Penurunan Dow Jones & Pengaruhnya Ke Ihsg
Setelah sebelumnya cenderung naik terus, Dow Jones Industrial Average (DJIA), ibarat yang anda ketahui, semenjak awal Februari kemarin mulai bergerak turun hingga sempat ditutup di posisi 23,860, atau drop 10.3% dari posisi tertingginya yakni 26,616. Secara teori, bila indeks saham turun hingga 10% dari level tertingginya, maka artinya pasar saham di negara yang bersangkutan ‘resmi’ memasuki periode koreksi/bearish. Dan berhubung yang turun yakni Dow dkk (S&P500 dan Nasdaq juga turun), yang notabene merupakan benchmark dari pergerakan bursa saham global, maka pertanyaannya sekarang, bagaimana imbas penurunan DJIA ini terhadap IHSG?
Tapi sebelum menjawab pertanyaan diatas, terlebih dahulu kita jawab pertanyaan berikut: Apa yang bekerjsama tengah terjadi di Amerika Serikat sana, sehingga DJIA turun? Bukankah perekonomian Amerika, setidaknya berdasarkan klaim dari Presiden Trump, justru sedang bagus-bagusnya?
Nah, kalau anda baca-baca pemberitaan di media mainstream tentang penurunan Dow, maka isunya yakni adanya kekhawatiran akan tingginya inflasi di US, sebagai imbas samping dari rendahnya suku bunga serta pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat (hubungan antara inflasi, suku bunga bank, serta pertumbuhan ekonomi sanggup anda baca disini). Tapi faktanya inflasi di US terakhir masih kondusif terkendali di level 2.1%. Memang, angka tersebut lebih tinggi dibanding tahun 2015 kemudian yang hanya 0%, tapi dalam 10 tahun terakhir, angka inflasi di US ya stabilnya di level kisaran 1 – 2%. Dan kalaupun kedepannya terdapat risiko bahwa inflasi tersebut bakal naik, maka Federal Reserve sebagai Bank Sentral Amerika tinggal menaikkan suku bunga acuan/Fed Rate, yang ketika ini masih berada di level 1.5%, atau jauh dibawah levelnya di awal dekade 2000-an yang mencapai 4 – 5% (sehingga masih terbuka ruang lebar bagi fed rate tersebut untuk dinaikkan).
Data inflasi di Amerika Serikat dalam 10 tahun terakhir. Sumber: www.tradingeconomics.com |
Lalu kalau bukan soal inflasi, kemudian apa masalahnya? Well, kalau mau jujur ya nggak ada persoalan apa-apa. Setelah mengalami krisis subprime mortgage di tahun 2008 lalu, sanggup dikatakan bahwa Amerika pada ketika ini sudah benar-benar recover dari krisis tersebut, dimana perusahaan-perusahaan besar disana berlomba-lomba membukukan kinerja positif, terutama perusahaan teknologi. Even Twitter Inc., salah satu perusahaan teknologi yang paling terkenal namun sedari dulu nyaris selalu membukukan rugi, di tahun 2017 kemarin untuk pertama kalinya membukukan profit, dan sahamnya pun naik.
Kaprikornus kalau dikatakan bahwa penurunan Dow disebabkan oleh ‘something wrong’ in the US economy, maka mengutip pernyataan Presiden Trump, it’s fake news. Namun demikian harus juga dicatat bahwa adanya problem ekonomi maupun perubahan fundamental/kinerja perusahaan bukanlah satu-satunya penyebab penurunan Bursa Saham. Penyebab kedua adalah, justru ketika ekonomi sedang bagus-bagusnya, maka seringkali harga-harga saham terus saja naik hingga valuasinya tidak lagi mencerminkan nilai wajarnya (istilahnya overvalue), sehingga secara normalnya akan terjadi koreksi sehat untuk mengembalikan harga-harga saham ke posisi masuk akal mereka masing-masing.
Dan memang ketika Dow berada di level 26,000-an, beberapa waktu lalu, maka berdasarkan angka PER dan PBV dari 30 saham komponen DJIA, maka valuasi saham-saham di Amerika berada di salah satu level tertingginya, yang hanya pernah dicapai 3 kali dalam 100 tahun terakhir. Mengingat DJIA sudah naik nyaris 4 kali lipat dalam waktu sepuluh tahun terakhir (pada titik terendah krisis 2008, DJIA berada di level 6,626), maka ini bukanlah fakta yang mengejutkan. Secara khusus, kenaikan DJIA juga tambah kencang dalam dua tahun terakhir, dimana sesudah terakhir mengalami koreksi dengan turun ke 16,000 pada Oktober 2015 lalu, selanjutnya Dow terus saja naik hingga total 10,000 poin (ke 26,000-an) dalam dua tahun tiga bulan, nyaris tanpa koreksi berarti.
Dan penulis sendiri bekerjsama agak terganggu dengan kenaikan DJIA yang ibarat tanpa henti, hingga para technopreneur ibarat Mr. Bezos dan Zuc tiba-tiba saja bersanding dengan Om Bill dan Opa Warren di daftar Majalah Forbes (which is ridiculous). Kaprikornus ketika Dow balasannya turun juga, maka itu justru sudah ditunggu-tunggu. Kemudian, lantaran problem utamanya sebatas tingginya valuasi saham-saham di Amerika, maka kalau kedepannya Dow lanjut turun lagi (dan normalnya memang demikian. Secara historis, setiap kali Dow turun banyak, maka beliau tidak akan eksklusif pulih lagi dalam waktu kurang dari sebulan), penulis kira penurunannya tidak akan terlalu dalam/tidak akan hingga mengembalikan Dow ke level sebelum beliau mulai rally dua tahun lalu, yakni 16,000-an. However, kalau turun hingga level 20,000-an, maka itu masih mungkin.
Lalu bagaimana dengan IHSG?
Secara umum kondisi di Indonesia kini ini terbilang ibarat dengan Amerika: Ekonomi lagi bagus, saham-saham lagi naik, dan kenaikan IHSG juga terasa lebih kencang dalam dua tahun terakhir (posisi tertinggi IHSG ketika ini yakni 6,686, atau naik 40% dibanding simpulan Januari 2016 di level 4,771). Dan ibarat halnya di Amerika, kini ini sangat sulit mencari saham-saham blue chip yang valuasinya masih murah.
Karena kondisinya mirip, maka secara teori ketika Dow turun 10%, harusnya IHSG bakal ikut turun kurang lebih segitu juga. Tapi nyatanya IHSG kemarin hanya turun hingga mentok di 6,427 (turun 3.8%), sebelum kemudian membal lagi ke 6,500-an. Tapi disinilah menariknya: Kalau anda perhatikan pergerakan saham-saham secara individual, maka ada banyak saham yang turun signifikan ketika Dow mulai turun, dengan total penurunan yang jauh lebih dalam dibanding penurunan IHSG itu sendiri. Disisi lain ada beberapa saham-saham big caps yang pergerakan mereka kuat besar terhadap IHSG, ibarat HMSP dan UNVR, yang justru naik sendiri ketika pasar mulai under attack karena sentimen penurunan Dow, biasanya naiknya pada ketika sesi pre-closing. Inilah yang menjadikan IHSG, yang mungkin totalnya turun 1 – 2% pada hari tertentu, pada sore harinya mendadak naik hingga total penurunnya hanya 0.5% saja.
Nah, jadi anda sudah mengerti bukan? Yup, kondisi pasar pada Februari ini ibarat dengan kondisi pasar Desember 2017 kemarin, dimana meski IHSG ketika itu naik luar biasa hingga lebih 6% (dari 5,900-an ke 6,300-an), tapi ada banyak saham-saham terutama second liner yang justru bertumbangan (baca lagi ulasan market Desember 2017 kemudian disini, coba baca juga komentar-komentarnya). Kaprikornus kalau yang kita lihat yakni pergerakan dari saham-saham itu sendiri, dan bukan dari IHSG-nya, maka pasar saham Indonesia semenjak awal Februari kemarin juga sebenernya tengah terkoreksi/turun, dengan penurunan yang kurang lebih sama dengan penurunan Dow Jones. Cara membaca pasar ibarat ini mungkin sulit untuk dilakukan: Koreksi apanya? Jelas-jelas IHSG masih aman-aman saja kok! Tapi coba anda tanyakan soal itu ke para fund manager reksadana, yang kinerja mereka hampir semuanya kalah telak dibanding IHSG: Bagaimana situasi pasar sepanjang tahun 2017 lalu, dan juga sepanjang awal 2018 ini? Apakah secara umum dikuasai saham-saham di BEI sepanjang tahun 2017 kemudian benar-benar naik hingga 20% seperti halnya kenaikan IHSG? Ataukah kenaikan IHSG yang spektakuler tersebut hanya ditopang oleh saham-saham yang itu-itu saja??
Kesimpulan
Okay, jadi mari kita simpulkan lagi: 1. Dow Jones ketika ini sedang mengalami ‘koreksi sehat’ yang bukan disebabkan oleh problem ekonomi, melainkan lantaran valuasi saham-saham disana sudah kelewat mahal saja, 2. Normalnya koreksi ini gak akan eksklusif selesai dalam waktu dekat, melainkan butuh waktu minimal 2 – 3 bulan, selain lantaran valuasi saham-saham di Amerika belum sanggup dikatakan terdiskon, dan 3. Ketika Bursa Saham Amerika turun, bursa-bursa saham diseluruh dunia akan ikut turun tak terkecuali di Indonesia, apalagi kondisi disini ibarat dengan di Amerika (jadi gres akan lain ceritanya kalau IHSG kini ini masih di level 5,000-an, misalnya).
Namun sekali lagi, bila yang jadi patokannya yakni pergerakan IHSG, maka kalaupun nanti Dow benar-benar lanjut drop hingga level 20,000-an, penulis kira IHSG tetap tidak akan turun terlalu dalam (atau turun dalem sebentar, tapi eksklusif naik lagi). However, pengalaman di bulan Desember 2017 kemarin, dan juga di sepanjang tahun 2017 itu sendiri, telah mengajarkan bahwa stabilnya (atau bahkan naiknya) IHSG tidak selalu berarti bahwa saham-saham memang sedang naik semua, melainkan sanggup saja IHSG naik sendiri sementara kebanyakan saham-saham justru berjatuhan.
Jadi, yap, sesudah sempat dikasih ‘nafas’ sejenak di bulan Januari kemarin, untuk kini kita boleh lebih waspada lagi. And don’t worry, berbeda dengan koreksi pasar lantaran adanya problem di ekonomi makro, koreksi sehat lantaran mahalnya saham-saham biasanya cuma sebentar/hitungan ahad hingga 2 - 3 bulan, jadi gak akan berkepanjangan ibarat di tahun 2008 dan 2015 lalu. Malah kalau kita melihatnya dari sudut pandang value investing, maka bagi anda yang melewatkan stock big sale! di bulan Desember 2017 kemarin (waktu itu saham-saham konstruksi dan batubara masih pada murah semua), maka dalam waktu akrab ini BEI mungkin akan menggelar big sale sekali lagi. We’ll see!
Jadwal Seminar: Value Investing Advanced Class: Jakarta, 17 Maret 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Sumber http://teguhidx.blogspot.com
0 Response to "Penurunan Dow Jones & Pengaruhnya Ke Ihsg"
Posting Komentar