dari 40 buah naskah ibarat Tambo Minangkabau. Suatu naskah diperbanyak dengan jalan menyalin yang sanggup dikerjakan oleh siapa saja, lantaran dongeng dianggap milik bersama. Tetapi harus pula diingat, bahwa orang yang cerdik menulis pada waktu itu juga sangat sedikit, sehingga tidak heran kalau orang yang mempunyai naskah itu merasa besar hati sekali dan menganggapnya sebagai benda keramat. Kalau ada orang yang hendak membacakan isi naskah itu diharuskan pula mengadakan upacara tertentu pula.
            Semakin banyak naskah untuk suatu cerita, bersama-sama semakin baik, sehingga kita mendapat citra yang terang terhadap dongeng itu; akan tetapi penelitian itu semakin rumit, lantaran akan memakan waktu dan meminta ketelitian untuk membaca semua naskah itu dan memperbandingkannya.
            Sekarang timbul pertanyaan, mengapa naskah itu disalin. Jawabnya ada beberapa kemungkinan. Naskah itu disalin, lantaran impian mempunyai dongeng itu, atau mungkin naskah orisinil sudah rusak, sehingga terpaksa dibuatkan salinannya yang baru. Berdasarkan hal itu timbul beberapa buah naskah yang sejenis. Mungkin juga suatu dongeng verbal yang telah tersebar di kalangan masyarakat, kemudian timbul impian hendak menyalinnya. Naskah-naskah jenis inilah umumnya yang banyak kita jumpai perbedaan-perbedaannya.
            Berdasarkan pengamatan terhadap naskah-naskah yang ada, dapatlah diperkirakan cara menyalin naskah tersebut sebagai berikut. Penyalin menyalin suatu naskah secara ototis, tidak cermat dan tidak memperhatikan isi kalimat naskah yang disalinnya itu, sehingga sering kali terdapat salah tulis. Ada juga penyalin memperhatikan isi kalimat, sehingga dengan sengaja mengubah kata, menambah atau mengurangi kata-kata atau susunan kalimat yang dianggap salah itu, sehingga terdapat beberpa naskah yang gaya bahasanya berbeda. Dan kemungkinan lain ibarat telah disebutkan di atas, dongeng disalin dari dongeng lisan. Sudah barang tentu dalam menuliskan ada belahan yang lupa atau susunan dongeng yang berbeda.
            Hal-hal itulah yang perlu dijelaskan oleh filolog. Filolog yang cermat harus sanggup menjelaskan, apa sebabnya penyalinan naskah menuliskan kata-kata salah atau kurang terang atau sembrono. Apakah hal itu disebabkan penulisannya tidak teliti, atau penulisnya tidak tahu kata-kata yang dituliskannya, lantaran kurangnya pengetahuannya terhadap kata-kata dan isi dongeng naskah yang disalinnya itu, sehingga tidak mengerti maksud penulis naskah yang naskahnya digunakan sebagai sumber itu.

Cara Kerja Penelitian Filologi
            Sekarang sampailah kita membicarakan cara kerja penelitian filologi itu. Ada beberapa duduk masalah pokok yang perlu dilakukan dalam penelitian filologi itu, diantaranya, yaitu :
1.      Inventarisasi naskah;
2.      Deskripsi naskah;
3.      Perbandingan naskah;
4.      Dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi;
5.      Singkatan naskah; dan
6.      Transliterasi naskah.
Baiklah masalah-masalah tersebut di atas kita jelaskan satu-persatu, dan apa perlunya pokok-pokok penelitian itu dilakukan.

1.      Inventarisasi Naskah
Apabila kita ingin meneliti suatu dongeng bedasarkan naskah berdasarkan cara kerja filologi, pertama-tama hendaklah didaftarkan semua naskah yang terdapat di banyak sekali perpustakaan universitas atau museum yang biasa menyimpan naskah. Daftar naskah sanggup dilihat berdasarkan katalogus naskah yang tersedia. Sebagai teladan untuk naskah-naskah yang berbahasa Melayu sudah ada sebuah daftar naskah yang disusun oleh Joseph H. Howard dalam sebuah buku yang berjudul Malay Manuscripts. Dalam buku ini telah didaftar naskah-naskah Melayu yang terdapat di banyak sekali universitas dan museum di alam dan di luar negeri berdasarkan katalogus yang ada, di samping daftar salinan naskah-naskah Melayu yang terdapat di perpustakaan Universiti Malaya.
Dalam buku Malay Manuscripts itu didaftar naskah-naskah Melayu yang terdapat di Muenchen, Brussel London, Leiden, Berlin, Hamburg dan Jakarta. Bagi yang ingin memperdalam penelitian mengenai naskah-naskah Melayu ini, nanti pada tamat pembicaraan ini, akan dicantumkan daftar katalogus naskah Melayu.
Naskah-naskah yang diharapkan sanggup diperoleh dengan memesan didaftar untuk mengetahui jumlah naskah dan di mana naskah itu disimpan, serta klarifikasi mengenai nomor naskah, ukuran naskah, goresan pena naskah, daerah dan tanggal penyalinan naskah. Keterangan-keterangan ini sanggup dilihat dalam katalogus.

Sebagai contoh, saya kutip daftar naskah Tambo Minangkabau.
A.                Jakarta
                         I.      Van Ronkel (1909)
1.    Bat. Gen 40 : 19 x 30 cm, 52 hal., 34 br., Arab-Melayu, jelas. Sungai Batang, Ahad, Rajab 1263.
2.      Bat. Gen 280 : 17 x 20 cm, 92 hal., 18 br., Arab-Melayu, jelas. Air Haji, 1812.
                      II.      KKNM (1972)
1.      MI. 428 : 17 x 21,5 cm, 55 hal., 41 br., Arab-Melayu, jelas. Kolofon tidak ada.
2.      MI. 490 : 21 x 33 cm, 156 hal., 38 br., Latin, kurang jelas. Kolofon tidak ada.
B.                 Leiden
                         I.       Juynboll (1899)
1.    Cod Or. 1745/CCLVI : 13 x 20 cm, 70 hal., 19 br., Arab-Melayu, jelas, 13 Syafar 1240, Kitab Baginda Tanalam Sikaturi.

2.      Deskripsi Naskah
            Langkah kedua, sehabis selesai menyusun daftar naskah yang hendak kita teliti, dan naskah pun telah tersedia untuk dibaca, barulah kita membuat uraian atau deskripsi tiap-tiap naskah secara terperinci. Dalam uraian itu, di samping apa yang telah disebutkan dalam daftar naskah, juga dijelaskan keadaan naskah, kertas, watermark kalau ada, catatan lain mengenai isi naskah, serta pokok-pokok isi naskah itu. Hal ini penting sekali untuk mengetahui keadaan naskah, dan sejauh mana isi naskah itu. Penelitian ini sangat membantu kita untuk menentukan naskah mana yang paling baik digunakan untuk perbandingan naskah itu.
            Contoh yang amat sederhana dalam hal ini saya kutip dari deskripsi naskah Hikayat Nur Muhammad, sebagai berikut :
Nomor naskah             : Bat. Gen. 96/MI. 96
Ukuran naskah            : 13 x 20 cm, 18 hal., 15 br.
Tulisan naskah : Arab-Melayu, kurang jelas.
Keadaan naskah          : Kertas agak lapuk, beberapa halaman dilapisi dengan kertas  minyak, lantaran sobek.
Kolofon                       : tidak ada
Catatan lain                 : Naskah ini tercatat pada katalogus Van Ronkel (1909), hal. 222, dan pada KKNM (1972), hal. 172. Cerita dimulai pada halaman 2; isinya kurang lengkap. Naskah ini terdiri dari dua cerita, yaitu :
1.            Hikayat Nur Muhammad
2.            Nasehat untuk wanita (judul ini tidak tertera dalam naskah), hal. 9-18.
            Pokok-pokok isi dongeng Hikayat Nur Muhammad ini sebagai berikut :
1-3  : Dimulai dengan basmallah dan kebanggaan terhadap kebesaran Allah dalam bahasa Arab, tanpa terjemahannya. Kemudian dijelaskan, bahwa Nur Muhammad itu telah diciptakan Allah sebelum adanya segala sesuatu di dunia ini. Itulah permulaan kejadian.
3-6  : Tuhan membuat tujuh laut, yaitu bahari ilmu, bahari latif, bahari sabar, bahari akal, bahari pikir, bahari rahmat dan bahari cahaya. Nur Muhammad diperintahkan Allah berenang  ke tujuh bahari itu. Nur Muhammad pun berenang ke sana.
6-8 : Tuhan membuat segala sesuatu dari empat unsur, yaitu angin, air, api, dan tanah. Nur Muhammad diperintahkan Tuhan pergi kepada tiap unsur itu. Semuanya menyombongkan dirinya lebih tinggi dari yang lain, kecuali tanah, dikala Nur  Muhammad itu datang.
                        Setelah semuanya diberi pelajaran oleh Nur Muhammad, barulah masing-masing sadar akan kekurangannya dan bertobat kepada Tuhan.
            Dari deskripsi naskah tersebut di atas itu jelaslah, bahwa naskah tersebut isinya sangat sederhana, tidak lengkap, tulisannya juga tidak terang dan naskah sudah agak rusak. Keterangan-keterangan ibarat tersebut di atas itulah yang sanggup nanti digunakan sebagai materi pertimbangan menentukan naskah yang baik untuk diteliti lebih lanjut.
            Sebagaimana telah disebutkan di atas, deskripsi tersebut masih sangat sederhana. Apabila kita ingin keterangan yang lebih terperinci, hendaklah pula dijelaskan berapa halaman naskah itu yang terpakai dan berapa halaman yang kosong. Bagaimanakualitas kertasnya, bergaris atau polos, ukurannya kuarto atau folio, warnanya putih atau sudah menguning? Kalau ada juga sebutkan ciri-ciri watermark kertas itu. Apa warna tinta yang digunakan, hitam, merah, atau biru? Keterangan mengenai goresan pena naskah juga sanggup diperjelas, contohnya besar, kecil, rapi, sembono, bagus, atau jelek. Susunan baris naskah teratur atau tidak, disertai garis pinggir, dihiasi atau tidak? Apakah juga ada catatan pada pinggir naskah atau tidak? Dan keterangan-keterangan atau ciri-ciri khusus lainnya kalau ada perlu disebutkan

3.      Perbandingan Naskah
            Satu tahaplagi penelitian filologi yang memerlukan ketekunan dan memakan banyak waktu, ialah perbandingan naskah. Perbandingan naskah perlu dilakukan, apabila sebuah dongeng ditulis dalam dua naskah atau lebih untuk membetulkan kata-kata yang salah atau tidak terbaca; untuk menentukan sisilah naskah; untuk mendapat naskah yang terbaik; dan untuk tujuan-tujuan lain. Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam naskah-naskah itu timbul, lantaran naskah itu diperbanyak dengan menyalin. Dalam menyalin kembali itu terdapat banyak kesalahan dan penambahan baru, lantaran cara yang dilakukan dalam menyalin naskah itu majemuk sesuai dengan kepandaian dan impian si penyalin.
            Dari pengamatan sementara, sanggup disimpulkan di sini cara yang dilakukan dalam menyalin naskah itu sebagai berikut :
a.       Menyalin dengan membetulkan;
b.      Menyalin dengan memakai bahasa sendiri;
c.     Menyalin dengan menambah unsur atau belahan dongeng baru, lantaran adanya dampak asing; dan
d.      Menyalin ceritera dari ceritera verbal atau sumber yang berbeda.
            Hal-hal inilah yang mengakibatkan perlunya naskah itu diperbandingkan. Sudah menjadi ciri sastra lama, bahwa pengarang atau penyalin dongeng bebas menambah, mengubah atau memperbaiki ceritera yang diperolehnya. Meskipun demkian, tentu ada batas-batasnya juga, sepanjang isi atau pokok ceritanya tidak berubah, lantaran mengubah suatu tradisi tabu bagi masyarakat lama. Masyarakat usang menganggap naskah itu sebagai warisan atau pusaka yang tinggi nilainya. Hal inilah yang memberi jaminan pada kita, bahwa isinya sanggup dipercayai, betul-betul hidup dalam masyarakat sesuai dengan kepercayaannya dan tidak dikarang sesuka penulisnya.
            Perbandingan naskah itu sanggup mencakup :
a.       Perbandingan kata demi kata, untuk membetulkan kata-kata yang tidak terbaca atau salah;
b.   Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa, untuk mengelompokkan dongeng dalam beberapa versi dan untuk mendapat dongeng yang bahasanya lancar dan jelas; dan
c.  Perbandingan isi cerita, untuk mendapat naskah yang isinya lengkap dan tidak menyimpang dan untuk mengetahui adanya unsur gres dalam naskah itu.
            Hal ini perlu dilakukan untuk mendapat dongeng yang bebas dari kesalahan; isi dongeng tidak diinterpretasikan secara salah; penggolongan dongeng sesuai dengan penyajiannya; dan untuk menentukan sisilah naskah itu.
            Sebagai teladan perbandingan kata demi kata dan perbandingan susunan kalimat, sanggup kami sajikan di sini suatu kutipan berdasarkan dua naskah Tambo Minangkabau. Perhatikanlah kutipan di bawah ini dengan seksama :

MI. 439
Adapun anak Adam alaihi s-salam tiga puluh sembilan orang, maka bernikah antara satu anak daripada satu anak.

Maka tiadalah beroleh istri anak yang bungsu, maka dilarikan oleh segala malaikat kepada hawang-gumawang, maka heranlah Adam dan Siti Hawa dan segala anak-anak.


Maka bertiuplah angin dari dalam sorga, maka dipalu gendang dan srunai serta nobat dan kecapi, maka terkembanglah payung ubur, maka menarilah segala anak-anakan bidadari di dalam sorga, lantaran suka melihat anak Adam yang bungsu di awang gumawang itu.

MI. 489
Adapun anak Nabi Allah Adam tiga puluh sembilan orang, maka bernikah pada satu perhentian, artinya suatu anak dari suatu anak.
Maka tiadalah beroleh istri anak Nabi Allah Adam nan bungsu. Dengan ditakdirkan Allah Taala, maka silarikannya oleh segala malaikat kepada awang-awang-gumawang, maka heranlah Nabi Adam dengan Siti Hawa dan segala anaknya.
Maka bertiuplah angin dalam Sarugo, maka baliuk malembai kayu tubi, maka dipalu oranglah gendang dalam sarugo nan berjulukan gendang nobat. Maka bertipun serurai sirandang kacang dengan ribut dan kaca-kaca. Maka berkembanglah payung ubur-ubur, maka menarilah segala anak-anakan bidadari di dalam sarugo, lantaran suka hatinya melihat anak Nabi Adam alaihi s-salam nan di awang-gumawang itu.

(Kata-kata yang berbeda pada kedua naskah itu saya beri garis bawah, supaya lebih terang kelihatannya).
            Dari perbandingan kedua naskah itu, dapatlah kita lihat banyaknya perbedaan kata-kata pada kedua naskah itu. Dan dari perbandingan itu sanggup pulalah kita menentukan kata-kata mana yang lebih sempurna dan betul pada kedua naskah itu. Misalnya, pada naskah MI. 439 terdapat kata ‘Adam alaihi s-salam’, sedang pada naskah MI.489 tertulis ‘ Nabi Allah Adam’. Sebaiknya ditulis ‘ Nabi Adam Alaihi s-salam’, masing-masing saling melengkapi. Demikian pula kata-kata ‘ribut dan kaca-kaca’ pada naskah MI. 489, sedang pada naskah MI. 439 tertulis ‘nobat dan kecapi’. Dalam hal ini yang betul yaitu ‘nobat dan kecapi’ (sejenis alat musik). Naskah MI.439 sanggup membetulkan kesalahan yang erdapat pada naskah MI. 489 itu.
            Perbandingan isi dongeng hanya sanggup dilakukan berdasarkan garis besar atas pokok-pokok isi dongeng yang sanggup dilihat pada deskripsi naskah.

4.      Dasar-dasar Penentuan Naskah yang Akan Ditransliterasi
            Teori yang digunakan untuk menentukan naskah yang akan ditransliterasikan tentulah dihubungkan dengan tujuan penlitian. Salah satu tujuan penelitian filologi, ialah untuk mendapat suatu naskah yang paling lengkap dan paling baik atau yang paling representatif dari naskah-naskah yang ada. Dengan demikian perlu perbandingan naskah. Semua naskah yang ada diteliti dan dibandingkan isinya, tulisannya, keadaannya, bahasanya, dan umur naskah itu.
            Berdasarkan hal itu dapatlah kita gunakan kerangka teori untuk menentukan naskah yang paling baik dan paling lengkap itu sebagai berikut :
1.      Isinya lengkap dan tidak menyimpang dari kebanyakan naskah lain;
2.   Tulisannya terang dan gampang dibaca dan diutamakan naskah yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu;
3.      Keadaan naskah baik dan utuh;
4.      Bahasanya lancar dan gampang dipahami; dan
5.      Umur naskah lebih tua.
Hal-hal tersebut di atas tentu gres sanggup diketahu sehabis adanya daftar naskah, deskripsi naskah yang cermat, dan perbandingan naskah.
Naskah yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas itulah yang kita pilih untuk ditransliterasikan sebagai dasar dan naskah lainnya kita gunakan yang terdapat pada naskah yang kita pakai sebagai dasar itu. Dengan demikian terpenuhilah tujuan penelitian untuk mendapat suatu naskah yang lengkap isinya dan baik bahasanya.

5.      Singkatan Naskah
      Membuat akronim naskah secara terperinci sanggup dikatakan sebagai langkah kelima penelitian filologi. Salah satu tujuannya, ialah untuk memudahkan pengenalan isi naskah. Naskah-naskah yang akan dibentuk singkatannya itu hndaklah dipilih naskah yang terbaik dari naskah yang ada, sebagaimana telah kita bicarakan pada ad. 4 tersebut di atas.
      Dalam menyusun akronim naskah itu hendaklah dicantumkan halaman-halaman naskah secara cermat, sehingga dengan gampang sanggup diketahui dari halaman berapa hingga halaman berapa suatu episode atau belahan dongeng itu dimulai dan selesai diikhtisarkan.
      Singkatan naskah secara terperinci sanggup pula dianggap sebagai perjuangan pertama memperkenalkan hasil-hasil sastra usang yang masih berupa goresan pena tangan dan kebanyakan ditulis dengan huruf Arab-Melayu itu, biar dengan gampang sanggup dibaca dan diketahui garis besar jalan ceritanya. Sebagai teladan dalam hal ini ialah sebuah kumpulan akronim naskah yang berjudul : “Singkatan Naskah Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam”.
Bahasa dan Kesusastraan, Seri Khusus no. 18, th. 1973, Lembaga Bahasa Nasional, Jakarta.
     
6.      Transliterasi/Transkripsi Naskah
            Yang dimaksud dengan transliterasi, ialah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari huruf yang satu ke huruf yang lain. Misalnya dari huruf Arab-Melayu ke huru Latin. Dapat juga dari huruf Jawa atau Sansekerta ke huruf Latin atau sebaliknya. Sedang transkripsi ialah gubahan teks dari satu ejaan ke ejaan lain. Misalnya, naskah-naskah yang ditulis dengan huruf Latin yang sudah barang tentu ditulis dengan ejaan usang diubah dalam ejaan yang berlaku sekarang. Akan tetapi kiprah yang dilakukan dalam transliterasi atau transkripsi itu tidak hanya hingga di situ saja. Naskah-naskah yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu itu tidak disertai gejala baca, ibarat titik, koma, tanda kutip, huruf besar dsb. Sehingga sukar menyusun kalimat; juga tak ada pembagian dalam alinea dan bab, sehingga sukar menentukan kesatuan-kesatuan belahan dongeng dan menyukarkan membaca. Sebagian besar naskah-naskah yang berbahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab-Melayu ini.
            Semuanya itu perlu dijelaskan oleh filolog, biar tidak terdapat lagi kekeliruan dan salah tafsir. Filolog hendaklah sedapat-dapatnya menyajikan materi transliterasi atau transkripsi itu selengkap-lengkapnya dan sebaik-baiknya, sehingga gampang dibaca dan dipahami, dengan jalan menyusun kalimat yang terang disertai gejala baca yang teliti, pembagian alinea dan belahan untuk memudahkan konsentrasi pikiran. Di samping itu juga disajikan perbedaan-perbedaan kata pada naskah-naskah lain, perbaikan-perbaikan serta komentar dan penjelasannya; sehingga sanggup ditetapkan bagaimana suara teks itu seharusnya.
            Transliterasi kata-kata atau kalimat-kalimat dalam bahasa Arab memerlukan sistem yang khusus, lantaran fonem-fonem bahasa Indonesia. Dalam hal ini perlu ditentukan terlebih dahulu sistem ejaan khusus yang digunakan untuk transliterasi bahasa Arab itu.

7.      Penutup
            Dengan selesainya transliterasi itu dikerjakan, selesai pulalah kiprah utama peneliti filologi. Dari transliterasi naskah ini, barulah sanggup dilakukan penelitian lebih lanjut yang berupa analisis isi naskah itu. Analisis atau pembahasannya umpamanya sanggup berupa analisis bahasa, struktur cerita, funsi cerita, dampak asing, latar belakang kebudayaan, dan unsur-unsur kepercayaan yang berperan dalam dongeng itu.
            Dapat pula hasil transliterasi atau transkripsi itu digunakan sebagai obyek penelitian ilmu-ilmu lain, ibarat ilmu sejarah, hukum, agama, sosiologi, dan antropologi, sesuai dengan jenis naskah yang ada.
Beberapa istilah abnormal yang perlu diketahui dalam penelitian filologi ialah :
Ablebsie                       salah lihat, silap visual
                                    Tidak sempurna atau salah melihat huruf-huruf atau kata-kata yang hampir sama 
                                    bentuknya.
Archetipus                   naskah yang sama dengan naskah asli
                                    Eksemplar yang pertama-tama bercabang.
Autograph                   penulis naskah
Autography                 Naskah yang ditulis oleh pengarang sendiri. Naskah inilah yang disebut naskah orisinil dan inilah sebaiknya digunakan sebagai dasar penelitian. Tugas filolog pertama-tama mencari naskah ini.
Codex Unicus              naskah tunggal dari suatu tradisi
Hanya terdapat satu-satunya naskah mengenai dongeng itu.
Colophon              Catatan yang terdapat pada tamat teks, biasanya berisi keterangan mengenai tempat, tanggal, dan penyalin naskah.
Conjectura                  dugaan, ajukan
Constitutio textus    Usaha perbaikan naskah didasarkan atas tekanan yang berlandaskan hasil penelitian ilmiah. Menetapkan teks itu bagaimana seharusnya.
Corruptela                   cacat
Bagian naskah yang tidak sanggup digunakan lagi, tidak sanggup dibaca dan tidak tahu lagi artinya.
Crux                            buntuan
Bagian dongeng yang salah atau tidak sanggup dipahami dan tidak pula sanggup diketahui bagaimana seharusnya.
Dittografie                   rangkap tulis
Perangkapan huruf, kata atau angka. Beberapa kata ditulis dua kali.
Emendation                 pembetulan
Perbaikan berdasarkan pemikiran kita sendiri, tidak berdasarkan naskah lain. Hal ini terjadi, kalau hanya terdapat satu-satunya naskah.
Haplographie              langkau tulis
Membuang sebuah kata atau lebih, lantaran kata yang sama atau rangkaian huruf terdapat dua kali berturut-turut.
Haplologie                  susut bunyi
Dua suku kata, disebut hanya satu suku kata.
Interpolatio                  Penambahan kata atau belahan kalimat, lantaran kekeliruan atau disengaja.
Lacunae                      Kata yang terlampaui atau belahan kalimat yang kosong.
Recensio                      pertimbangan, pensahihan
Mencari sebanyak-banyaknya naskah yang berisi dongeng yang sama dan diperbandingkan; sehabis itu barulah dilakukan pertinbangan naskah-naskah yang ada itu.
Variant                        Bacaan yang berbeda dari bacaan yang dipandang mula.
Perbedaan yang terdapat pada dua naskah atau lebih dan tidak sanggup diketahui bagaimana seharusnya.


