iklan

√ For Me Being A Laziale Nowadays Is Less Interested Than Ever Before

Sesuai judul diatas bergotong-royong post ini pada awalnya akan berbahasa Inggris namun alasannya yaitu d √ For Me Being A Laziale Nowadays Is Less Interested Than Ever Before


Sesuai judul diatas bergotong-royong post ini pada awalnya akan berbahasa Inggris namun alasannya yaitu dirasa bahasa Inggrisku semakin menurun maka sebaiknya ditulis dengan bahasa Indonesia saja untuk menghindari grammatically mistakes yang mungkin timbul.   😆


Bagi sebagian orang menjadi seorang Laziale yaitu sebuah seni alasannya yaitu esensi dari seni yaitu tidak untuk dimengerti namun untuk dirasakan. Seni yaitu media yang ambigu, kabur dan multi penafsiran. Seni juga bertolak belakang dengan ilmu pasti. Apa yang dilihat baik oleh ilmuwan belum tentu baik berdasarkan seniman begitu juga sebaliknya.


Menjadi Laziale yaitu seni tersendiri. Disaat ilmuwan ilmu niscaya (kelompok pendukung klub pemenang) melihat mediokrasi dan keterpurukan yaitu hal yang harus dihindari maka seniman (Laziali) melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang mutlak harus dihadapi atau bahkan harus dijalani.


Kemudian apakah suatu dikala nanti akan ada transisi atau transformasi antara ilmuwan dan seniman? Jawabannya niscaya ada tergantung seberapa besar dan konkret tantangan yang harus dihadapi oleh mereka. Bagi ilmuwan kepastian mungkin hal mutlak namun adakalanya hidup ini butuh ketidakpastian untuk menumbuhkan rasa keingintahuan kita sebaliknya bagi seniman ketidakpastian yang berkepanjangan menumbuhkan ketidakpedulian sehingga dibutuhkan sebuah “arah” gres untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.


Dalam hubungannya dengan olahraga umumnya dunia olahraga dan Laziali khususnya, ketidakpastian yang berkepanjangan sedang melanda sebagian besar Laziali tak terkecuali penulis sendiri. Ketidakpastian ini menumbuhkan ketidakpedulian (ignorance) yang parahnya diciptakan oleh mereka yang mempunyai kendali untuk mengubah dan memilih masa depan dari klub sepakbola La Prima Squadra Della Capitale ini.


Dilema ini bukanlah berasal dari keterpurukan prestasi Lazio itu sendiri. Bagi aku prestasi bukanlah sesuatu yang mendasar. Prestasi yaitu output dari sebuah input yang berkualitas (Garbage In Garbage Out), itulah kenapa Lazio pernah mengalami masa-masa keemasan di periode pertengahan hingga selesai dekade 1990-an. Input yang dimasukan oleh Presiden Lazio dikala itu, Sergio Cragnotti, terlihat berkualitas dengan investasi ratusan juta dollar sehingga menghasilkan output yang cukup menggambarkan keberhasilan mereka di dekade tersebut. Walaupun tetap saja input tersebut sanggup dimanipulasi.


Input tidak hanya berbicara semata-mata perihal materi namun sanggup terlihat dengan semangat kebersamaan akan satu warna, satu simbol dan satu idealisme menyerupai yang pernah tersaji dengan indah di dekade 1980an. Input yang diberikan oleh mereka dengan sebutan Laziali periode 1980an akan tetap tercatat dalam sejarah klub 112 tahun ini sebagai sebuah bentuk tunjangan yang terhebat, termurni dan teridealis yang pernah diberikan pendukung untuk sebuah klub.


Dekade 1980-an bukanlah periode yang menyenangkan bagi Lazio. Dekade tersebut yaitu dekade tergelap dalam sejarah Lazio namun bagi mereka Laziali dekade inilah Lazialita’ yang sesungguhnya lahir. Berlaga di Serie B sehabis terkena eksekusi degradasi alasannya yaitu terkait skandal pengaturan skor bersama AC Milan tentu merupakan tantangan berat tersendiri. Tiga trend dijalani Lazio dikasta kedua kompetisi sepakbola Italia ini. Dan itu semua belum ditambah dengan pengurangan 9 poin alasannya yaitu skandal salah satu pemainnya, Claudio Vinazzini terang menumbuhkan sebuah mimpi jelek tersendiri. Input tunjangan pun membahana seantero kota Roma dan region Lazio dimana sekitar 60.000 Laziali mendukung Lazio di berkelahi away mereka di kota Napoli ketika Lazio harus menghadapi babak play-off melawan Taranto dan Campobasso hanya untuk bertahan di Serie B dan menghindari degradasi ke Serie C. Partai hidup mati ini yang karenanya dimenangkan dengan skor tipis oleh Lazio yaitu turning point bagi sejarah Lazio. Sejarah dimana Lazialita’ bisa mengalahkan segala rintangan jarak atau diskriminasi sistem sepakbola Italia dikala itu.


Memasuki millenium ini, Lazio pun berubah. Tantangan yang dihadapi pun tidak lagi tiba dari satu arah saja namun sudah mulai tiba dari sektor internal juga. Kepemimpinan dari Presiden Lazio dikala ini, Claudio Lotito bersama anak buah setianya, Igli Tare menciptakan Lazio tidak saja berada dalam persimpangan jalan sejarah namun ketidakpastian nasib klub ini sendiri. Claudio Lotito mengakibatkan Lazio menyerupai kendaraan beroda empat yang sanggup digerakannya adikara tanpa memperhatikan rambu-rambu kemudian lintas yang mungkin ada disepanjang jalan terjal ini. Sedihnya sang navigator, Igli Tare yang seharusnya sanggup melihat ketika kendaraan beroda empat sudah menyimpang tidak memberi instruksi peringatan terhadap sopirnya. Lazio pernah menjadi klub yang dirugikan secara sistem oleh kekuatan dominasi “Utara” dan kekuatan “politik” politikus kota Roma kini pun dirugikan dan dirusak oleh sang sopirnya sendiri. Sepakbola Italia memang tidak terlalu dekat dengan Lazio begitupun dengan atmosfer tetangga mereka, AS Roma ketika klub berlambang serigala ini didukung oleh kekuatan politik Italia. Lazio menyerupai berada di antara dua kubu yang setiap dikala sanggup menciptakan Lazio kehilangan kekuatan besar sejarahnya.


Persoalan selalu tiba dan pergi selama kepemimpinan Claudio Lotito sejauh ini. Mulai dari konflik pemain dan pelatih, pemain dengan manajemen, instruktur dengan administrasi dan administrasi dengan pendukung belum termasuk konflik antara pendukung dengan pendukung yang terpecah belah dengan seni administrasi Devide et Impera. Konflik internal ini memakan porsi yang cukup besar daripada prestasi yang telah diberikan mereka kepada La Lazio. Sampai berapa usang konflik ini terus akan dipelihara?. Input semacam inikah yang dibutuhkan akan menghasilkan output yang berkualitas? Lazio tidak akan pernah besar selama masih ada duri didalam dagingnya sendiri. Sejarah Lazio mungkin telah terbukti bahwa kita sanggup melawan kebijakan diskriminatif kekuatan utama sepakbola Italia namun hingga kini kita belum bisa terbukti sanggup melepaskan diri dari kukungan konflik internal. Lazio dikala ini sanggup dilihat menyerupai sebuah klub yang dijalankan oleh seorang fortune hunter (pencari keberuntungan) yang mencari laba dengan memanfaatkan tunjangan murni dari pendukung dan tenaga pekerja rodi para punggawa-punggawa Il Biancoceleste. Prestasi mungkin akan tiba dengan input menyerupai ini namun tetap saja sangat merugikan memelihara duri duri dalam darah dan daging kita sendiri.


Melihat itu semua sebagai Laziale miris rasanya betapa kejayaan masa lampau harus ternoda dengan permainan tangan-tangan kotor tak bertanggung jawab. Kita mempunyai sejarah yang hebat. Sejarah dimana semua elemen dalam Lazio bersatu menghadapi banyak sekali rintangan yang entah sengaja diciptakan atau tidak namun kini elemen-elemen itu bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang ada memanfaatkan nama SS Lazio. Kita, Laziali, pernah terluka namun tak pernah sangat terluka menyerupai saat-saat ini.


Memakai kacamata perspektif pribadi, penulis hanya mencicipi bahwa mendukung Lazio dikala ini kurang menarik dan tak menantang menyerupai yang pernah penulis rasakan dulu. Kita mungkin sanggup mencicipi kepahitan Lazio dikala ini namun kita tidak akan pernah benar-benar memahami rasa tangis dan sakitnya mengapa semua ini terjadi. Dan tampaknya kita kini bukanlah seorang ilmuwan ataupun seniman namun lebih kepada seorang biasa yang dulu pernah menjadi seniman dan kini duduk di sudut ruangan tanpa bisa peduli akan apa yang pernah ia rasakan sebelumnya.


But this Lazialita’ will still remains…



Sumber https://dionbarus.comm

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "√ For Me Being A Laziale Nowadays Is Less Interested Than Ever Before"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel