iklan

Makalah Sosiologi Sastra Dan Fungsi Sosial Sastra

Makalah Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajukan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhirnya tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keadaannya mempunyai objek yang sama yaitu insan dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.

Sosiologi ialah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi sampaumur ini (das sain) buykan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaiknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.

Sosiologi sastra ialah suatu telaah yang objektif dan ilmiah perihal insan dalam masyarakatnya perihal sosiologi dan proses sosial. Sosiologi menelaah perihal bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan memplajari lembaga-lembaga sosial dan masalah-masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain. (Atar Semi:52).

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Karya sastra sebagai cermin masyarakat pada suatu zaman bisa juga dianggap sebagai dokumen sosial budaya, meskipun unsur-unsur imajinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja, alasannya mustahil seorang pengarang sanggup berimajinasi kalau tidak ada kenyataan yang melandasinya. Karya sastra juga bisa menjadi media untuk memberikan gagasan atau ide-ide penulis. Max Adereth dalam salah satu karangannya membicarakan litterature engage (sastra yang terlibat) yang menampilkan gagasan perihal keterlibatan sastra dan sastrawan dalam politik dan ideologi (Damono, 2002:15).

Pencetus teori sastra yang pertama kali yaitu Georg Lukacs dengan bukunya The Theory of Novel, pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1916 yang kemudian melahirkan teori sosiologi sastra. Di dalam negeri sendiri yaitu Umar Junus yang mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra ialah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Sedangkan berdasarkan Damono, sastra menampilkan citra kehidupan, dan kehidupan itu sendiri ialah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan meliputi korelasi antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1)

Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan 'kenyataan'. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling bau tanah usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) perihal 'mimesis' itu gres mulai dikembangkan pada kurun 17-18 yakni zaman positivisme ilmiah oleh Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal kurun ke-19 dengan dicanangkannya iktikad Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels. Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bab dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan rujukan dan model korelasi resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan memakai metode-metode ilmu niscaya menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra) sebagai 'alat usaha politik' terlalu menekankan aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra. Pemikir-pemikir Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan korelasi ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis mereka ialah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sesungguhnya dan menjadi kiprah studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.

Sosiologi sastra merupakan salah alat kritis sastra. Sastra sendiri merupakan bab dari masyarakat, jadi tidak absurd kalau dikatakan bahwa sastra ialah produk kebudayaan sehingga sastra tidak bisa terlepas dari keberadaban insan dikarenakan sastra menceritakan perihal kehidupan dari masyarakat itu sendiri.

Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang sebagai aspek terkecil dari masyrakat yang sering menjadi materi sastra, ialah pantulan korelasi seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan perilaku sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan insiden sosial tertentu.

Berdasarkan uraian singkat di atas sanggup disimpulkan bahwa karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar insan untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan dan konteks penyajiannya disusun secara terstruktur, menarik dan disusun melalui refleksi pengalaman dan pengetahuan sehingga merefleksikan kehidupan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus duduk kasus yang akan di bahas pada makalah ini antara lain:
  1. Apa itu sosiologi sastra?
  2. Bagaimana posisi sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan?
  3. Bagaimana sejarah pertumbuhan konsep sosiologi sastra?
  4. Hal-hal apa saja yang termasuk target penelitian sosiologi sastra?
  5. Bagaimana korelasi antara sastra dan masyarakat?
C. Tujuan Penulisan

Bertolak dari rumusan duduk kasus di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
  1. Apa itu sosiologi sastra.
  2. Bagaimana posisi sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan.
  3. Bagaimana sejarah pertumbuhan konsep sosiologi sastra.
  4. Hal-hal apa saja yang termasuk target penelitian sosiologi sastra.
  5. Bagaimana korelasi antara sastra dan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya mempunyai objek yang sama yaitu insan dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.

Sosiologi ialah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi sampaumur ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. 

Sosiologi sastra ialah suatu telaah yang objektif dan ilmiah perihal insan dalam masyarakatdan perihal sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah perihal bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah-masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain. (Atar Semi: 52).

Pandanga Atar Sami mendeskripsikan kajian sosiologi sastra tidak jauh beda dengan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra. Sosiologi sastra ingin mengaitkan penciptaan karya sastra, eksistensi karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial (Ratna, 2009:164). Lebih jauh Wolf (Faruk dalam Endraswara, 2004:77) menunjukkan defiinisi bahwa sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari studi, studi empiris dan aneka macam percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan korelasi sastra dengan masyarakat. 

Generalisasi dari aneka macam pendapat perihal sosiologi sastra di atas, sosiologi sastra merupakan telaah terhadap suatu karya sastra dalam kaitannya dengan dampak sosial-budaya yang ikut menghipnotis dongeng dalam karya sastra.

Telaah sosiologis itu mempunyai tiga penjabaran (Wellek dan Werren dalam Atar Semi: 53) yaitu:
  1. Sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan perihal status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut status pengarang.
  2. Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tenatang suatu karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya
  3. Sosiologi sastra, yakni mempermasalahkan perihal pembaca dan dampak sosialnya terhadap masyarakat Pada prinsipnya, berdasarkan Lauren dan Swingewood (Endraswara, 2004:79), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu; (1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, (3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi insiden sejarah dan keadaan sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas sanggup disimpulkan bahwa sosiologi sastra merupakan suatu telaaah ilmu yang mencoba mengungkap fenomena masyarakat yang terdapat dalam sebuah karya sastra guna menunjukkan pandangan yang objektif dalam evaluasi karya sastra. 

B. Sejarah Pertumbuhan Konsep Sosiologi Sastra

Sejarah pertumbuhan konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibuat oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra mempunyai keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam aneka macam dimensinya (Soemanto, 1993).

Konsep dasar sosiologi sastra sesungguhnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung korelasi antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori perihal seni menyerupai dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari kurun ke kurun sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15). Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide. Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya meniru bangku yang terdapat dalam dunia ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai menyerupai aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu delusi (khayalan) perihal 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh lantaran itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman lantaran seniman meniru jiplakan, membuat copy dari copy.

Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi ia beropini bahwa mimesis tidak semata-mata meniru kenyataan melainkan juga membuat sesuatu yang gres lantaran 'kenyataan' itu tergantung pula pada perilaku kreatif orang dalam memandang kenyataan. Makara sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair menentukan beberapa unsur kemudian menyusun suatu citra yang sanggup kita pahami, lantaran menampilkan kodrat insan dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman. Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdekatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang mempunyai pembayangan historis dalam zamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme romantik, yang secara

khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi orisinil aneka macam negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah. Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia ialah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan memakai metode-metode menyerupai yang dipakai dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) ia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra sanggup dijelaskan berdasarkan tiga faktor, yakni ras, ketika (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta perihal ras, lingkungan dan momen, maka kita sanggup memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut ia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi insan dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman gres yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma gres yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama tiba dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seakan-akan merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diharapkan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali menerima kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sesungguhnya sanggup dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun klarifikasi Taine ini mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan anutan intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.

C. Sosiologi Sastra Sebagai Suatu Jenis Pendekatan

Pengantar Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra mempunyai paradigma dengan perkiraan dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra ialah ekspresi dan bab dari masyarakat, dan dengan demikian mempunyai keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya. 

Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan hebat sejarah sastra yang terutama memperhatikan korelasi antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178). Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang semenjak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam menyebarkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.

D. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
1. Konteks Sosial Pengarang

Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang sanggup menghipnotis karya sastranya. Oleh lantaran itu, yang terutama diteliti ialah sebagai berikut.
  1. Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia mendapatkan proteksi dari pengayom atau dari masyarakat secara eksklusif atau bekerja rangkap.
  2. Profesionalisme dalam kepengarangan membahasa sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
  3. Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting alasannya seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat

Sastra sebagai cermin masyarakat membahas sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini sanggup menimbulkan citra yang kabur, dan oleh jadinya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam korelasi ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah:
  1. Sastra mungkin sanggup dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, alasannya banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
  2. Sifat "lain dari yang lain" seorang sastrawan sering menghipnotis pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
  3. Genre sastra sering merupakan sifat sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan perilaku sosial seluruh masyarakat.
  4. Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih sanggup mendapatkan amanah sebagai materi untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979:4).
3. Fungsi Sosial Sastra

Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan menyerupai “sampai berapa jauh nilai sastra berkaita dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”, ada tiga hal yang harus diperhatikan.
  • Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
  • Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
  • Sudut pandang kompromistis. (Damono, 1978).
Secara epitesmologis sanggup dikatakan mustahil untuk membangun suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Dalam penelitian novel "Sang Pemimpi" karya Andrea Hirata ini, konsep sosiologi sastra sendiri memakai pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini dkan dipakai untuk menjelaskan sejauh mana pengarang sanggup mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

E. Sastra dan Masyarakat

Karya sastra mendapatkan dampak dari masyarakat dan sekaligus bisa memberi dampak terhadapa masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra sanggup dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya ialah citra duduk kasus masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, menyerupai lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.

Sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat, sesungguhnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara eksklusif atau tidak eksklusif daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidup. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.

Lebih lanjut dikatakan bahwa korelasi antara sastra dan masyarakat sanggup diteliti dengan cara:
  1. Faktor-faktor di luar teks, tanda-tanda kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari, yang tidak memakai pendekatan ilmu sastra.
  2. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi hukum dengan jelas, tetapi diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra sanggup mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para pembaca.
  3. Hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana sistem masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Sosiologi sastra ialah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas korelasi antara pengarang dengan masyarakat dan hasil berupa karya sastra dengan masyarakat. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai citra pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat. Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra mempunyai paradigma dengan perkiraan dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.

Sejarah pertumbuhan konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibuat oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya.

Sasaran penelitian sosiologi sastra terdiri atas 3 bagian, yaitu:
  1. Konteks sosial pengarang;
  2. Sastra sebagai cerminan masyarakat; dan
  3. Fungsi sosial.
Karya sastra mendapatkan dampak dari masyarakat dan sekaligus bisa memberi dampak terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra sanggup dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran para pembaca supaya sanggup memperbaikinya menjadi lebih sempurna. Kepada para pembaca diharapkan supaya lebih memperhatikan pentingnya sosiologi sastra khususnya bagi mahasiswa Program Pascasarjana pendidiakan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Pendekatan Sosiologi Sastra. http://bocahsastra.blogspot.com. Diakses, 16 Maret 2012. Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Sugono, Qodratillah dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia.

Sumber http://pendidikansrg.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makalah Sosiologi Sastra Dan Fungsi Sosial Sastra"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel