Strategi Investasi Saham U/ Dana Pensiun
Secara harfiah, yang dimaksud ‘dana pensiun’ yaitu sejumlah dana yang terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pemiliknya selama sekian tahun, bahkan meski ia sudah pensiun alias tidak lagi bekerja. Di perusahaan-perusahaan besar biasanya honor karyawan dipotong sekian persen setiap bulannya sebagai iuran pensiun, dimana dana yang terkumpul kemudian bisa disimpan sendiri oleh perusahaan, atau diserahkan untuk dikelola oleh pihak ketiga, contohnya BPJS Ketenagakerjaaan, sehingga menghasilkan laba yang pada hasilnya akan dikembalikan ke si pemilik dana (karyawan) saat nanti ia pensiun, entah itu dibayar semuanya secara sekaligus di awal, atau dibayar setiap bulan selama batas waktu tertentu, atau hingga si karyawan meninggal dunia.
However, sebanyak apapun aset atau tabungan yang dimiliki seorang pensiunan, pada hasilnya tabungan itu bisa saja habis sebelum waktunya. Karena itulah, masih ada satu lagi definisi dari dana pensiun: Itu yaitu adalah sejumlah dana, tabungan, atau aset yang menghasilkan pendapatan bagi pemiliknya bahkan meski ia sudah pensiun, alias tidak lagi bekerja, dimana jumlah pendapatan tersebut terbilang cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini yang dimaksud dana pensiun yaitu lebih dari sekedar tabungan, melainkan merupakan investasi yang bisa menghasilkan passive income bagi pemiliknya.
Dan dalam kaitannya dengan investasi di saham, maka boleh baca kepingan ini baik-baik (yang mau copy paste, be smart, jangan lupa menyebut nama saya sebagai penulisnya):
Jika anda bekerja dan mempunyai penghasilan, maka anda bisa menciptakan ‘dana pensiun’ milik anda sendiri dengan cara membeli satu atau beberapa saham tertentu secara menyicil setiap bulannya (misalnya tiap kali anda gajian, maka tiap kali itu pula anda menyetor ke sekuritas untuk pribadi beli lagi/tambah posisi di saham yang sama), untuk kemudian disimpan untuk jangka panjang, dimana sehabis katakanlah 15 – 20 tahun, diperlukan bahwa anda akan mempunyai saham tersebut dalam jumlah yang cukup besar. Hingga saat hasilnya anda sudah tidak mempunyai penghasilan lagi (karena sudah pensiun/berhenti bekerja), maka sebagian dari capital gain atau dividen yang dihasilkan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga anda bisa menariknya tanpa perlu khawatir bahwa jumlah tabungan anda di saham akan berkurang.
Kemudian mungkin ada pertanyaan, kenapa harus 15 – 20 tahun? Karena kalau kita ambil pola peraturan dari BPJS Ketenagakerjaan, seorang pekerja hanya diperbolehkan untuk ikut kegiatan jaminan hari renta jikalau ia masih akan bekerja/bisa menyetor iuran bulanan hingga minimal 15 tahun kedepan. Ini artinya para fund manager profesional disitu juga sudah bisa memperkirakan bahwa kalau si pekerja menyetor iuran pensiunnya dalam jangka waktu yang kurang dari itu, katakanlah hanya selama 5 – 10 tahun, maka hasilnya tidak akan cukup besar karena, pertama, total iuran yang terkumpul masih sedikit, dan kedua, jangka waktunya tidak cukup usang dimana dana yang disetor, yang kemudian diputar di instrumen investasi menyerupai saham, obligasi, pasar uang dll, juga belum menghasilkan keuntungan sebesar yang diharapkan.
Sebagai ilustrasi, pada tahun 2003, saham Unilever Indonesia (UNVR) berada di level 3,350. Katakanlah anda membeli UNVR senilai Rp1 juta setiap bulannya, dan anda terus melaksanakan itu hingga hari ini sahamnya sudah berada di level 44,100. Sebagai catatan, antara tahun 2003 – 2008 UNVR berada di rentang 3,000 – 7,000, antara tahun 2008 – 2013 UNVR berada di rentang 7,000 – 23,000, dan antara tahun 2013 – 2018 UNVR berada di rentang 23,000 – 58,000.
Maka pada hari ini atau sehabis 15 tahun, anda akan mempunyai saham UNVR dengan total nilai modal Rp180 juta (Rp1 juta per bulan dikali 12, dikali 15 tahun), pada rata-rata harga beli sekitar 10,000 – 15,000 per saham. Karena UNVR itu sendiri kini berada di level 44,100, sementara total dividen yang dibayar UNVR antara tahun 2003 – 2017 yaitu sekitar Rp7,000-an per saham (setelah pajak jadi Rp6,000-an), maka nilai investasi anda hari ini beserta capital gain serta dividennya bukan lagi 180 juta, melainkan sekitar Rp600 – 900 juta. Ini yaitu dengan asumsi, pertama, nilai setoran anda gak berubah, tetap Rp1 juta per bulan hingga sekarang. Kedua, anda beli sahamnya tanpa strategi, pokoknya tiap ada duit pribadi haka alias hajar kanan. Dan ketiga, anda tidak menginvestasikan kembali dividen yang diterima, melainkan tetap disimpan dalam bentuk cash.
Nah, saat melihat perkiraan pertama saja maka sudah pribadi kelihatan bahwa, pada prakteknya, hasil investasi jangka panjang anda di UNVR seharusnya bakal jauh lebih besar dari sekedar Rp600 – 900 juta. Karena kalau anda di tahun 2003 sudah bisa menyisihkan Rp1 juta per bulan untuk diinvestasikan, maka dalam waktu 5, 10, hingga 15 tahun berikutnya, cicilan investasi anda seharusnya sudah jauh lebih besar dari itu, minimal sudah menembus angka belasan juta per bulannya. Sebab, just remember, pada awal dekade 2000-an, seorang PNS dengan honor Rp1 jutaan per bulan sudah menjadi calon mantu idaman bagi setiap orang renta yang punya anak gadis. Sementara sekarang? Well, penulis punya teman yang kerja di bank dengan honor Rp25 juta per bulannya, dan ia bilang honor segitu masih kecil, lantaran cicilan rumah serta mobilnya saja sudah Rp9 jutaan.
Jadi akan lebih masuk nalar kalau kita katakan bahwa, meski pada tahun 2003 setoran anda ke sekuritas cuma Rp1 juta, atau bahkan lebih kecil lagi, tapi pada hari ini nilai setoran tersebut seharusnya sudah jauh lebih besar dari itu. Thus, nilai modal anda di saham UNVR seharusnya juga jauh lebih besar dari sekedar Rp180 juta, melainkan mungkin sekitar Rp400 – 500 juta, dimana sehabis ditambah capital gain serta dividen, totalnya sudah tembus sekian milyar Rupiah.
Tapi bahkan, sekali lagi, itu dengan adanya perkiraan No. 2 dan 3 tadi, yakni anda investasi tanpa strategi, dan tidak menginvestasikan kembali dividen yang diperoleh! Lalu bagaimana jikalau kita menerapkan taktik tertentu? Maka sudah tentu, hasilnya akan lebih besar lagi! Kemudian ingat pula: Anda selama 15 tahun tersebut masih bekerja, yang artinya anda masih punya penghasilan, jadi anda belum butuh dividen tunai kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga dividen yang diterima mestinya bisa diinvestasikan kembali. Dividen tersebut gres perlu ditarik, sekali lagi, kalau nanti anda sudah pensiun.
Lalu Bagaimana Strateginya?
Berdasarkan pengalaman penulis selama ini maka terdapat tiga strategi, dimulai dari yang taktik yang mudah, sulit, dan paling sulit, tapi disisi lain nilai profit yang dihasilkan juga akan setimpal dengan tingkat kesulitan dari taktik yang anda pilih. Dan kesamaan dari ketiga taktik ini adalah, tidak hanya dana setoran bulanan, anda juga harus menggunakan/menginvestasikan kembali dividen yang anda terima untuk membeli kembali saham yang sama, dan jangan pernah berpikir untuk menarik/mencairkan sepeserpun hasil investasi anda sebelum waktunya, lantaran ingat sekali lagi bahwa itu yaitu tabungan untuk hari renta anda nanti.
Kita mulai dari taktik yang mudah: Dengan perkiraan anda bisa menentukan saham yang benar-benar berfundamental anggun hingga saham tersebut bisa di-hold forever (baca lagi kriteria wonderful company disini), maka risiko terbesarnya terbatas pada fluktuasi pasar, dimana saham anda hanya akan turun kalau IHSG/pasar turun. Nah, meski kita tidak pernah bisa tahu persis kapan IHSG atau saham yang kita pegang akan naik atau turun, tapi kita tentu sudah hafal bahwa pasar akan mengalami koreksi setiap beberapa waktu sekali, atau bahkan market crash (seperti tahun 1998, atau 2008) pada jangka waktu yang lebih panjang.
Jadi, pertama, kita harus ingat bahwa dalam jangka puanjaaaanng, maka rata-rata persentase kenaikan saham yang paling anggun sekalipun bekerjsama tidak terlalu besar setiap tahunnya. Kalau kita ambil pola UNVR, maka dari tahun 2003 hingga hari ini, jikalau dirata-ratakan sahamnya hanya naik sekitar 19% per tahun. Kedua, ini artinya jikalau saham yang anda pegang naik lebih cepat dibanding biasanya, contohnya mencapai 40 – 50% atau lebih dalam waktu satu tahun atau kurang, maka cepat atau lambat kedepannya ia akan turun, entah itu turun sendiri, atau turun lantaran koreksi pasar/IHSG. Nah, pada kondisi inilah, anda tetap menyetor ke sekuritas setiap bulan, tapi duitnya jangan pribadi dipake beli saham, melainkan diamkan saja dulu dalam bentuk cash. Demikian pula jikalau anda memperoleh dividen, maka diamkan saja dulu.
Lalu kapan boleh belinya? Yakni saat saham anda tersebut sudah turun 10 – 20% dari harga tertingginya, atau lebih rendah lagi. Seperti yang pernah kita bahas disini, IHSG bisa dikatakan berada dalam periode bearish jika sudah turun 10 – 20% dari posisi tertingginya, dan kalau IHSG-nya saja sudah turun sedalam itu maka penurunan saham-saham tertentu biasanya lebih dalam lagi. Sebagai contoh, saat beberapa waktu kemudian IHSG drop dari 6,700 hingga 5,600-an, atau turun 15%, maka saham Bank BNI (BBNI) yang notabene no problem secara fundamental, ikut turun dari 10,000 hingga sempat menyentuh 6,400, atau drop lebih dari 30%.
Lalu kapan boleh belinya? Yakni saat saham anda tersebut sudah turun 10 – 20% dari harga tertingginya, atau lebih rendah lagi. Seperti yang pernah kita bahas disini, IHSG bisa dikatakan berada dalam periode bearish jika sudah turun 10 – 20% dari posisi tertingginya, dan kalau IHSG-nya saja sudah turun sedalam itu maka penurunan saham-saham tertentu biasanya lebih dalam lagi. Sebagai contoh, saat beberapa waktu kemudian IHSG drop dari 6,700 hingga 5,600-an, atau turun 15%, maka saham Bank BNI (BBNI) yang notabene no problem secara fundamental, ikut turun dari 10,000 hingga sempat menyentuh 6,400, atau drop lebih dari 30%.
Kabar baiknya, anda gak perlu nongkrongin pasar untuk tahu bahwa pasar sedang terkoreksi. Sebab sudah menjadi watak penghuni pasar dari dulu bahwa kalau pasar lagi aman/IHSG naik terus, maka orang-orang akan diem-diem aja, tapi sekalinya IHSG drop 5% saja, maka mereka bakal pribadi ribut dan panik. Yep, jadi kalau pasar sedang bearish, maka kecuali anda tinggal di goa, anda akan mengetahuinya, misalnya saat ada yang mulai curhat di Facebook. Dan saat itulah duit yang masih nganggur bisa mulai dibelanjakan, semakin turun sahamnya maka semakin banyak belinya, dan kalaupun pada satu titik duit cash tersebut sudah habis maka gak usah khawatir, lantaran anda masih menyetor tiap bulannya bukan?
Kemudian taktik kedua, yakni taktik sulit, yang bekerjsama masih sama dengan taktik gampang diatas, namun ditambah dengan menyiapkan payung (payung apaan? Coba baca dulu link-nya). Intinya, saat saham anda naik lebih cepat dari biasanya (bagi saham blue chips, kenaikan 50% dalam setahun sudah bisa dikatakan 'lebih cepat dari biasanya'), maka saat itulah anda bisa jual dulu, untuk nanti duitnya dipake untuk nyicil beli lagi saham yang sama saat harganya turun, tambah dalem turunnya maka tambah banyak pula belinya. Dengan cara ini maka anda akan punya lebih banyak amunisi untuk membeli lagi saham anda pada harga terbaik.
However, cara ini sulit dilakukan karena, pertama, sering juga terjadi kasus dimana kita jual saham tertentu lantaran menganggap naiknya sudah tinggi, tapi ternyata dia masih lanjut naik lagi, dan secara psikologis itu akan sangat mengganggu, lantaran kita akan jadi berpikir bahwa kita gres saja kehilangan investasi berharga yang seharusnya bisa menjadi pegangan jangka panjang. Dan pada kasus terburuk, anda bisa saja, lantaran takut ketinggalan kereta, kemudian beli lagi saham tersebut pada harga yang lebih tinggi dari harga saat kemarin anda menjualnya, tapi justru tak usang kemudian saham itu turun! Nah, dalam hal ini taktik yang tadinya bertujuan untuk ‘memaksimalkan profit’, hasilnya justru malah rugi.
Nevertheless, risiko terjadinya ‘strategi yang tidak berjalan sesuai rencana’ diatas bisa diminimalisir dengan cara anda tidak menjual seluruh saham yang anda pegang, melainkan sebagian saja, entah itu seperlima, sepertiga, atau separuh. Dengan cara ini maka, kalau saham itu ternyata masih naik lagi, maka yo wes biarken saja, toh kita masih pegang barangnya bukan? Dan lantaran kita tahu bahwa setinggi apapun kenaikan suatu saham namun pada hasilnya ia akan turun lagi, maka uang cash yang anda pegang tetap bisa digunakan untuk beli lagi saham tersebut, sekali lagi, saat harganya sudah turun 10 – 20% atau lebih dari posisi tertingginya.
Ketiga, taktik yang paling sulit, yakni dengan menerapkan value investing, dimana rule-nya sederhana: Ketika saham anda naik banyak hingga valuasinya menjadi overvalue, maka saat itulah kita mulai jualan entah itu sedikit-sedikit atau sekaligus, kemudian tunggu. Ketika pasar kemudian terkoreksi, dan saham yang anda jual sebelumnya mulai turun, maka anda boleh membelinya bukan saat saham tersebut sudah turun 10 – 20% dari posisi puncaknya, melainkan saat valuasinya sudah murah kembali. Dan menyerupai pola BBNI diatas, sebuah saham bisa turun hingga 30% atau bahkan lebih, dan barulah valuasinya akan berubah dari tadinya mahal menjadi murah.
Nah, jikalau anda bisa secara akurat menghitung valuasi saham yang anda incar, maka disinilah anda berpeluang untuk memperoleh profit maksimal, dimana hasil investasi anda sehabis 15 tahun bukan lagi sekian milyar Rupiah, melainkan jauh lebih besar lagi. Dan lantaran nilai portofolio anda lebih besar, maka otomatis nilai dividennya juga lebih besar lagi, hingga nilai dividen ini pada satu waktu bisa saja mengimbangi atau bahkan sudah lebih besar dibanding nilai dana yang anda setor tiap bulannya!
Nah, jikalau anda bisa secara akurat menghitung valuasi saham yang anda incar, maka disinilah anda berpeluang untuk memperoleh profit maksimal, dimana hasil investasi anda sehabis 15 tahun bukan lagi sekian milyar Rupiah, melainkan jauh lebih besar lagi. Dan lantaran nilai portofolio anda lebih besar, maka otomatis nilai dividennya juga lebih besar lagi, hingga nilai dividen ini pada satu waktu bisa saja mengimbangi atau bahkan sudah lebih besar dibanding nilai dana yang anda setor tiap bulannya!
Lalu dimana letak sulitnya? Ya tentunya anda harus bisa menghitung apakah valuasi sebuah saham terbilang murah, wajar, atau mahal, dimana meski secara teori bekerjsama itu gampang saja (baca saja buku penulis, atau dengarkan rekaman seminar, anda akan pribadi ngerti caranya), tapi tetap saja untuk penerapannya butuh pengalaman. Sebab, pertama, yaitu mustahil bagi siapapun, termasuk value investor yang paling berpengalaman sekalipun, untuk menentukan secara persis bahwa sebuah saham maksimalnya akan naik/turun hingga level berapa. Dengan kata lain, bisa saja anda bilang bahwa saham A di harga 500 sudah murah, tapi nyatanya saham itu kemudian turun ke 450, 400, atau lebih rendah lagi. Dan meski saham tersebut, selama tidak terjadi perubahan fundamental, pada hasilnya akan naik lagi, tapi dalam jangka pendek ini akan menjadi ujian bagi si investor itu sendiri, apakah ia akan tetap yakin dengan perhitungannya, atau mulai ragu sendiri. Kemudian kedua, secara psikologis, kebanyakan investor/trader saham itu berperilaku kebalikan dengan yang dilakukan value investor, yakni mereka membeli saham yang lagi naik, bukan saham yang lagi turun! In fact, saat selama beberapa bulan terakhir ini IHSG terkoreksi, dan ada banyak saham yang valuasinya kemudian menjadi murah, tapi tetap saja orang-orang, bahkan termasuk penulis sendiri, seringkali ragu-ragu untuk masuk, lantaran sudah semenjak jaman baheula, setiap koreksi pasar selalu diiringi dengan berita-berita negatif, yang kemudian bikin kita bukannya antusias lantaran banyak kesempatan buy, melainkan ikutan panik. Demikian pula saat saham tertentu sudah naik tinggi, bukannya menghindar kita malah membelinya lantaran penasaran, termasuk lantaran takut ketinggalan kereta. Fenomena ini, sekali lagi, sudah terjadi sajak dulu, dan akan terus terjadi hingga kapanpun.
Tantangan Tersulit
Tantangan Tersulit
Anyway, jikalau anda bisa mengatasi problem-problem psikologis diatas, sehingga alhasil anda bisa menerapkan value investing secara efektif, then there you go: Profit yang anda peroleh akan maksimal namun disisi lain risikonya tetap terbatas, lantaran saham yang anda pilih semenjak awal merupakan saham terbaik. Tapi jikalau anda menentukan taktik yang paling gampang pun (yang gak pake analisis apapun, pokoknya kalau sahamnya turun 10 - 20% dari posisi tertingginya maka hajar!), maka tetap saja profitnya akan lebih besar dibanding jikalau anda pribadi haka tiap kali anda nyetor ke sekuritas. Cuma balik lagi: Strategi manapun yang anda pilih, ada dua kesulitan yang mau tidak mau akan anda hadapi. Pertama, anda harus menentukan saham yang benar-benar bagus, yang anda cukup yakin untuk ‘tetap bersamanya sehidup semati’, dan masalahnya dari sekian banyak saham di BEI, cuma ada sedikit saham yang masuk kriteria wonderful company seperti itu. Sementara sebagian besar saham lainnya, tak peduli selama apapun anda meng-hold-nya, biasanya nanti akan ada saja waktu-waktu dimana anda harus menjualnya, untuk kemudian pindah ke saham lain.
Dan kedua, inilah tantangan tersulitnya: Anda harus berinvestasi minimal selama 15 tahun, sebelum barulah kemudian nilai portofolio yang anda pegang menjadi cukup besar, dan profit yang anda peroleh per tahunnya jadi ‘lebih terasa’. Yep, ini pula sebabnya penulis di buku ‘Value Investing: Beat the Market In Five Minutes!’ dan juga seminar menyampaikan bahwa, jangankan dalam waktu beberapa bulan hingga 1 – 2 tahun, anda bahkan tidak akan menghasilkan laba yang signifikan dari investasi anda di saham dalam waktu 10 tahun!
(Dan masalahnya adalah, sejauh yang bisa penulis amati, hanya sedikit sekali investor profesional yang ngomongnya menyerupai diatas. Kebanyakan ‘investor sukses’ lainnya mengklaim bahwa mereka bisa ‘cepat kaya dari saham’, ‘menjadi milyader di usia muda’, ‘profit 700% dalam setahun’, dst. Intinya, menjadi kaya dalam 15 – 20 tahun dari saham bukanlah inspirasi yang menarik bagi calon investor manapun, dimana mereka maunya ya begitu beli saham pribadi cuan besoknya, kalo bisa AR kanan!)
Tapi balik lagi, jikalau anda bisa melewati 10 tahun pertama dengan baik, maka 10 tahun berikutnya akan jauh lebih mudah. Kemudian ingat pula, ini kan tujuannya untuk persiapan nanti kalau anda pensiun, jadi ngapain buru-buru?? Yep, jadi ketimbang ikut kegiatan dana pensiun maka anda bisa menciptakan dana pensiun milik anda sendiri, anda bisa pilih strateginya sendiri, dan anda bisa tentukan sendiri berapa ‘iuran’ alias setoran perbulannya. Kabar baiknya, anda gak perlu nyetor terlalu besar, lantaran bahkan hanya Rp1 – 2 juta per bulan sudah cukup, dan anda bisa pilih taktik yang paling kondusif jikalau memang tidak mau ambil risiko. Dan kalau anda kemudian bisa melewati kepingan tersulitnya, yakni menunggu selama 15 – 20 tahun dimana anda selama itu bisa berinvestasi secara konsisten (itu juga akan sangat menantang, lantaran dalam perjalanannya anda akan dihantam koreksi pasar, dikerjai bandar dll), maka gres sehabis itulah anda akan memperoleh hadiah terbesarnya: Sejumlah aset dalam bentuk saham yang nilainya cukup besar, atau bahkan sangat besar, sehingga capital gain dan dividend yang dihasilkan juga besar, dimana anda hanya perlu menarik sebagian diantaranya untuk kebutuhan sehari-hari, atau bahkan keliling dunia jikalau anda mau, sementara selebihnya bisa diinvestasikan kembali. Dan sudah tentu, anda tidak perlu bekerja lagi, melainkan boleh pergi memancing seharian, atau melaksanakan hobi apapun yang anda sukai.
Anda mau mencar ilmu sabar? Cobalah memancing |
Well, sounds good eh? Nah, mumpung kondisi pasar kini ini masih jauh dari kata bullish, lalu apa lagi yang anda tunggu??
Ebook Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan ('Ebook Kuartalan') edisi Kuartal II 2018 sudah terbit! Anda bisa pribadi memperolehnya disini.
Jadwal Value Investing Private Class: Jakarta, Minggu 12 Agustus. Keterangan selengkapnya baca disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Sumber http://teguhidx.blogspot.com
0 Response to "Strategi Investasi Saham U/ Dana Pensiun"
Posting Komentar