DAFTAR PUSTAKA DAN KATALOGUS NASKAH MELAYU

Baharudin, Jazamuddin, dengan kolaborasi Jumsari Jusuf dan Sudibjo, Katalogus Naskah-naskah            Lama Melayu di dalam simpanan Museum Pusat Jakarta. Malaysia, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969. (ketikan)
Cabaton, A., Catalogus Sommaire des Manuscrits Indiens. Indo-Chinois & Malayo-Polynesiens.   Paris, Ernest Leraux, Editeur, 1972. s,
Djamaris, Edwar, dkk, “Singkatan Naskah Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam”. Bahasa dan Kesusastraan, Seri Khusus no. 18, th 1973, Jakarta, Lembaga Bahasa Nasional.
Kamus Istilah Filologi, Laporan penyusunan oleh Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas     Gajah Mada, Yogyakarta.
            Jakarta, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan            Pengemban Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Howard, Joseph H., Malay Manuscripts; a bibliography guide. Kuala Lumpur. University of         Malaya Library, 1966.
Juynboll, H.N., Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handschriften der Leidsche             Universiteits Bibliotheek. Leiden, E.J. Brill, 1899.
Katalogus Koleksi Naskah Melayu. (KKNM), Museum Pusat Departemen P dan K, Proyek           Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan,        Jakarta, 1972.
Maas, Paul, Textual Criticism, translated from the Germany by Barbara Flower. Oxford, The        Clarendon Press, 1967.
Niemann, G.K., “De Maleische Handshriften in het Britisch Museum”. BKI 18, 1871.
Overbeck, H., “Malay Manuscripts in the public libraries in Germany”. JMBRAS IV, ii, 1926.
Ricklefs, M.C., dan P. Voorhoeve, Manuscripts Catalogue of the School of Oriental and African   Studies. London University. (ketikan).
Soebadio, Haryati, “Peneliti Naskah Lama Indonesia”. Buletin YAPERNA 7, II, Juni 1975.
Tuuk, H.N. van der, “Kort verslag der Maleische Handschriften toebehoorrende aan de Royal      Asiatic Society te London”. BKI 13, 1866.
Van Ronkel, Ph.S., “Account of six Malay Manuscripts of the Cambridge University Library”. BKI                     46, VI/2, 1896.


BAHAN KULIAH : Drs. Istadiyantha, M.S.


Selengkapnya sanggup baca di bawah ini atau download di sini


Sumber http://dykaandrian.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Filologi Dan Cara Kerja Penelitian Filologi Oleh : Edwar Djamaris"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel